Mohon tunggu...
Tanah Beta
Tanah Beta Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Mahasiswa Semester Akhir pada IAIN Ambon

menulislah sebelum dunia menggenggam nafasmu

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Mati Sebagai Peluru

3 Oktober 2019   06:33 Diperbarui: 3 Oktober 2019   16:45 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mak
Hari ini hujan turun sebagai peluru
Di jalanan semua berang tidak ada peluh
Gejayan memanggil terseru menjadi seruan

Mak
Pada kaki ku titip langkah tegak
Moncong bayonet tak membuatku pelak
Sampai aku mendorong maju walau suara serak

Di atas aspal menyala fatamorgana
Ditambah matahari menikam kepala
Aku tak selangkah pun mundur
Apa lagi pergi dan memendar

1998 mahasiswa hilang
Separuh terketemukan dan masih hidup
Separuh ditemukan tapi nyawa lenyap
Separuh tak pernah terdengar lagi kabar menguap

Mak
Hari itu aku lupa menyampaikan
Kalau orang-orang yang ditemukan dan menjadi bekas anak jalanan
Kini lupa padamu mak

Aku ingin bercerita padamu
Beberapa waktu lalu, di jakarta
Mereka yang sama denganku berdiri di depan pagar
Menganga jauh ke dalam sebuah gubuk

Dihuni bekas orang-orang 21 tahun silam berjuang
Mereka dulu menyerukan suara lantang
Mereka terus marah
tapi itu dulu mak
Dan sekarang mereka terpelanting
Tertidur di atas melaratnya rakyat.

Mak
Setelah darah tertumpah di jalanan
Kepala penguasa yang dihuni korporat
Melongo keblinger akibat 3 nyawa menghilang.

UU KPK,  RKUHP,  RUU PERTANAHAN,  RUU MINERBA
Sengaja dijadikan alat gaduh
Bahkan mereka biarkan gas air mata
Water canon,  tersembur pada teman-temanku

Mak
Bukan saja itu
Randy,  yusuf,  dan teman kami di makssar
Terkubur dalam sebidang tanah
Ratusan lainnya bermandi darah
Lalu air mata berubah menjadi murka

Mak
Setelah semua itu terjadi
Di depan layar TV
Aku melihat Yasona begitu gembira
Fahri mencoba mencari kesalahan teman-temanku

Tapi pada siapa kami harus mengadu
Sementara nafasmu sudah hampir termakan usia
Kulitmu yang terbakar "tata surya"
Langkahmu renta, Mak
Pada siapa lagi?

2019 Semua itu terjadi
Ada yang sengaja membunuh mahasiswa
Ada yang sengaja mak
Jika tidak, 3 temanku masih hidup

Lalu beberapa hari lalu
Tanah kami diguncang getaran magnitudo
Semua orang berlarian menuju puncak
Berteduh dibawah ranting pepohonan

Tidur di atas rerumputan
Berselimut udara dingin
Sampai pun ispa,  diare,  gatal-gatal menyerang
Dan mereka anggap itu beban
Mereka menganggap itu menyusahkan
Aku ingin mengadu
Tapi pada siapa?

Ratusan ribu mengungsi
Ribuan rumah hancur
23 jiwa hilang nyawa
Mereka anggap itu membebani, Mak.

Lalu sengaja
Aku melipat-lipat kertas
Ku raut isi kepalaku
Marah pada diriku sendiri

Tapi Mak
Jangan takut
Anakmu akan hidup untuk melawan
Melawan ego sendiri
Setelah itu
Membunuh nafsu konglomerat juga korporat

Sampaikan salam ku pada mereka yang telah pergi
Katakan aku sedang berjuang
Aku sedang menghembuskan nafasku untuk mereka

Mak
Aku marah mak
Sedihku hilang
Tawaku dicuri
Rumahku dibakar
Lalu ketika anakmu berteriak
Hilang menggalang nyawa.

Maka biarkan aku melawan
Biarkan aku melawan.
Jika mati
Aku ingin mati sebagai peluru.

Tanah Beta
Tanah Maluku | 02102019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun