“Pemimpin yang baik harus dapat mengutamakan yang pokok, karena pokok yang kacau itu tidak akan pernah menghasilkan penyelesaian yang teratur baik. Karena hal itu seumpana menipiskan benda yang seharusnya tebal dan menebalkan benda yang seharusnya tipis” [The Great Learning/ Da Xue]. Para pemimpin yang selanjutnya dapat mengelola kekayaan untuk kemudian dapat mendistribusikannya dengan baik kepada seluruh rakyat, sehingga rakyat dapat makmur sejahtera tanpa pandang bulu, dapat bersatu dan tidak memiliki keinginan akan sebuah perpecahan. Maka negeri yang harmonis, teratur, damai, dan makmur sejahtera harus diawali oleh sosok pemimpinnya. Pemimpin di segala lini yang hadir untuk rakyatnya. Yang jelas bertekad berjuang untuk rakyat bukan untuk pribadi dan kelompoknya. Pemimpin yang rela berkorban untuk kepentingan rakyatnya. Seorang tokoh pahlawan nasional Haji Agus Salim pernah mengeluarkan petuah hidup yang luar biasa untuk seorang pemimpin, yakni “leiden is lijden”; “memimpin adalah menderita; bukan menumpuk harta”.
Hal tersebut diatas laksana sebuah mimpi di siang bolong seorang anak negeri, yang melihat sosok pemimpinnya di negeri tercinta begitu menyukai kemewahan, yang tidak dapat memberikan tauladan bagi rakyatnya, yang tertawa diatas penderitaan rakyat, yang membangun istana ditengah gubuk reot yang masih tersandar di seantero negeri, yang terlalu pintar sehingga seringkali membodohi rakyatnya.
Kehadiran sosok Presiden Joko Widodo dan beberapa pemimpin-pemimpin daerah yang mulai hadir untuk rakyat sebenarnya membawa angin segar untuk rakyat ditengah kegalauan hati para anak bangsa. Revolusi mental digalakkan, semangat pembaharuan digelorakan. Tapi apa yang mereka kerjakan rasanya seolah belum terasakan hingga luas, karena para pemimpin-pemimpin kecil di tempat-tempat tertentu masih amat nyaman untuk hidup hanya memikirkan dirinya sendiri, yang masih begitu hobi untuk mengakali peraturan dan mensiasati anggaran untuk keperluan khalayak. Semoga kesederhanaan, semangat dan etos kerja pemimpin diatas untuk rakyat dapat tertular kedalam hati sanubari mereka-mereka yang berkewenangan di daerah. Karena seorang menteri/ pemimpin daerah sudah sepatutnya mengikuti laju pemimpin diatasnya. Mengabdi kepada pemimpin haruslah berlandaskan kebenaran.
Namun sesungguhnya seorang pemimpin tidak dapat bekerja sendirian, ia butuh kawan yang membantu untuk mengerjakan setiap masalah yang ada. Karena menurut Kongzi, “satu gelas air tak akan mampun memadamkan api segerobak”. Maka seorang pemimpin harus memilih dan memberlakukan orang-orang yang membantunya dengan arif dan bijaksana agar benar-benar dapat menjalankan tugasnya masing-masing dengan baik, sehingga dapat semaksimal mungkin dapat membantu meringankan pekerjaannya.
Alkisah pernah hidup seorang Kaisar Chuo Wen (wafat 1046 SM), seorang negarawan yang sangat arif dan bijaksana. Negaranya pun menjadi makmur dan sejahtera. Beliau mendapat dukungan yang sangat kuat dari para adipatinya berkat kebijaksanaan yang diterapkan kepada mereka. Ia selalu bersikap santun dan menghormati para menterinya, serta meyakinkan mereka untuk bisa mengembankan tugas dengan sebaik-baiknya. Raja ini selalu memerhatikan kenaikan pangkat dan imbalan atas prestasi para menterinya. Jika menterinya jatuh sakit, raja sendiri yang datang membesuk. Jika ada menterinya yang meninggal dunia, raja pasti menyatakan bela sungkawa yang mendalam, melayat dengan mengenakan rompi yang menyatakan dirinya ikut berduka cita, dan sedikitnya tiga kali mendatangi tempat persemayaman atau rumah duka. Sebelum peti mati ditutup, raja hanya akan mengambil makanan nabati dan pantang minum arak. Istana tak boleh menyelenggarakan pesta sebelum keranda masuk ke liang kubur.
Jika ada menteri yang meninggal dunia bertepatan dengan akan diselenggarakannya satu hari peringatan tertentu, maka perayaan tersebut akan dibatalkan. Karena raja memperlakukan para menterinya sebagai pribadi yang sangat terhormat dan bermartabat, maka para menteri juga akan mengabdi kepada raja dengan segenap jiwa dan raga hingga akhir hayat mereka. Hubungan antara pemimpin dan pembantu harus dapat terjaga dengan baik untuk menunjukkan keseriusan dan konsekuensi pemimpin untuk bekerja demi kepentingan rakyatnya.
Mengzi/ Mencius berkata, “Bila pemimpin berperi Cinta Kasih, niscaya tiada yang tidak berperi Cinta Kasih. Bila pemimpin menjunjung Kebenaran, niscaya tiada yang tidak berlaku Benar. Bila pemimpin berjiwa lurus, niscaya tiada yang tidak lurus. Dengan seorang pemimpin yang berjiwa lurus, seluruh negeri niscaya teratur beres."
Teori diatas sebenarnya juga amat mungkin terjadi jika sistem dan sumber daya manusianya benar-benar memadai. Namun jika kita berkata jujur, hal tersebut belum dapat berlaku seutuhnya di Indonesia dikarenakan sistem politik pemerintahan yang begitu rumit dengan segala kekurangannya. Pemimpin sehebat apapun tidak akan dapat menjadi apa-apa, karena dia sudah barang tentu terperangkap dalam kepentingan kelompok juga. Karena proses menjebak mereka pada keadaan itu. Proses yang sedemikian rupa membutuhkan instrument politik seperti partai, biaya tinggi untuk kampanye memaksa pemimpin pilihan tersebut terperangkap dalam lubang kepentingan pihak-pihak tertentu. Sehingga mau tak mau dia harus mengakomodir pihak-pihak tertentu dengan strategi yang pastinya akan menguras banyak pikiran agar semua keinginannya untuk mensejahterakan rakyat dapat tercapai.
Didalam buku “360 Perinsip Kebijakan Tata Negara Tiongkok Kuno” dikatakan bahwa, “Jika seorang raja memiliki anggapan bahwa orang yang bijaksana adalah mereka yang dipuja oleh banyak orang, dan orang yang tak becus adalah mereka yang dicela atau difitnah oleh orang awam, maka raja hanya akan menunjuk orang-orang yang berkoalisi dalam partai, sementara mereka yang berada di luar koalisi akan terdepak. Dengan demikian mereka yang arif dan bijaksana akan tenggelam, menteri yang setia tersingkir atau dieksekusi, para koruptor yang dengan akal muslihat mereka berhasil merebutkekuasaan dan gelar kehormatan, masyarakat akan bertambah kacau, dan negara menuju ke ambang pintu kemusnahan”.
Inilah yang terjadi dalam sistem pemerintahan kita, bahwa pemimpin terjebak pada kepentingan partai, sehingga mau tidak mau harus mengakomodir semua kepentingan partai jika ingin pemerintahannya berjalan mulus. Hal ini tidak akan menjadi masalah jika partai benar-benar diisi oleh orang-orang benar dan bersih yang memiliki kepentingan untuk rakyat, tapi jika sebaliknya yang terjadi ialah sebuah kehancuran bagi sebuah negeri.
Sebenarnya semua hal itu dapat terjawab dengan pengelolaan sumber daya manusia yang berkarakter, yang memiliki moralitas dan kepribadian positif mengabdi kepada negeri. Dimana segala intrumen kekuasaan, baik partai maupun pemerintah di parlemen sampai dengan hukum (eksekutif, legislatif, yudikatif) diisi oleh orang-orang yang terbina dan teruji, bukan sekedar kualitas intelegensianya semata, tapi juga tentang moralitasnya. Hal itu seharusnya dapat dibentuk melalui pendidikan anak di usia dini. Anak-anak yang hidup harmonis didalam keluarga, mendapatkan bekal pendidikan budi pekerti keluarga yang menjadi fondasi dasar mereka untuk menentukan langkah mereka kemana saja dengan rasa bakti yang besar. Karena dengan rasa bakti yang besar, yang terbangun melalui pendidikan budi pekerti dalam keluarga, mereka akan menjadi sosok yang luar biasa bermanfaat bagi seluruh manusia. Karena sudah barang tentu ia tidak ingin menggores nama baik orangtua mereka melalui perbuatan-perbuatan negatif yang dapat merusak nama baik keluarga. Inilah yang seharusnya ditekankan menjadi dasar utama dalam pembentukan karakter seorang pemimpin negeri. Dia yang mencintai rakyat layaknya keluarga sendiri. Dia yang menyayangi keluarga dengan cara mengasihi rakyatnya.