"Gue kemarin abis narik dari Bogor, Eh tau-tau pulangnya ketemu setan."
      "Seriusan lo? Coba ceritain. Seru nih pasti." Bejo tertarik dengan ucapan Oman. Cerita diakhiri dengan nasihat dari Bejo agar Oman percaya dengan cerita teman-temannya minggu lalu. Bejo penasaran dengan uang yang diterima Oman. Oman pun sama penasarannya dengan Bejo. Diraba-raba kantong depan jaket Yu-jeknya, tangannya dengan perlahan-lahan mengeluarkan isi dari kantong jaketnya. Di dalam pikirannya tayang pertanyaan-pertanyaan yang tak masuk akal, jangan-jangan uang tersebut sudah menjadi daun semalam. Perlahan-lahan sudut benda itu muncul, dan ditarik paksa dengan rasa penasarannya yang semakin tinggi. Kedua terkejut, ditatap lama sesuatu yang baru saja keluar dari saku jaket Oman. "Apaan, masih duit itu, penumpang lo lagi sakit gigi kali. Makanya diem kek patung." Bejo tidak melihat tanda-tanda yang aneh yang terjadi di uang itu. Keduanya tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba Bejo berhenti tertawa. Mata dan moncong bibirnya mengisyaratkan Oman agar menoleh ke belakang.
      Sinyal isyarat itu menghipnotis Oman, seketika Oman menoleh ke belakang. Terlihat Tante Siska, janda komplek sedang menuntun anak laki-lakinya membeli sate ayam. Wajah Bejo terlihat meledek. "Nggak usah ngeledek, Jo." Oman merasa jijik dengan wajah Bejo yang tidak karuan meledek dirinya. "Wihh, rame nih. Ada apaan-apaan?" Tomi datang dengan raut wajah yang lebih kuat membuat Oman kesal. Oman hanya diam melihat tingkah laku teman-temannya yang kerap meledek dan menjodohkannya dengan janda-janda di komplek pangkalannya. "Dari mana lo, Tom?" Oman penasaran melihat celana bahan hitam Tomi penuh dengan cipratan tanah merah. "Nganterin bini tadi ke pasar, mana lagi becek banget." wajah Tomi terlihat kesal melihat noda yang ada di ujung celananya.
      Oman tidak membuang kesempatannya untuk bertanya mengenai keadaan berumah tangga kepada teman-temannya. Terkadang, asam yang sering dia dengar, namun ada juga warna-warni berumah tangga menempel di telinganya. Bahkan ada yang baik hati menasihatinya, bahwa hidup memang berteman dengan masalah. Kesempatan itu dia simpan di dalam daftar pengalamannya, agar saat berumah tangga dengan Marwah menjadi indah saat jatuh tempo nanti. Senja yang menawan, bulatan mentari seperti kuning telur setengah matang menempel di kanvas awan putih yang indah. Cahaya senja menyoroti bidadari cantik berjilbab warna hitam sedang menyiram tanaman. Oman tidak henti-hentinya memalingkan wajah dari gadis yang disukainya diam-diam.
      Oman tidak punya nyali untuk melihat dengan dekat kecantikan yang terpancar dari wajah Marwah. Jaraknya agak menjauh dan berpura-pura sedang menunggu order-an itu taktik yang dipakainya. Namun, kecantikan Marwah hilang ketika Ayahnya memanggilnya tuk masuk ke dalam. Oman ngeri melihat kumis hitam yang menempel lekat milik Ayah Marwah. Terkadang, dia merasa pesimis mendekatinya, karena Marwah anak orang kaya. Oman sedang mengumpulkan uang untuk melamar Marwah dan mengejutkan orang tuanya, bahwa seorang ojol bisa melamar anak orang kaya yang selama ini diintainya.
      Sepatu pantofel hitam itu berdansa dengan merahnya trotoar. Membuat bunyi seperti sepatu kuda yang berlari di malam hari. Ratu terus berjalan menunduk dan menyeret tas selempangnya. Malam kamis yang tak begitu manis baginya. Ingin dia membela diri agar tidak dipecat dari perusahaannya bekerja. Namun, Pak Arman tidak mau mendengar dia berdalih yang ke sekian kalinya. Ratu tidak berdalih, tapi memang kenyataan. Sekarang, Ayahnya sering sakit-sakitan. Dia takut akan hal yang tidak diinginkan terjadi pada Ayahnya. Selama Oman pergi dari rumah, Ayahnya sering meracau meminta maaf pada Oman. Dia harus cepat-cepat sampai rumah, Ayahnya sedang menunggu kabar baik anaknya.
