Pagi ini saat hendak memasak ternyata bumbu di dapur habis, langsung deh si mbak kusuruh ke warung depan komplek untuk beli. Sesaat kemudian si mbak pulang dan bilang " bu, ini tadi ga ada uang kecil sama pak X ( pemilik warung) dikasih permen buat kembaliannya" katanya sambil menyodorkan 4 buah permen. Kuterima permen itu sambil bilang ke si mbak..." besok lagi kalau dikasih kembalian permen ditolak aja mbak, kan nggak ada yang makan permen disini. Bilang aja uang kembaliannya ditinggal ( jawa : ninggal)." Iya bu" jawab si mbak.
Sudah berkali2 kalau belanja di warung ini bila tidak ada kembalian uang receh ( ratusan) maka si penjual akan memberikan permen sebagai ganti uang kembaliannya. Bahkan saat si kurcaci boy yang " bertugas belanja" pun pernah dikasih kembalian permen. Untung dia tidak pernah tertarik untuk memakan permen - permen itu. Jadilah permen - permen yang tak diundang itu menumpuk di atas kulkas sebelum akhirnya menempati tempat sampah.
Sebenarnya bukan nilai nominalnya yang mengusik tapi yang bikin kurang sreg kita seolah - olah dipaksa untuk beli permen,dan permen seakan - akan menjadi alat sah pengganti uang kembalian dengan nominal kecil. Bagi anak - anak yang masih kecil juga bisa menjadikan si anak tertarik untuk makan permen karena sudah " diiming - imingi" oleh permen kembalian tadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H