Oleh : Tanah Beta
Banyak api berseliweran di atas tanah. Muda-mudi duduk bersilah dan berdampingan, memadu rasa diatas puncak---sering di sebut orang-orang : puncak kayu satu. Puncak yang sering di kunjungi muda-mudi ketika malam akhir pekan---malam Minggu. Dan puncak yang di jadikan tempat memadu rasa oleh mereka yang di terpa angin asmara. Puncak ini berada di kawasan Kahena, Batumerah, Sirimau, Ambon.
Sangat ramai di malam ini. Muda-mudi yang berkunjung kesini adalah mereka yang merasa suntuk dengan perkuliahan---para mahasiswa/i.
Hawa dingin menyergap ketika aku masih dalam keadaan terengah-engah. Perlahan ku ayunkan kaki melewati petak-petak yang di buat muda-mudi sebagai batasan antara satu dengan yang lain. Setelah hampir lima puluh menit  mendaki, di atas puncak, ku liarkan padangan ke sagala sudut---mencari tempat, mendirikan tenda mini (Doom, sebutan anak-anak pecinta alam). Tepat dekat tebing yang tidak terlalu curam, ada sepetak tanah yang terlihat kosong, tidak  terlalu  jauh   dari keramaian muda-mudi. Di situ, aku dirikan Doom.
Sejenak aku merebahkan pantat di atas matras(tikar mini berwarna hitam) seusai memasang kerangka dan mendirikan doom. Dari depan tenda, terlihat sepasang kekasih yang sedang bermesraan. Memang, sempat aku merasa cemburu terhadap mereka. Tapiii ... sudahlah, aku kembali dan tak mau ambil pusing dengan mereka. Aku lalu beranjak dari tenda memasuki semak belukar---mencari ranting-ranting kering, membakarnya untuk nyalakan api. Di dekat kayu satu, banyak ranting berserakan, namun bukan yang ku makhsud. Itu ranting-ranting mentah yang baru di potong. "siapa lagi yang sudah memotong pohon di sini" aku berdesir.
"se tau sapa yang potong kayu manta ni ka?"dengan dialeg Ambon, aku bertanya pada seorang lelaki yang bersamaan sedang mencari ranting kering.
"seng tau" jawabnya singkat.
Lelaki itu lalu menghilang dari pandanganku setelah ku tanyai siapa yang memotong ranting mentah yang berserakan itu. Bayangan lelaki itu tak lagi tampak di depanku, Aku lantas cepat-cepat kembali ke tenda dengan beberapa potongan ranting kering dalam pelukan. Di depan tenda aku letakkan ranting yang kudapat setelah beberapa menit mencari. Lalu ku tumpukkan satu per satu ranting dan membakarnya. Dan ketika api, pun menyala, aku menghangatkan tubuh yang sejak tadi menggigil kedinginan. Selang hampir 30 menit aku berada di depan api.
"Kakak bisa pinjam korek ka!" lelaki yang ku temui di dekat kayu satu tadi berseru padaku.
Aku lalu mengambil korek dari dalam saku lalu ku sodorkan padanya. Dia membakar rokok dan...
"Makasi kaka"Â ucapnya setelah mengembalikan korek.
"sama-sama" balasku.
Lelaki itu lalu beranjak dari hadapanku setelah membakar sebatang rokok. Aku masi berada di depan api. Ketika dingin yang menyergap tubuhku perlahan hilang, aku berdiri dari depan sepenggal cahaya pemberi kehangatan pada tubuh mungil ini---api, dan Berjalan ke keramaian orang-orang (muda-mudi). Di situ, aku melihat banyak cahaya lampu yang meramaikan kota di malam hari---seperti lampion yang berjejeran. Begitu indah kota mini bertajuk manise.
***
Sebentar lagi malam akan tersibak, ini sudah terlalu larut. Rasa kantuk menghantuiku. Namun aku masih berdiri menghadapkan pandangan ke arah cahaya lampu-lampu kota yang berseliweran di sana. Dari atas puncak aku bisa melihat, bagaimana keindahan kota Ambon di malam hari. Sementara itu, pasangan muda-mudi perlahan sudah mulai pergi dari tempat sedang ku berada menuju tenda mereka masing-masing. Entah apa yang akan mereka lakukan di tendanya. "tidur, ataukah apa"pikirku.
Waktu sudah menunjukan pukul 03:29 WIT. Aku masih berada di antara ilalang. Masih berdiri menganga pada cahaya-cahaya di bawah sana yang perlahan hilang satu per satu---terlihat semacam cahaya lentera yang perlahan redup. Sementara rasa dingin datang dan merasuki tulang-tulangku---aku menggigil. ku lihat ke arah tenda, api yang ku nyalakan tadi sudah menjadi bara. Â Lantas, aku palingkan pandangan ku dari kota, dan menuju tenda mungil. Lalu aku duduk di depan api. ketika sampai di tenda mungilku, ku tumpukkan bara sisa api agar kembali menyala, dan ... "syukurlah, akhirnya menyala juga api"aku berujar dalam hati penuh kesenang. Lalu dengan api yang telah ku nyalakan dari sisa bara tadi, ku hangatkan kembali tubuhku.
Kini, tubuhku sudah terasa hangat. Rasa kantuk yang manghantuiku sudah menghilang, dan sampai selarut ini pun, aku masih terjaga. Â Duduk di depan tenda kecil tanpa berbuat apapun memang sangat membosankan. Dari dalam saku ku keluarkan selembar kertas. Ada tulisan pada kertas itu. Sebuah puisi yang aku tulis 2 hari lalu di sekretariat Mahasiswa IAIN Pecinta Alam (MAHIPALA)Ambon. Lalu ku baca berulang kali sampai rasa bosan pergi dan menghilang di bawa angin.
Setelah beberapa kali ku baca puisi itu, ada rasa yang kemudian menghantui ku. Rasa yang sudah sekian lama---hampir dua tahun lebih mendekap di dalam jiwa---rindu yang telah membatu. Kembali merasukki seluruh alam ragaku. Dan tak ada hal lain yang menimpa kecuali ... rindu yang perlahan menguasai diri ini. Â Sementara kayu satu sudah terlihat sunyi senyap, hanya beberapa orang yang masih terlihat di luar tenda. Mereka tampak sedang bermesraan. Tiba-tiba pasangan itu saling ... sampai berbaring di atas ilalang.
Dan aku hanya memandang pada mereka dengan tatapan nanarku. Aku kira: kayu satu ini hanyalah tempat untuk merefresing otak setelah hampir seminggu berhadapan dengan mata kuliah. Tapi, bukan hanya itu. Karena yang terlihat ada pasangan yang bermesraan sampai tak sadarkan diri. Terlepas dari pasangan muda-mudi yang terlihat dari depan tenda, ada yang aku temukan di balik semak-semak ilalang. Aku terkejut melihat mereka. Jarakku dengan mereka tidak terlalu dekat, juga tidak begitu jauh. Mereka  yang tidak sadar di tatap olehku sejak tadi, larut dalam cinta eros selama beberapa menit. Aku sempat berpikir juga, kalau kayu satu ini sudah seperti tempat prostitusi. Hanya saja di sini, tanpa membuang sepersen duit, pun bisah menikmati kemesraan di malam hari dengan suasana eros, itu pun kalau datang bersama pasangan. Dan bagi yang tidak, hanya menikmati malam dan bercumbu dengan rembulan. Mungkin inilah yang di makhsudkan Erick Form : "cinta eros (cinta antara lawan jenis yang meluapkan segala hasrat dengan mendahului segala hawa nafsu untuk mendapatkan apa yang di inginkan)" (filsafat umum, Noreni soyomukti).
Aku berlalu dari mereka, berkeliling di atas puncak kayu satu, seperti seorang penjaga yang sedang berpatroli. Ketika berkeliling, aku mendengar suara desah---suara yang terdengar begitu halus---suara perempuan yang sedang menikmati kehangatan malam dalam dekapan sahwat pasangannya. Suara itu berpapasan dengan sesepoi angin yang datang di antara malam yang hampir punah. Aku menengok pada arloji di tanganku, sudah pukul 04:48 WIT. Sebentar lagi subuh datang menemaniku yang masih terjaga.
Tak lama kemudian, suara itu redup tanpa jejak maupun gelombang bunyinya. Aku kembali menuju tenda kecilku. Rasa kantuk perlahan mulai bertandang---merasuki ragaku. Mata perlahan mulai layu. Satu-dua langkah, perlahan aku ayunkan kaki ke tempat berteduhku di malam ini. Ketika kaki kananku memasuki tenda ... "Allahu Akbar-Allahu Akbar" azan subuh terdengar dari arah perkampngan di bawah puncak kayu satu---Kahena.
Seketika rasa kantuk hilang dan pergi. Aku tak lagi ingin tidur. Takut jangan sampai tidak bertemu sanrise pagi nanti. Lalu ku pandangi kota, banyak lampu yang padam satu per satu di tiap-tiap rumah. Sembari itu langit sudah mulai nampak kebiruan. Perlahan alam mulai terlihat terang. Rasa bosan datang, setelahnya pergi saat aku mengambil hand phone dari dalam saku dan memutar beberapa instrumen untuk menghilangkan rasa lemas dan malas akibat bosan yang datang. Sembari menunggu senja pagi yang sebentar lagi akan berkunjung.
Biasan cahaya mentari sudah mulai menerangi semesta. Warna saga di pagi ini mulai tampak ketika kepala mentari sudah mulai muncul. Aku bersiap-siap untuk menyaksikan. Tidak sendiri, ada beberapa orang yang juga menanti datangnya sunrise pagi ini. Ya di atas puncak kayu satu ini aku bersama beberapa orang masih berdiri mengarahkan tubuh ke arah timur untuk menyaksikan keindahan alam di pagi ini. Sementara yang lain sudah berlalu-lalang menuruni puncak.
Aku kembali menuju tenda kecil, ku lepaskan kerangkanya, dan kulipat kain tenda. Setelah beberapa menit menyaksikan keindahan pagi yang di warnai dengan warna senja yang begitu indah. Ku masukkaa tenda dengan kerangkanya ke dalam kerel (tas ransel) bawaanku semalam. Semua peralatan aku masukkan kedalam tas, setelah itu, aku pun bersiap-siap untuk menuruni puncak dan kembali ke rumah. Aku sudah berkesiap meninggalkan puncak kayu satu, setelah menaikkan kerel ke pundakku.
***
Aku langkahkan kaki meninggalkan puncak. Dalam perjalanan, ketika aku menuruni jalanan yang tidak begitu terjal, aku hampir terpeleset oleh sebuah batu yang tercabut dari tanah ketika ku injak. Aku beristigfar beberapa kali, jantungku berdegup tak beraturan. Rasa menyesal pada diriku ketika itu.
Berjalan, berjalan, dan berjalan menuruni kemiringan jalan. Sudah seper dua perjalanan meninggalkan puncak. Aku memalingkan muka ke arah puncak. Ku pandangi lamat-lamat puncak kayu satu. memang tidak terlalu tinggi puncaknya, namun cukup melelahkan juga semalam ketika mendaki. Sampai-sampai nafasku pun turun naik seperti orang terkena asma.
Ambon, April 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H