Malam yang sunyi, nyanyian jangkrik dan hewan lainnya menemani malam Oman yang sepi. Tubuhnya menyatu dengan lantai yang dingin. Memandangi plafon kamar yang sudah mulai menguning akibat air hujan yang berusaha menjadi maling ke dalam kamarnya. Dia merasa ada hal yang sedang dirindunya. "Siapa dia? Apakah Marwah" gumamnya dalam hati. Dia beranjak mengambil sesuatu di sudut kamar. Celengan biru itu ditatapnya dengan penuh rasa berharap. Celengan yang penuh dipeluknya dengan erat, benaknya sedang menayangkan masa depan bersama Marwah yang bahagia. Dering ponsel memecahkan imajinasinya.
Telepon dari Ratu, sang adik. Nada suaranya terdengar parau. Kabar dari Ratu membuatnya terkejut, namun batinnya tidak mengizinkan untuk pergi. Dia mencoba membuang jauh-jauh pikiran negatif dan melesat pergi ke rumah sakit, adiknya sedang menangis di sana. Di koridor, Ratu sedang menangis di bangku panjang. Wajahnya ditutupi dengan kedua tangannya. Tangis sang adik pecah dipelukan sang kakak. Dia bercerita bahwa Ayah mereka di diagnosa kanker hati. Ratu tidak punya biaya lagi untuk membantu operasi sang Ayah. Oman merasa berat hati, dendam yang dulu membakar kepalanya. Dia beranjak dari tempat duduk. Menatap Ayahnya yang berbaring lemah dikerubungi selang-selang pengantar kesembuhan.
Ingatan masa lalu kembali berputar, dia ingat sosok Ayah yang selalu melesatkan anak panah kepadanya. Ayahnya selalu menekan dan memaki dirinya yang bermental seperti keong. Sang adiklah yang menjadi bahan perbandingan dengan dirinya dulu. Telinga sudah merasa bebal dan panas, setiap hari lagu yang diputar hanya lagu mematahkan asa bukan menguatkan. Napasnya naik turun, dengan langkah tergesa-gesa dia pergi meninggalkan Ratu yang tengah duduk meratapi kesedihan. Adiknya mencoba bertanya dan menghentikan langkah Oman, namun tenaganya lebih kuat dari kaum hawa yang tunggal.
Di dalam hatinya yang kacau, ada keinginan yang ingin dia lakukan. Yakni, melamar Marwah. Kecepatan motornya kini melebihi batas peraturan lalu lintas. Pintu kamar kostnya dibuka dengan kasar, kedua tangan mengacak-ngacak segala benda yang menghalangi hawa nafsunya demi mencari celengan tabung berwarna biru. Celengan biru itu berhasil didapatkan. Dengan cepat, dia melesat menuju rumah Marwah. Tidak peduli pukul berapa sekarang dan tidak peduli pakaian apa yang dia pakai, yang ada di isi kepalanya hanya keinginan melamar gadis pujaan hatinya. Oman mengucapkan salam dengan nada berapi-api dan terus menekan bel, serta mondar-mandir agar tubuhnya stabil ketika berbicara nanti. Suara seseorang membuka kunci gerbang membuatnya merasa tenang, namun bukan Marwah atau anggota keluarganya yang menyambut Oman, tetapi yang dihadapannya seorang asisten rumah tangga keluarga Marwah.
Asisten itu berkata bahwa Marwah dan keluarganya sudah pindah ke Bandung. Dia tidak percaya dengan perkataan orang itu, dipanggilnya dengan keras nama Marwah tapi tidak ada angin yang membawa suara jawaban dari panggilannya. Kakinya lemas dan hatinya tidak karuan. Dia sudah berharap rencananya akan mulus, namun yang dirasa ialah harapan yang pupus. Perasaan sedih yang menyerang, mendorongnya untuk memberontak kepada benda-benda mati di sekitar. Tetapi, dia tidak ingin dicap sebagai orang gila karena akal sehatnya masih tertanam di tempurung kepala. Ponsel hitam kembali berdering, Ratu mengatakan bahwa Oman harus segera ke rumah sakit, suaranya terdengar seperti radio yang tidak ada antena. Ratu kembali memeluk erat Oman. Adiknya menangis tersedu-sedu mendengar kabar duka, yang menimpa Ayah mereka. Oman hanya bisa berdiam diri mendengar kabar itu. Setetes embun sendu keluar dari celah matanya yang merah. Sang Ayah telah tiada.