"Mati atau tetap di sini?" pertanyaan Rezan membuat Salimah bergidik ngeri. Dua pilihan yang sulit untuk dijawab. Kalau memilih mati maka ia tidak menyangka akan berakhir di sebuah kamar misterius. Pilihan untuk tetap di sini, Salimah tidak tahu apa yang pria di depannya rencanakan. Salimah meronta-ronta dan ingin lari dari pria di depannya. Tapi, ajal tidak ada yang tahu. Hanya Allah yang tahu kapan waktu yang tepat untuk menjemput hamba-Nya. Rezan mendekati Salimah dan mengarahkan pistol tepat di kepalanya. "Jawab!" bentakan Rezan melengking di telinga kirinya. Rezan dengan geram menembak vas bunga mawar yang ada di meja rias. DOR! Seketika vas bunga hancur lebur dan berserakan di lantai. Hal itu membuat Salimah semakin ketakutan dan mengucurkan air mata. Bagaimana Salimah bisa menjawab pertanyaan, sedangkan mulutnya masih terbungkam rapat.
"Oke, kau akan tetap di sini," Rezan bangkit dan menaruh kunci di atas lemari pakaian. Salimah menggeleng kuat. Ia tidak mau tetap berada di sini dengan orang yang tak dikenal. "Ambil saja kunci borgol itu kalau kau bisa. Jika berhasil, aku akan melepaskanmu." Rezan meninggalkan Salimah dan mengunci pintu kamar. Salimah semakin tak berdaya. Suara tangisnya semakin terisak-isak. Salimah tidak menyangka akan menghadapi situasi yang amat sulit. Air matanya jatuh membasahi pipinya yang gempal. Ia ingat walaupun tangan dan kakinya masih diborgol dengan kuat, ia bersyukur nyawanya masih ada di dalam tubuhnya. Bisa jadi pria itu akan menekan katup pistol dan berhasil mengenai kepalanya. Maka, ia akan lenyap dari dunia dan kewajibannya membela orang-orang lemah. Salimah tidak menyerah, ia menggerakan seluruh kekuatannya menuju lemari cokelat tempat kunci itu diletakkan. Salimah perlahan-lahan menyeret tubuhnya dengan susah payah. Hingga akhirnya, tepat di ujung ranjang yang tinggi Salimah jatuh tersungkur. Membuat pipinya tergores pecahan kaca vas bunga. Salimah terseok-seok sehingga kakinya berdarah karena terkena pecahan kaca yang halus. Pergerakan Salimah meninggalkan jejak darah di lantai. Ia merasa kesakitan, tapi harus terus berusaha untuk keluar dari rumah ini yang membuatnya lebih menderita. Akhirnya perjuangannya tidak sia-sia, Salimah berhasil mencapai lemari. Â Sekuat tenaga, ia menyimbangkan tubuhnya agar bisa berdiri dengan kaki dan tangannya yang terikat.
"Tuan, gadis berhijab itu sepertinya belum salat isya. Biarkan ia menunaikan kewajiban terakhirnya sebelum Anda eksekusi," perempuan paruh baya memohon kepada Rezan. Rezan kembali menuju kamar tempat Salimah berada. Betapa terkejutnya mendapati bercak darah di lantai. Dilihatnya Salimah tengah bersusah payah menggapai kunci yang ia letakkan di atas lemari.
"Dasar keras kepala," gumam Rezan. Ia segera mengangkat tubuh Salimah yang terluka dan membaringkannya di kasur. Salimah meronta-ronta memukul dada Rezan dengan satu tangan yang terikat. Rezan mengambil kotak P3K yang ada di laci meja rias. Salimah menolak disentuh oleh laki-laki yang bukan mahramnya. Salimah menjauhi wajahnya agar tidak disentuh oleh Rezan. "Tenanglah, aku akan mengobatimu," Rezan perlahan-lahan menyapukan kapas dengan lembut ke pipi Salimah. "Aku akan membebaskanmu, jika kau mau menikah denganku," perkataan Rezan membuat Salimah terbelakak dan memandang Rezan penuh tanda tanya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H