Mohon tunggu...
Tanah Beta
Tanah Beta Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Mahasiswa Semester Akhir pada IAIN Ambon

menulislah sebelum dunia menggenggam nafasmu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sari Konde dan Kematian yang akan Datang (II)

7 April 2018   01:15 Diperbarui: 7 April 2018   02:33 870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Oleh: Adam Makatita

"Indonesia akan bubar di tahun 2030"Prabowo Subianto.

Angin berhembus begitu kencang, debu-debu pinggiran kota tertiup dan bertebaran---berhamburan tak tentu arah, tersapu, dan tidak menutup kemungkinan; kaum bedebah jalanan terasingkan kerana sapuan badai itu. Kabar tentang kematian itu terendus---terdengar sampai ke negeri terpencil di bagian barat, dan kini telah menggema dan merambat sampai ke timur tanah ibu.

Bahkan kegeraman yang tampak dari wajah-wajah orang beriman semakin menjadi amukan ganas terhadap sebuah isu yang sengaja dihidupkan untuk mendatangkan kematian semakin dekat dengan kehidupan yang penuh hiruk-pikuk di tanah ibu. Seperti biji-bijian---mulai berkecambah, merambat dan tumbuh di tanah gersang, telah dipenuhi air; tampak seperti tanah lumpur. Lalu kabar kematian itu, kini bertengger di telinga orang-orang timur tanah ibu. Syariat yang sekian rartusan, bahkan ribuan tahun dirawat, terlihat seperti sampah tak ternilai; dicaci seperti manusia hina yang berperilaku tidak beradap sedikit pun.

Aku yang sedang mengenang kepergain nenek tua bersari konde, dan Saya yang mati akibat kecelakaan tragis menimpanya, kini tertegun memikirkan kematian-kematian yang datang menemui tanah ini. Sudah terlalu sering kematian itu menjadi nyanyian para korporat asing atas klaim yang telah diberlakukan pada negeri rimba dan samudera ini. Apakah akan ada penghabisan setiap nyawa seperti di zaman penjajahan dahulu?

Ahhh lebih baik berjuang seperti Mahatma Ghandi, yang selalu mempertahankan harga diri tanahnya walau tanpa balasan kekerasan yang ia ciptakan, sekalipun tubuhnya berlumuran darah akibat dihantam para penjajah inggris yang datang menggeregoti tanahnya---dia tidak melawan.

Di depan pintu Rumah Sakit Kenangan, semua itu Aku pikirkan. Lalu, perlahan rasa takut datang menyetubuhi Aku. Saat itu, bayangan percakapan dengan Saya, datang kembali dan menjelajahi alam pikir Aku.

"hai"

"Saya"

"iya, Saya"

...

Percakapan itu hilang dari kepala Aku dengan sendirinya, sebab pintu ruangan autopsi terbuka dan seorang lelaki Berkaca mata keluar, bertubuh ramping, tingginya sekita 172cm, mengenakan pakaian khas seorang dokter lalu menyapa Aku,

"Nona"sapa dokter itu.

"iya Dok, Aku"sembari menyodorkan tangan.

"Ada keluarag bersamanya"

"Aku tidak mengenal keluarganya"

Sebelum percakapan berakhir, dokter tanpa permisi berlalu begitu saja tetiba dipanggil seorang perempuan---suster yang lari tergesa-gesa dari arah Ruang Gawat Darurat (UGD). Selang beberapa menit, Aku meninggalkan Rumah Sakit Kenangan. Ketika sedang melangkahkan kaki dengan perlahan, Aku kembali terbayang kematian-kematian itu, seakan kematian tak pernah lekang dari alam pikirnya; Tentang nenek tua bersari konde; pun perempuan cantik beranama Saya.

Kejadian itu mecipta trauma bagi Aku dan membuatnya sangat terpukul. Namun, kematian yang dialami, disambut dengan suka ria, tawa canda, dan kebahagian yang sunggu diluar dari kebiasaan orang berkabung.

"biasanya kematian itu disambut dengan duka yang dalam, tapi ini sungguh aneh: kematian disambut dengan pesta pora yang begitu meriah; dengan hura-hura dan minum-minum 'alcohol', dan sangat menjijikan"

Tentang sebuah konspirasi kematian nenek tua renta bersari konde itu. Berawal ketika dia bernyanyi dengan suara merdunya yang tidak disangka menjerumuskannya ke lubang kematian yang dalam. Derai air mata tak tertampak dari raut muka orang-orang yang tampak pongah dan geram dengan nyanyiannya yang dianggap sebagai bualan dan lelucon penghinaan. Hanya karena ketidaktahuan dan kebodohan yang dipeliharanya.

Lalu hal itu menjadi sebuah boomerang untuk semua orang menyerang dan membunuhnya, sampai ia pun berbaring di sebuah peti mayat dengan mengenakan pakaian yang tak ayal seorang mayat kenakan, begitu cantik gaun yang dipakaikan dan rambutnya di hiasi sari konde berlapis tusuk konde bercorak bunga-bunga. Oh.. sangat indah perempuan tua itu dalam peti kebehagiaan orang-orang atas kepergian dirinya.

Di waktu yang lain, Aku berjalan menelusuri lorong rumah sakit dengan wajah yang tampak kusut tak terurus setelah semalaman terjaga hanya untuk memberikan keterangan kematian itu. Padahal itu bukan tentang nenek tua, atau Saya yang sudah di autopsi seorang dokter yang pergi tanpa permisi kepada Aku. Tapi tentang kematian-kematian yang akan datang adalah kematian yang lebih tragis dari semua kematian.

Itu seperti pidato-pidato politisi yang dengan nada, sura, dan frasa satir menyudutkan pihak-pihak yang tidak disenanginya. Lalu itu, pun diperbincangkan disebuah stasiaun Televisi (Tv) Suasta Nasional dan menjadi perdebatan sengit para penyanyi rock (politisi) ketika masa kampanyae tiba.

Aku hanya ingin kematian-kematian yang akan datang bisa ditepis sebelum kiamat Sugra itu mampir. Dan menjadikan semua orang seperti orang gila tak bertempat tinggal. Sungguh tak elok jika menjadi tamu dirumah sendiri ketika melayat sebuah mayat yang dijemput kematian.

Namun, mungkin saja itu akan menjadi sebuah kenangan terpahit Aku dalam lika-liku kehidupan, dijalani. Tapi, entah kenapa selalu Saya datang dalam mimpi-mimpi Aku setiap hari, memanggil Aku dengan nada gemetar; lalu menampakan wajah yang gugup dan bibir begitu pucat, lalu berkata:

"Saya akan datang menjemput kematianmu Aku"

Seketika sekujur tubuh Aku menggil; gemetar ketakutan, keringat mulai  tumbuh dan berkembang sebesar jagung di sekujur tubuh Aku. "mimpi yang sangat aneh" ketus Aku dalam ketakutannya.

***

Selepas beberapa langkah menjauh dari Rumah Sakit Kenangan, bayangan yang acap kali datang setelahnya pergi, kini muncul kembali dan menutup tatapan Aku---Nenek bersari konde itu datang dengan wajah yang sedih dan tubuh yang tidak segemulai seperti dahulu. Pinggul yang tampak seperti gitar spanyol, kini telah terlihat seperti seurat lidi dan tidak berisi, hanya tersisa kulit membungkus tulang. Lalu perlahan ingatan di rumah itu kembali hadir dalam kepala Aku; tentang kebahagian atas duka; hura-hura orang-orang yang melayat; keceriaan yang akan dibungkus kematian lain dan kejadian tragis diluar rumah itu.

Selalu menghantui Aku. Semuanya menjadi sumbu kematian yang sudah semakin dekat, sebab tanah-tanah telah dijual, hutan-hutan telah dibabat, dan samudera yang sudah dihancurkan dengan bom buatan tangan orang-orang yang tak pernah memikirkan kesusahan orang lain---jelata yang bejat. Bukan tanpa alasan kematian itu semakin menghampiri, namun itu semua terjadi karena kerakusan hidup semakin menyetubuhi raga orang-orang lapar. Tidak seperti mereka yang kenyang namun rakus akan semua makanan. Itulah yang menjadi beban dalam kepala Aku.

Semua itu telah diramal, bahwa akan terjadi dan Aku tidak akan bebas dari kematian-kematian yang semakin dekat dengan tahun maut yang sudah di depan mata, berjarak 1000 kaki, dan mungkin saja besok akan tepat didepan pelipis jika semakin saja mereka terbuai dengan kematian Saya atau Sari Konde itu. Atau akan menjadi sesuatu yang mengaburkan arah pemikiran orang-orang dengan kematian mereka.

Bukan kematian biasa seperti disaksikan banyak orang.  Kematian ini akan datang menjemput semua orang di tanah ibu ini. Tapi, Aku meyakini, kematian ini adalah kematian dengan metode mencabut nyawa tanpa menanam jasad dan dibiarkan begitu saja, berjalan seperti roh masih didalam tubuh. Dan kematian itu, perlahan sudah mulai berkecambah bak kacang yang tumbuh dimusim hujan. (*)

Ambon, April 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun