Mohon tunggu...
Mario Tando
Mario Tando Mohon Tunggu... Penulis - Activist

Human Interest

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar dari Konfusius [Tiongkok Kuno]

18 November 2016   13:49 Diperbarui: 21 Desember 2016   18:00 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bimbinglah mereka dengan kebajikan dan cinta kasih di dalam kehidupan keluarga, karena menurut Konfusius, “Dibimbing dengan undang-undang, dilengkapi dengan hukuman hanya akan membuat rakyat berusaha menghindari hukum, dan kehilangan harga diri dan rasa malu atas kesalahannya. Namun mendidik rakyat dengan etika moral budi pekerti dengan sopan santun, rakyat tidak akan hanya sekedar menaati hukum, tapi dapat merasa malu berbuat jahat”. Laoziberkata, “Hukum Negara yang makin rumit dan mendetail, yang melanggar akan semakin banyak”.

Bangunlah generasi penerus yang dapat diandalkan dengan dasar moralitas yang tinggi, sehingga pada waktunya nanti mereka akan dengan sendirinya bertekad membangun negeri dengan baik. Bentuklah mereka sebanyak-banyaknya untuk menjadi pemimpin yang akan melawan kelompok yang masih berjuang untuk dirinya sendiri. Hentikan budaya korupsi melalui revolusi sumber daya manusia. Sehingga generasi muda tidak terjebak oleh alur budaya korupsi yang telah ditinggalkan para pemimpin kita saat ini. Budaya ‘korupsi sebagai pelumas pembangunan’ merupakan tradisi yang akan membimbing negeri ini menuju kehancuran. Dalam pepatah Tiongkok kuno dikatakan, “Jangan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, seperti melakukan penyogokan, penyuapan, atau memberi upeti”. Jika hal-hal buruk ini bisa dihindari, maka rakyat akan merasa damai dan tenteram. Inilah sebuah tradisi yang baik.

Tujuan tanah air tercinta yang tergambar dalam konsep ideologi Pancasila harusnya benar-benar dapat direalisasikan sehingga benar-benar dapat tercapai kehidupan yang harmonis, stabil, damai, dan makmur sejahtera. Seharusnya keharmonisan dapat dibangun jika semua masyarakat paham dan benar-benar yakin akan kehadiran Tuhan Yang Maha Kuasa, inilah yang menjadi pangkal dasar utama yang harus benar-benar dipahami, karena Dia lah kita berbeda, berbeda bukan untuk dibeda-bedakan, namun berbeda untuk saling mengisi dan menyatukan, sehingga setiap orang dapat memahami perbedaan dan menyambutnya dengan penuh penghormatan. Ujung daripada tujuan ideologi Pancasila ialah terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak ada perbedaan kelas, bahwa pemerintah harus benar-benar menjaga seluruh rakyatnya tidak terkecuali.

Semua duda, janda, yatim piatu, orang tua jompo, serta yang sakit parah dan cacat harus mendapatkan santunan dan dirawat dengan baik. Jadi, semua orang bisa bermasyarakat dengan tulus dan baik, tidak ada intrik dan selalu menjaga kerukunan, jangan sampai demi kepentingan pribadi merugikan orang lain, mencuri, merampok, berlaku makar tidak boleh dibiarkan. Inilah dunia berkeadilan yang sejati (Li Ji).

Jika pemerintah dapat benar-benar memahami yang pangkal dan ujung daripada ideologi Pancasila dan benar-benar berusaha menjalankannya dengan baik, bukan tidak mungkin kehidupan di negeri ini dapat benar-benar terasakan suasana yang harmonis, stabil, damai, dan makmur sejahtera. Dan semua rasa itu harus dibangun dari tingkatan terkecil, yakni tuntutan terhadap diri sendiri, kemudian kehidupan keluarga, dan selanjutnya pada kehidupan Negara. Setiap pemimpin yang memiliki kekuasaan tersebut harus memenuhi kriteria tersebut diatas. Kerjasama antara pemimpin dengan rakyat akan menjadikan sebuah Negara itu menjadi kuat. Selanjutnya setiap keluarga yang harmonis akan membantu Negara dalam menciptakan keteraturan sebuah kehidupan pemerintah, sehingga setiap masyarakat dapat terbangun suasana damai. Dengan kedamaian itu kehidupan bernegara dapat berjalan stabil, tidak ada kerusuhan dan ketidakpercayaan, karena hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin dapat berjalan dengan baik. Yang memimpin mengayomi yang dipimpin, yang dipimpin menghormati yang memimpin. Itu semua dapat terbangun jika semua individu, baik yang memimpin maupun yang dipimpin memiliki modal budi pekerti yang benar dalam kehidupan keluarganya, untuk selanjutnya dapat membina diri nya masing-masing untuk dapat meneliti hakikat tiap perkara sehingga dapat berpengetahuan luas.

