Mohon tunggu...
Mario Tando
Mario Tando Mohon Tunggu... Penulis - Activist

Human Interest

Selanjutnya

Tutup

Politik

Keluarga: Budi Pekerti (Akar Sebuah Tanaman)

14 November 2017   12:48 Diperbarui: 14 November 2017   13:00 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pepatah Tiongkok Kuno mengatakan, "Dalam membangun negeri dan menjalankan roda pemerintahan, pendidikan yang harus dikedepankan. Dan hal utama dalam membangun manusia yang seutuhnya ialah dengan menerapkan pendidikan budi pekerti (Morality Quotient)". Dengan pendidikan yang benar manusia dapat menjadi baik. Jika didalam kehidupan keluarga seorang anak dapat berbakti kepada orangtua, bertakwa kepada agama dengan menebarkan kasih sayang terhadap sesama secara nyata, kemudian dapat mengabdi pada nusa dan bangsa, maka setiap anak bangsa dapat menjadi pemimpin yang dapat menjadi suri tauladan bagi generasi berikutnya.

Anak-anak itu terbentuk karena didikan orangtua dan lingkungan sekitar mereka. Konfusius pernah berkata, "Jati diri manusia itu sebenarnya sama, sangat murni dan sempurna. Tapi karena terkontaminasi dikemudian hari, maka tabiat satu sama lain menjadi berbeda". Edukasi publik yang terbaik adalah dengan segenap hati mendorong pendidikan budi pekerti (Tan Tie Lun).

Rakyat tidak mengerti tata krama, hukum Negara tidak akan efektif untuk menghadapi mereka. Hukum mungkin bisa memenjarakan anak durhaka, memidanakan pencuri atau koruptor, tapi hukum nyatanya tidak bisa memaksa rakyat bertindak etis dan membuat orang menjadi bermoral. Karena menurut Konfusius, "Dibimbing dengan undang-undang, dilengkapi dengan hukuman hanya akan membuat rakyat berusaha menghindari hukum, dan kehilangan harga diri dan rasa malu atas kesalahannya. Mendidik rakyat dengan etika moral budi pekerti dengan sopan santun, rakyat tidak akan hanya menaati hukum, tapi bisa merasa malu berbuat jahat". Laozi berkata, "Hukum Negara yang makin rumit dan mendetail, yang melanggar akan semakin banyak".

Jika bicara cerita hukum di Indonesia, rasanya semua aturan undang-undang berikut hukuman tentang segala hal semuanya ada, bahkan sampai urusan-urusan yang tidak sedikitpun terpikir nyatanya diatur undang-undang berikut hukumannya. Tapi lihat saja kenyataan yang ada di Indonesia, setiap pihak umumnya hanya saling mengelak ketika berhadapan dengan masalah hukum tersebut, berusaha mengelabuhi hukum itu sendiri dengan khayalan tingkat tinggi mereka masing-masing demi terbebas dari hukuman. Apalagi ditambah dengan implementasi hukum yang begitu bobrok, ketika para penegak dan pilar-pilar hukum di Indonesia justru terjerat masalah hukum itu sendiri. Selanjutnya hanya menyisakan teori-teori hukum yang begitu indah dipandang mata, namun jauh dari hasil praktek implentasinya yang dapat dirasakan jiwa.

Yang paling penting dalam rencana satu tahun adalah bercocok tanam. Yang paling berarti dalam persiapan untuk sepuluh tahun adalah menanam pohon. Jika merancang perkara untuk seumur hidup, yang paling penting ialah membina kader generasi penerus (Guan Zi).

Maka jika ingin Negara ini berkelanjutan ke arah yang lebih baik, sudah seyogyanya Pemerintah memfokuskan diri dalam dunia pendidikan dengan konsep yang tentunya tepat, bukan sekedar baik. Sebenarnya hal ini juga seiring sejalan dengan wacana pemerintah yang telah sadar akan pentingnya budi pekerti yang akan lebih ditekankan dalam kurikulum pendidikan nasional. Namun yang perlu diingat ialah pengawasan dalam segi implementasi, karena pada umumnya keinginan pihak atas tidak seiring sejalan dengan implementasi nyata di pihak bawah.

Perlu diingat juga, bahwa menurut penulis pendidikan yang baik rasanya tidak serta merta hanya ada di sekolah. Tapi pendidikan terbaik ialah berada didalam kehidupan keluarga, apapun bentuk positifnya. Menjadi tugas berat pemerintah ialah menyelaraskan hal tersebut menjadi kenyataan, membuat sistem yang mengarahkan kehidupan keluarga yang lebih utama, tidak menjadikan kedua orangtua menjadi fokus dalam dunia pekerjaan mereka masing-masing, tapi juga punya porsi besar untuk meluangkan dan mendidik anak-anaknya secara langsung dengan didikan kasih sayang yang nyata, sampai kemudian anak tersebut betul-betul siap untuk bertumbuh menjadi pribadi yang matang, dengan akar laku bakti yang kuat, sehingga tidak mudah goyah diterpa berbagai godaan dan ujian.

Dalam dunia sepakbola, sebaik-baiknya tim, pemain, bahkan strategi sepakbola, hanya akan menjadi sia-sia jika tidak dapat menyarangkan bola kedalam gawang lawan, dan kemudian memenangkan sebuah pertandingan. Pelatih yang baik akan menggunakan strategi yang tepat sesuai dengan komposisi pemain untuk memenangkan sebuah pertandingan, dan perlu diingat tidak semua strategi sama dalam melawan sebuah tim yang berbeda. Mereka akan menganalisis segala kemungkinan yang ada untuk menghasilkan sebuah strategi yang tepat untuk digunakan untuk memenangkan pertandingan, bukan sekedar bermain secara baik untuk menyenangkan supporter.

Satu hal lagi yang tak kalah pentingya ialah kedewasaan orangtua, pada umumnya orangtua merasa mendidik itu sama dengan 'memaksa'. Seringkali seorang anak 'dipaksa' untuk menjadi apa yang diinginkan oleh orangtua. Memaksa mereka untuk menjadi seorang yang perfeksionis di segala bidang. Sepertinya hal ini keliru besar, karena setiap orang mempunyai passion yang berbeda-beda, memiliki bakat dan keinginan yang berbeda satu sama lain. Sebaik-baiknya tugas orangtua ialah lebih kepada mengarahkan seorang anak menjadi seorang yang bermanfaat apapun passion yang dimiliki. Mendukung secara penuh apa yang menjadi bakatnya, sehingga ia dapat menjadi seorang yang berhasil tidak hanya secara fisik, tapi dalam hati dan jiwanya.

Jangan paksakan ia pintar fisika jika dia memiliki nilai yang tinggi dalam kesenian. Jangan paksakan dia untuk kreatif dalam seni, jika ia memiliki nilai yang tinggi dalam ilmu pasti. Tak perlu memaksakan untuk membentuk secara keseluruhan mengenai hidupnya.

Jangan biarkan mereka tersesat dalam keinginan orangtua. Mimpi, semangat, bakat laksana seekor burung, jangan biarkan ia terkekang di dalam sangkar baying-bayang orangtua. Biarkanlah ia lepas, bebas, kemana hati dan jiwanya pergi, namun tetap tidak merugikan orang lain dan bermanfaat untuk sesama. Biarkanlah ia memilih jalan hidupnya untuk menjadi apa, siapa, dan bagaimana dalam sebuah konsep yang positif dengan bekal moralitas hasil daripada pendidikan budi pekerti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun