Mohon tunggu...
Tanah Beta
Tanah Beta Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Mahasiswa Semester Akhir pada IAIN Ambon

menulislah sebelum dunia menggenggam nafasmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anak-anak Hujan

11 Juni 2017   08:55 Diperbarui: 13 Juni 2017   12:03 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.writeopinions.com

Oleh : Tanah Beta

Malam ini, di jalan Samratulangi, Ambon, tampak begitu ramai oleh orang-orang yang berlalu-lalang. Di sepanjang jalanan, lampu-lampu kota menerangi setiap emperan jalan---sering di gunakan pejalan kaki untuk di lalui. Bersamaan itu, hujan; yang sejak kemarin tak henti-henti, kni semakin deras di malam ini. Sembari itu, ada bebrapa anak yang terlihat menikmati derasnya hujan yang menghunjami kota, ku sebut mereka "anak-anak hujan". Mereka asyik bermain dan basah-basahan, apa pun yang di rasakan, entah dingin atau apa pun itu, mereka tak perduli. Kegirangan tampak di wajah mereka, dan begitu bahagianya anak-anak itu.

Air muka bahagia yang mewarnai hujan mala mini, seakan memberi kesan harmoni. Ada yang berbeda antara hujan kemarin dan hari gelap ini. Aku yang sedari tadi menatap mereka (anak-anak hujan), kini berjalan ke arah mereka, katika ku hampiri, aku melihat ada seorang anak kecil diantara anak-anak hujan itu, umurnya 3 tahun, Andi namanya---lelaki kecil berkulit hitma manis, di raganya tersarung pakaian yang tampak basah kuyup. Aku mendekatinya dan mencoba mengajaknya berbicara, namun saat itu dia tampak bengong.

"ade..."aku menyeru pada Andi.

(andi bengong saat ku sapa)

Mungkin dia sedang bertanya-tanya dalam benaknya, tentang siapa aku,  datang menghampiri dan mengajaknya berbicara. Namun berpapasan dengan hal itu, aku tak peduli, lalu ku ajak andi berkenalan dan percakapannya kami lakukan dengan dialeg Ambon.

"hay ade..."

"kakak sapa1?" dengan dialeg ambon andi bertanya (suaranya terdengar agak samar)

"nama kakak, Anti ... Ade nama sapa?"

"Beta2 Andi, kakak"

"Andi kanapa3 mandi hujan malam-malam bagini4?"

"suka kakak" Andi singkat.

"Andi seng5 takut sakit?"

"seng kakak, Beta su6 biasa mandi hujan malam-malam"

Saat mengatakan demikian, aku melihat bibir Andi gemetar dan air mukanya tampak pucat---dia kedinginan dan sesekali mengigil kemudian. Ketika melihat keadaan Andi, aku lantas melepaskan jaketku---jaket kulit berwana hitam dan ku sarungkan ke Anak 3 thn itu. Lalu, ku tenteng Andi ke pinggiran jalan dan ku dudukkan dia di atas trotoar (emperan jalan), setelah itu, aku duduk di sampingnya.  Tak ada sepata kata yang tersembur dari mulut kami berdua. Dan aku, dengan keadaan memangku dagu di atas jemari yang bersilang antara kiri dan kanan, hanya memandang wajah polos anak itu. Cukup lama aku memandangnya, dan kembali ku ajak dia berbicara.

"Andi tinggal dimana?"

"di belakang masjid kakak"

"ow... Andi su makan?"

"belum kakak"

"kalo bagitu, mari pi7 makan deng8 kaka"

Ku ajak Andi pergi makan di sebuah waruk terdekat, warung yang letaknya tepat di pojok jalan Samratulangi. Sambil mengenggam tangan Andi, kami berdua berjalan ke arah warung itu. Di warung, aku memesan sepiring nasi ikan untuk Andi. Tak sampai 5 manit menunggu, pesannya datang ... "Andi mau minum apa?" Aku kepada andi.

Belum lagi menjawab pertanyaanku, Andi malah nanya balik. "kaka seng makan?" Tanya Andi.

"seng, kaka masih kenyang, su makan tadi sebelum keluar dari rumah" jawabku.

Lalu ku tanyakan kembali ke Andi pertanyaan yang sebelumnya sudah ku tanyai. "Andi mau minum apa?" tanyaku.