Konfusius; “Memberikan edukasi kepada rakyat tentang kasih sayang, yang terbaik adalah pendidikan berbasis keluarga, yaitu berbakti, karena kaidah berbakti adalah cinta kasih. Menganjurkan kepada khalayak ramai mengikuti adat istiadat, mengikuti arahan tetua, inilah kode etik dari moral yang santun. Mengharmoniskan hubungan yang memimpin dan dipimpin agar sama-sama menjaga kerukunan, adalah dengan cara harus saling menghormati dan mengikuti tata susila.

Esensial tata susila sebenarnya hanya hormat menghormati. Oleh karena itu hormatilah orang tua mereka, anak-anaknya akan senang. Hormatilah kakak atau tetuanya, maka adik-adiknya akan gembira. Hormatilah raja mereka, para menteri akan tersanjung. Menghormati satu orang, yang merasa bahagia berjuta orang, yang kita hormati meskipun jumlahnya sedikit, tapi banyak orang yang ikut senang. Itulah sebabnya kenapa dianjurkan perilaku berbakti, karena inilah yang hakiki dalam membentuk manusia seutuhnya”. (Xiao Jing)

Kedudukan itu seperti mesin penenun yang menghasilkan etika dan moral. Kekuasaan ibarat roda penggerak menjalankan kebaikan hati. Orang alim kaki menenun, tangan memutar roda tenun, mengujudkan keelokan dan kesempurnaan pendidikan budi pekerti, agar semua unsur kehidupan selaras dan harmonis, hubungan antar manusia pun rukun dan damai. (Zhong Lun dalam Buku 360 Perinsip Kebijakan Tata Negara Tiongkok Kuno)

Maka pada dasarnya pemimpin yang baik ialah ia yang lahir dengan prinsip etika dan moral yang tinggi, menjaga hubungan antara pemimpin dengan rakyat sehingga tercipta keharmonisan dengan didengarnya setiap keinginan dan kebutuhan yang rakyat, yang kemudian direalisasikan oleh pemimpin tersebut. Dengan kekuasaannya ia menuangkan setiap kebijakan yang digunakan untuk menggerakan kebaikan hati setiap orang, sehingga negeri dapat teratur damai karena kebijakan yang stabil, konsisten dan konsekeun untuk kepentingan rakyat. Keharmonisan dan kedamaian itu harus diikuti dengan distribusi keadilan yang merata tanpa pandang bulu, sehingga seluruh rakyat dapat benar-benar merasakan kehadiran pemimpinnya melalui kebijakan yang merata. Sehingga dapat tercipta sebuah keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat.

Tidak ada satu pun kerajaan yang bisa menjaga stabilitas negerinya dari awal hingga akhir, tidak ada rakyat jelata yang takluk untuk selamanya. Jika satu negeri mendapatkan pemimpin yang arif bijaksana, maka negeri tersebut pasti akan aman, makmur, dan sejahtera. Namun jika yang terjadi sebaliknya, maka negeri tersebut akan carut-marut menuju keruntuhan. Inilah hukum alam yang berlaku sejak dulu kala. (Shuo Yuan dalam Buku 360 Perinsip Kebijakan Tata Negara Tiongkok Kuno)

Menurut penulis, negeri yang besar dapat tercipta oleh karena hubungan yang baik antara pemimpin dengan yang dipimpin. Negeri yang pada pokoknya tercipta dan dihuni oleh mereka-mereka yang memiliki pendidikan moral dan budi pekerti, dimana hal tersebut mengakibatkan mereka memiliki rasa bakti yang besar dan luas makna, sehingga dapat terpancar dengan baik dalam kehidupan mereka masing-masing. Yang memimpin dan yang dipimpin memiliki kewajiban yang sama, yakni menuntut diri mereka masing-masing baharulah dapat tercapai negeri yang harmonis, stabil, damai, dan makmur sejahtera.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun