Mohon tunggu...
Sri Utami
Sri Utami Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis adalah hobi yang sangat menyenangkan untuk saya. Saya bisa mengekspresikan rasa dalam untaian kata yang berlimpah. Menulis fiksi salah satu keajaiban imajinasi yang Tuhan karuniakan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kata yang Hilang dalam Cinta

9 Maret 2024   15:00 Diperbarui: 12 Maret 2024   21:53 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di ruangan remang-remang, pemuda berjas hitam berdasi merah duduk di bawah cahaya lampu temaram. Tatapannya datar dan terlihat tenang.

"Client memintamu untuk membunuhnya." ucap datar pemuda berjas hitam berdasi putih. Ia memberikan sebuah foto perempuan berhijab cokelat.

"Kenapa aku harus membunuhnya?" tanya Rezan. Pemuda berjas hitam berdasi putih menghirup rokok kreteknya dan menghembuskan asap ke atas, sehingga membentuk gumpalan asap putih yang meliuk-liuk di udara. Ia mengetuk rokoknya agar abu yang sudah menumpuk jatuh ke lantai, "Gadis cantik ini adalah hama, kata mereka. Orang-orang yang mempunyai kuasa merasa risih kalau gadis ini masih hidup. Kritikannya membuat panas telinga mereka. Ya, walaupun kita adalah orang suruhan untuk membantai. Tapi, aku setuju dengan gadis ini," pemuda berdasi putih menunjuk perempuan itu di foto, "Dia sangat berani mengkritik manusia-manusia haus harta. Apa kau siap mengeksekusinya Rezan?" pemuda berdasi merah adalah Rezan. Seorang pembunuh bayaran yang terkenal sadis dan pintar menghilangkan jejak korbannya. Rezan masih diam dan tak merespon penjelasan atasannya.

"Aku akan memberimu uang dua miliar untuk perempuan ini," tawarnya. Upah yang ditawarkan tidak main-main. Hanya membunuh seorang perempuan biasa, ia akan mendapatkan upah seharga rumah mewah.

"Kenapa bukan kau saja yang membunuhnya?" ujar Rezan santai. Pria di depannya menghela napas panjang.

"Bukankah kau ninja pembunuh yang terkenal sadis? Tenang, aku sudah siapkan uangnya." pemuda berdasi putih menyodorkan koper yang berisi tumpukan uang berwarna merah. Cahaya lampu menerangi permukaan uang yang mengilap.

Rezan bangkit dari duduknya, "Aku akan menerima uang setelah gadis itu lenyap dari genggamanku," Rezan meninggalkan ruangan tanpa berkata-kata lagi. Hujan masih membasahi tanaman di selasar fakultas. Perempuan muda berhijab hitam sedang menggosok-gosokkan tangannya agar merasa hangat. Hujan hari ini sangat deras dan membuat hawa di sekitar kampus menjadi dingin. Pukul 18.45 suasana kampus menjadi sepi dari biasanya. Mungkin banyak mahasiswa yang sudah pulang karena hujan atau meneduh di ruang sekret organisasi. Berhubung sudah azan magrib, Salimah melipir sebentar melaksanakan kewajiban untuk salat. Selepas salat dan menunggu hujan reda Salimah menyempatkan membaca komentar di blog dan media sosialnya. Banyak netizen yang mendukung dan mengapresiasi kritikannya. Ada yang berkomentar positif dan ada juga yang mengatakan dirinya sebagai alat untuk memprovokasi. Salimah diam sekejap ketika matanya menangkap sebuah komentar yang membuatnya diam seribu kata.

 @twintiee24

[Hati-hati mbak kalau mengkritik. Banyak yang tidak suka tulisan mbak. Selalu waspada orang-orang di sekitar. Bisa jadi mbak diincar.]

Salimah bertanya-tanya di dalam hati untuk apa dirinya diincar kalau memang kritikannya itu memberikan dampak kesadaran bagi orang-orang kalangan atas. Bukannya takut, ia justru makin bersemangat mengutarakan hak-hak masyarakat yang terbengkalai lewat tulisannya di blog pribadi dan media sosial. Toh, ia sudah melakukan hal yang bermanfaat dan kenapa ia harus takut untuk melakukan kebenaran walaupun di luar sana banyak pembantai suruhan. Dulu, ia pernah mengangkat tema dalam kritiknya membahas beasiswa kampus yang digugurkan serentak oleh pihak berwenang. Banyak yang mengunggah ulang kritikannya dan berhasil membuat pihak tersebut mengubah kebijakan. Sebuah tulisan akan menjadi senjata jika peluru kata yang digunakan tepat sasaran. Salimah beranjak dari duduknya dan menghirup napas panjang. "Oke Salimah, tenangkan dirimu. Allah pasti bersama orang-orang yang menegakkan kebenaran. Bismillahirrahmanirrahim." doanya menggema dalam hati. Salimah berjalan menyusuri jalanan kampus dengan berzikir. Jalanan yang biasa ramai ketika menuju halte transjakarta, namun malam ini tidak ada seorang pun yang lalu-lalang. Hanya cahaya lampu jalan yang jaraknya renggang menemani setiap langkahnya. Langit berwarna gelap masih menurunkan gerimis halus. Ia sengaja tidak membuka payung dan membiarkan butiran-butiran halus menempel di kacamatanya. Terlihat masih ada mobil yang terparkir di kanan-kiri jalan. Ia mempercepat langkah karena perasaan was-was menghantuinya. Salimah semakin waspada ketika melewati mobil APV hitam yang terparkir tepat di bahu kiri jalan. Langkahnya dipercepat ketika mendengar langkah kaki seseorang mengikutinya. Orang misterius itu dengan sigap membungkam mulut Salimah dengan sapu tangan. Salimah meronta-ronta karena kehabisan napas. Ia merasakan sentuhan benda tajam seperti jarum menusuk ke lengannya. Di sisa napasnya, ia ingin menyikut pria itu sekuat tenaga, tapi percuma. Pria yang membungkamnya jauh lebih besar dari tubuhnya. Salimah pingsan tak sadarkan diri dan pria misterius itu membopong Salimah masuk ke dalam mobil. Samar-samar, ia masih melihat jalanan kampus yang sepi dari jendela mobil.

"Jalan Pak," perintah Rezan. Mobil APV itu menjauh dari lingkungan kampus dan melaju dengan kecepatan tinggi menuju gerbang tol. Rezan memandang lekat wajah Salimah yang tertidur lelap di tangannya. Ia memangku tubuh Salimah dan menyangga kepalanya menggunakan tangan kanan. Rezan tersenyum tipis dan melepaskan kacamata Salimah yang berembun akibat air hujan bertemu dengan AC mobil. Tubuh Salimah dibaringkan di kasur. Tangan dan kakinya diborgol. Tak lupa, mulutnya ditempel solasi hitam yang lebar sehingga menutupi mulutnya dengan sempurna. Pukul 23.00 Salimah sadar dan mengerjapkan mata. Matanya yang minus tidak bisa menangkap bayangan benda di sekitarnya dengan jelas. Kepalanya masih pusing. "Aku dimana?" kalimat yang pertama kali Salimah ucapkan di hati ketika melihat sesosok laki-laki memakai kemeja putih sedang bersandar di kusen jendela. Mulutnya sulit berbicara karena solasi hitam membungkamnya. "Rupanya kau sudah sadar," Rezan menghampiri Salimah dan mengarahkan sebuah pistol tepat di depannya. Salimah terbelalak melihat kemeja laki-laki itu penuh dengan cipratan darah.