Dengan gesit dan tanpa sungkan andi membalas "Teh panas jua kaka" jawabnya. Saat mendengar jawaban Andi, aku tersenyum ... "ya tuhan, senang sekali bisa berbagi dengan orang lain" dalam relung aku berkata.

Sembari memesan the panas, ku suruh Andi makan.

"di makan"

"ia kak"

"Bu, teh panas satu ya!" aku berseru kepada ibu penjaga warung.

"iyo mba" ibu warung membalas.

Sementara itu, aku masih memandang Andi yang sedang makan, begitu lahap Andi makan. Tampaknya di sangat lapar. Saat ku pandangi Andi makan, membuat perutku merasa kekenyangan. Pada hal, aku sendiri belum makan, but, tidak mengapa. Berbagi untuk sesama saja aku bersyukur dan merasa senang, sebaba kapan lagi akan ada hal seperti ini, mungkin aka nada tapi tunggu rezki selanjutnya. Dan cara makannya Andi membuatku menelan ludah.

***

Rinai hujan masih mewarnai malam, dan Andi, masih menikmati makanannya, begitu lahap dia menyantapnya. Selang beberapa menit, ibu warung datang dengan segelas teh panas dan menyodorkan padaku, aku ambil dan meletakkannya di dekat piring makan Andi. "ni teh panasnnya"  ibu warung menyodorkan.

Setelah menyerahkan tehnya, ibu warung itu lalu kembali dan seperti biasa, ia pergi melayani tamu-tamu lain yang datang untuk makan. Dan aku masih menemani Andi menghabiskan makanannya. Ia sangat menikmati makanannya, dan itu membuatku tertelan ludah beberapa kali sembari berbisik dalam hati "nikmat sekali makannya" desusku.

Usai Andi menghabiskan makanannya, Aku lalu memasukkan tangan kanan ke saku celana bagian depan, dari dalam saku, ku tarik dua lembar uang sepuluh ribu rupiah lalu ku sodorkan pada ibu penjaga warung itu untuk membayar sepiring nasi dan segelas teh panas yang sudah di habiskan Andi. Setelah membayar harga makanan, ku ajak Andi kembali ke anak-anak hujan (teman-teman Andi) tadi. Sesampainya kami berdua di sana, Aku melihat dari jarak yang tidak terlalu jauh, tampak raut mereka kebingungan, dan sepertinya mereka sedang mencari Andi.

Aku dan Andi berjalan mendekati mereka, wajah mereka cukup lesuh, mungkin karena dari tadi mencari Andi namun tak ketemu. Saat berada di dekat mereka, ada seseorang mendekati kami, itu teman Andi, atau mungkin kakaknya---wajahnya tampak merah, kaya'nya da sedang marah, entahlah, aku tak tahu. Dia mendekat kea rah kami dan kemudian bertanya kepada Andi, namun aku yang membalas pertanyaannya. "ose9 dari mana, Andi, katong cari ose dari tadi?" anak itu bertanya.
 "maaf, tadi kaka ajak Andi pi jalan-jalan seng bilang kamong10" aku menjawabnya.

Setelah mendengar jawabanku, tiada lagi pertanyaan yang muncul dari mulut manis anak itu. Aku memandang di sekeliling mereka, wajah-wajah anak-anak hujan ini begitu polos dan manis-manis, semetara Andi masih berdiri di sampingku. Kemudian, aku mengambil jaket yang ku sarungkan ke andi tadi dan bergegas meninggalkan anak-anak hujan itu. Aku pergi meninggalkan mereka, dan tak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya di antara mereka.


Pustaka Pena, 11 Juni 2017

Catatan :

# penulisan ini berdasarkan ingatan atas pengalaman beberapa hari yang lalu di kota, namun tidak sempat mengambil gambar, so saat itu Hp Lowbet.

# gambar yang di pakai, di ambil dari internet.

# Percakapan yang terjadi di atas, kami lakukan dengan dialeg Ambon :

  • Sapa = Siapa
  • Beta = Aku; Saya
  • Kanapa = kenapa; mengapa
  • Bagini = begini
  • Seng = Tidak; tak
  • Su = Sudah; udah
  • Pi = pergi
  • Deng = dengan; bersama
  • Ose = Kamu; kau
  • Kamong = Kalian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun