(AKAR SEBUAH TANAMAN)
Jika kita berkaca pada kenyataan yang ada, harus disadari bahwa Negeri ini berada pada jurang kemerosotan yang amat dalam. Ketika sulit sekali menemukan sosok yang dapat ditiru oleh generasi muda sebagai simbol keberhasilan seorang pemimpin. Pada umumnya sistem yang ada hanya menghasilkan individu-individu yang serakah dan hanya peduli akan kepentingan pribadi serta kelompoknya semata. Individu yang amat cerdas, sampai-sampai kecerdasan tersebut mendorong mereka untuk berprilaku korup dan serakah. Ketika kecerdasan yang mereka miliki dijadikan alat dan strategi untuk memuluskan langkah-langkah untuk menggapai hasrat ambisi pribadi dan kelompok mereka masing-masing.
Pendidikan intelegensia nyatanya dapat membawa malapetaka, dimana hal itu jika tanpa diiringi dengan pendikan moral dan spiritual hanya akan membimbing kita untuk menjadi individu-individu yang korup dan serakah. Maka dari itu benar adanya bahwa pendidikan tidak serta merta bisa diunggulkan dari satu sisi saja, selain kecerdasan intelegensia (Intelligence Quotient), sekurang-kurangnya kecerdasan emosi (Emotional Quotient), moral (Morality Quotient) dan spiritual (Spiritual Quotient) amat berpengaruh terhadap karakter pribadi seseorang. Umumnya para orangtua terjebak dengan hanya mengutamakan kecerdasan intelegensia semata.
Sepertinya ada yang salah juga dengan pola kehidupan yang terjadi di negeri ini. Ketika para orangtua umumnya hanya mendidik anak untuk menjadi orang yang sukses (dalam pengertian mengejar materi semata), diiringi dengan kurangnya pendidikan moral dan spiritual yang baik. Tentu saja selain faktor lain yang amat berpengaruh, keluarga menjadi akar utama dalam membentuk karakter pribadi seseorang.
Tidak jarang kita menemukan keluarga yang acuh terhadap pendidikan, bahkan pendidikan intelegensia itu sendiri. Negara juga seringkali tidak bisa menjadi fasilitator untuk mengubah pola kehidupan yang kacau ini. Ketika guru pun tak bisa menjadi sosok tauladan, karena sebagian dari mereka harus kesulitan terhadap diri dan keluarganya masing-masing, sehingga yang ada dipikiran mereka ialah semata soal hasil yang didapat dari mengajar, tanpa adanya ketulusan untuk benar-benar dapat mendidik seorang siswa menjadi pribadi yang tangguh dan bermanfaat. Apalagi ditambah dengan kapabilitas yang tidak memadai, disertai dengan sistem pendidikan etika dan moral yang amat kurang terutama di jenjang terkecil pendidikan formal yang ada di negeri ini.
Ajaran budi pekerti yang ditekankan oleh Konfusius rasanya dapat diterima secara universal untuk kemudian diterapkan dalam konsep dunia pendidikan di Indonesia. Ketika para ilmuwan barat mempelajari keruntuhan empat peradaban dunia kuno (Tiongkok, India, Mesir, dan Babylonia), mereka mendapati hanya kebudayaan Tiongkok yang nyatanya masih dapat bertahan, dan mereka menarik kesimpulan itu terjadi karena Tiongkok setidaknya masih melestarikan kebudayaan pendidikan budi pekerti berbasis keluarga. Materi pendidikan yang bermuatan budi pekerti haruslah ditekankan dalam pendidikan formal saat ini di Indonesia.Â
Kita bisa berkaca pada Tiongkok yang sedikitnya masih mempertahankan konsep tersebut, dimana pendidikan dasar dalam masyarakat feodal Tiongkok diawali dengan bersekolah di rumah guru dalam kampung. Guru tidak menetapkan uang sekolah, orangtua murid membayar sesuai dengan kemampuan masing-masing, karena sudah selayaknya dimengerti bahwa adil itu tidak semata-mata harus sama. Bahkan 2500 tahun yang lalu, Konfusius hanya mensyarakatkan "seikat dendeng" bagi siapa saja yang ingin belajar kepadanya tanpa pandang bulu.
Guru menerima pemberian tanpa pandang bulu, dan menerapkan subsidi silang dimana pemberian seorang yang kaya akan disalurkan kepada mereka yang berkekurangan. Murid yang bersalah di sekolah dan dihukum guru tidak akan berani mengadu kepada orangtua, karena mereka tahu bahwa akan mendapat hukuman yang lebih berat lagi dari orangtua dirumah. Orangtua murid selalu mengajarkan kepada anak-anaknya untuk berprilaku santun dan patuh terhadap para guru, dan guru selalu mengajarkan murid-muridnya untuk berbakti kepada orangtua mereka masing-masing. Hal ini laksana alat musik yang ditabuh harmonis, penuh keserasian  kerjasama antara orangtua dan guru.
Mungkin sedikitnya ini juga pernah terjadi (masa lalu) di Indonesia, namun perlahan-lahan semangat itu telah pudar. Ketika kita bisa melihat kenyataan bahwa banyak guru yang diprotes, diboikot, bahkan dipukuli orangtua murid karena tidak terima anaknya dihukum guru (walaupun hukumannya dalam ambang batas wajar karena kesalahan murid itu sendiri yang tidak lagi dapat ditolerir). Saat terdengar berita banyak guru yang mencabuli murid-muridnya dengan sadar. Saat para intelektual melakukan tindak korupsi dalam kepentingan pendidikan. Sungguh naas apa yang terjadi di dalam dunia pendidikan Indonesia saat ini, dan jika kita tidak ingin peradaban ini punah, tentu saja pemerintah harus bergerak cepat mengatasi kesalahan sistem yang ada sejauh ini.
Selanjutnya jika kita mau berkaca kepada Jepang, murid-murid TK dan SD diutamakan untuk diajarkan tentang pendidikan moral, bagaimana cara kehidupan sesungguhnya di bumi yang kita huni bersama-sama, sehingga tentu saja harus memikirkan tentang kepentingan bersama pula. Hasil didikan yang cukup mengguncang dunia ialah ketika orang-orang Jepang justru bisa mengantre disaat situasi tidak memungkinkan untuk melakukan hal itu (Tragedi Pasca Tsunami), dimana keadaan sedang lapar dan kalut, mereka justru tidak mau berebut, mereka tetap mengutamakan kepentingan bersama untuk hasil yang tentunya akan lebih baik. Belum lagi tentang sosok pemimpin yang mau mengakui kesalahan, bahkan harakiri jika terbukti berbuat salah dan melanggar undang-undang dan merugikan orang lain.