"Mati atau tetap di sini?" pertanyaan Rezan membuat Salimah bergidik ngeri. Dua pilihan yang sulit untuk dijawab. Kalau memilih mati maka ia tidak menyangka akan berakhir di sebuah kamar misterius. Pilihan untuk tetap di sini, Salimah tidak tahu apa yang pria di depannya rencanakan. Salimah meronta-ronta dan ingin lari dari pria di depannya. Tapi, ajal tidak ada yang tahu. Hanya Allah yang tahu kapan waktu yang tepat untuk menjemput hamba-Nya. Rezan mendekati Salimah dan mengarahkan pistol tepat di kepalanya. "Jawab!" bentakan Rezan melengking di telinga kirinya. Rezan dengan geram menembak vas bunga mawar yang ada di meja rias. DOR! Seketika vas bunga hancur lebur dan berserakan di lantai. Hal itu membuat Salimah semakin ketakutan dan mengucurkan air mata. Bagaimana Salimah bisa menjawab pertanyaan, sedangkan mulutnya masih terbungkam rapat.

"Oke, kau akan tetap di sini," Rezan bangkit dan menaruh kunci di atas lemari pakaian. Salimah menggeleng kuat. Ia tidak mau tetap berada di sini dengan orang yang tak dikenal. "Ambil saja kunci borgol itu kalau kau bisa. Jika berhasil, aku akan melepaskanmu." Rezan meninggalkan Salimah dan mengunci pintu kamar. Salimah semakin tak berdaya. Suara tangisnya semakin terisak-isak. Salimah tidak menyangka akan menghadapi situasi yang amat sulit. Air matanya jatuh membasahi pipinya yang gempal. Ia ingat walaupun tangan dan kakinya masih diborgol dengan kuat, ia bersyukur nyawanya masih ada di dalam tubuhnya. Bisa jadi pria itu akan menekan katup pistol dan berhasil mengenai kepalanya. Maka, ia akan lenyap dari dunia dan kewajibannya membela orang-orang lemah. Salimah tidak menyerah, ia menggerakan seluruh kekuatannya menuju lemari cokelat tempat kunci itu diletakkan. Salimah perlahan-lahan menyeret tubuhnya dengan susah payah. Hingga akhirnya, tepat di ujung ranjang yang tinggi Salimah jatuh tersungkur. Membuat pipinya tergores pecahan kaca vas bunga. Salimah terseok-seok sehingga kakinya berdarah karena terkena pecahan kaca yang halus. Pergerakan Salimah meninggalkan jejak darah di lantai. Ia merasa kesakitan, tapi harus terus berusaha untuk keluar dari rumah ini yang membuatnya lebih menderita. Akhirnya perjuangannya tidak sia-sia, Salimah berhasil mencapai lemari.  Sekuat tenaga, ia menyimbangkan tubuhnya agar bisa berdiri dengan kaki dan tangannya yang terikat.

"Tuan, gadis berhijab itu sepertinya belum salat isya. Biarkan ia menunaikan kewajiban terakhirnya sebelum Anda eksekusi," perempuan paruh baya memohon kepada Rezan. Rezan kembali menuju kamar tempat Salimah berada. Betapa terkejutnya mendapati bercak darah di lantai. Dilihatnya Salimah tengah bersusah payah menggapai kunci yang ia letakkan di atas lemari.

"Dasar keras kepala," gumam Rezan. Ia segera mengangkat tubuh Salimah yang terluka dan membaringkannya di kasur. Salimah meronta-ronta memukul dada Rezan dengan satu tangan yang terikat. Rezan mengambil kotak P3K yang ada di laci meja rias. Salimah menolak disentuh oleh laki-laki yang bukan mahramnya. Salimah menjauhi wajahnya agar tidak disentuh oleh Rezan. "Tenanglah, aku akan mengobatimu," Rezan perlahan-lahan menyapukan kapas dengan lembut ke pipi Salimah. "Aku akan membebaskanmu, jika kau mau menikah denganku," perkataan Rezan membuat Salimah terbelakak dan memandang Rezan penuh tanda tanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun