Mohon tunggu...
Tamyizurrohman Unnes
Tamyizurrohman Unnes Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Universitas Negeri Semarang

Halo perkenalkan saya Tamyizurrohman seorang mahasiswa jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Negeri Semarang

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Kritik Terhadap Mazhab Ekonomi Klasik

16 Desember 2024   18:43 Diperbarui: 16 Desember 2024   18:43 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mazhab ekonomi klasik, yang berkembang pada akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19, merupakan tonggak penting dalam sejarah pemikiran ekonomi. Para pemikir seperti Adam Smith, David Ricardo, dan John Stuart Mill memberikan dasar-dasar teori ekonomi modern dengan penekanan pada pasar bebas, kompetisi, dan mekanisme harga sebagai penentu alokasi sumber daya. Namun, meskipun kontribusi mereka sangat besar, mazhab ekonomi klasik tidak terlepas dari kritik yang mengungkapkan kelemahan dan keterbatasan teorinya dalam memahami dinamika ekonomi yang lebih kompleks. Artikel ini bertujuan untuk mengkritisi mazhab ekonomi klasik dari berbagai perspektif, termasuk asumsi dasarnya, pandangan terhadap pasar bebas, serta relevansinya dalam konteks dunia modern.

Salah satu kritik utama terhadap mazhab ekonomi klasik adalah asumsi bahwa individu bertindak secara rasional untuk memaksimalkan utilitas atau keuntungan mereka. Konsep ini, yang sering dirujuk sebagai homo economicus, mengabaikan kompleksitas perilaku manusia yang sering kali dipengaruhi oleh emosi, budaya, norma sosial, dan faktor psikologis lainnya.

Penelitian modern di bidang ekonomi perilaku menunjukkan bahwa manusia tidak selalu membuat keputusan rasional. Daniel Kahneman dan Amos Tversky, misalnya, menemukan bahwa bias kognitif sering kali memengaruhi cara individu memproses informasi dan membuat keputusan ekonomi. Dengan demikian, pandangan ekonomi klasik yang terlalu menyederhanakan perilaku manusia cenderung memberikan gambaran yang tidak akurat tentang dinamika pasar dan interaksi ekonomi.

Mazhab ekonomi klasik sangat percaya pada efisiensi pasar bebas, di mana mekanisme permintaan dan penawaran dianggap mampu mengalokasikan sumber daya secara optimal tanpa campur tangan pemerintah. Adam Smith, melalui konsep invisible hand, berargumen bahwa tindakan individu yang mencari keuntungan pribadi akan secara tidak langsung membawa manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan.

Namun, pandangan ini sering kali mengabaikan kegagalan pasar yang nyata dalam dunia nyata. Contohnya termasuk eksternalitas, seperti polusi, di mana biaya sosial tidak sepenuhnya tercermin dalam harga pasar. Selain itu, masalah ketimpangan ekonomi dan konsentrasi kekayaan menunjukkan bahwa pasar bebas tidak selalu menghasilkan distribusi sumber daya yang adil. Para ekonom modern, seperti Joseph Stiglitz, telah menunjukkan bahwa tanpa regulasi yang memadai, pasar bebas cenderung menciptakan monopoli dan memperburuk ketimpangan sosial.

Mazhab ekonomi klasik cenderung berfokus pada analisis mikroekonomi, yaitu perilaku individu dan perusahaan, dan kurang memperhatikan dinamika ekonomi makro. Salah satu asumsi utamanya adalah Say's Law, yang menyatakan bahwa "penawaran menciptakan permintaannya sendiri." Dengan kata lain, produksi barang dan jasa akan selalu menciptakan permintaan yang cukup untuk menyerapnya.

Namun, pandangan ini terbukti tidak akurat selama Depresi Besar pada tahun 1930-an, ketika overproduksi dan kurangnya permintaan menyebabkan pengangguran massal dan kontraksi ekonomi yang parah. John Maynard Keynes mengkritik asumsi ini dalam teorinya tentang ekonomi makro, yang menekankan pentingnya permintaan agregat dalam menentukan tingkat aktivitas ekonomi. Keynes menunjukkan bahwa dalam situasi tertentu, pasar tidak mampu menyesuaikan diri secara otomatis, sehingga intervensi pemerintah diperlukan untuk menstabilkan perekonomian.

Mazhab ekonomi klasik, khususnya melalui teori nilai kerja yang dikembangkan oleh David Ricardo, mengasumsikan bahwa pendapatan akan didistribusikan secara alami antara tiga faktor produksi: tenaga kerja, modal, dan tanah. Namun, teori ini cenderung mengabaikan dinamika kekuasaan dan institusi yang memengaruhi distribusi pendapatan.

Dalam kenyataannya, distribusi pendapatan sering kali ditentukan oleh faktor-faktor yang jauh lebih kompleks, termasuk kebijakan pemerintah, struktur pasar, dan kekuatan tawar-menawar antara pekerja dan pengusaha. Ketimpangan pendapatan yang terjadi di banyak negara modern menunjukkan bahwa pasar bebas tidak secara otomatis menciptakan distribusi yang adil, seperti yang diharapkan oleh para pemikir klasik.

Mazhab ekonomi klasik cenderung memandang ekonomi sebagai sistem yang statis, dengan sedikit perhatian terhadap dampak inovasi teknologi dan perubahan struktural dalam perekonomian. David Ricardo, misalnya, dalam teorinya tentang keuntungan komparatif, mengasumsikan bahwa pola perdagangan internasional akan tetap stabil seiring waktu.

Namun, perkembangan teknologi modern telah mengubah pola produksi dan perdagangan secara signifikan. Inovasi teknologi menciptakan industri baru, menggeser kebutuhan tenaga kerja, dan mengubah struktur ekonomi global. Pandangan statis mazhab klasik ini tidak cukup untuk menjelaskan dinamika ekonomi yang cepat berubah di era teknologi saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun