Momentum lebaran secara de facto hanya berlangsung dalam hitungan 1-2 hari saja.  Namun menuju ke suasana lebaran beserta cerita setelahnya itu yang tidak bisa begitu saja dijadikan kisah lebaran  menjadi de jure.Â
Terlebih saat bisa merasakan nikmatnya berkumpul bersama keluarga di kampung halaman setelah merasakan suasana jauh yang tidak seperti biasanya.
Tahun ini menjadi lebaran ter-istimewa bagi saya dan mungkin keluarga. Jika lebaran sebelumnya saya tak banyak meluangkan waktu, lebaran kali ini dalam terbatasnya waktu selama satu minggu saya diberi keluasan nikmat yang jarang saya dapat.Â
Pertama pengalaman mudik rute terjauh yang saya miliki, Denpasar-Jakarta-Tegal. dan banyak yang tak terbilang secara jumlah lainnya.
Mudik lebih awal membuat saya mendedikasikan waktu dan tenaga untuk membantu Emak menyiapkan hadirnya hari nan fitri.Â
Sebut saja dari mulai menggoreng rengginang, membuat lontong sayur bumbu kuning hingga bertemu dan menyapa teman-teman lama. Belum lagi ada cerita rendevous masa sekolah dasar yang begitu berkesan.
Kesibukan sedari h-2 lebaran sampai dengan hari H membuat saya belum sempat membalas bahkan mengirim ucapan selamat hari raya idul fitri sekaligus meminta maaf lahir batin kepada setiap rekan melalui jalinan komunikasi WA.Â
Terkadang malah lupa posisi handphone berada dimana, saking hecticnya membantu Emak agar lebaran sederhana ala keluarga kami tetap istimewa. Khususnya menyambut tamu yang datang silih berganti memadati ruang tamu kami.
Melalui tulisan ini pula, saya mengucapkan selamat hari Raya Idul Fitri bagi rekan-rekan yang merayakan, dengan segenap kerendahan hari sudilah kira memberi maaf lahir batin atas segala khilaf kesalahan. Semoga di hari nan fitri ini kita mendapat limpahan berkah nikmat yang berlipat.Â
Andai saja bisa meminta, lebaran tahun ini janganlah lekas berlalu. Sedikit menggubah syair lagu kemesraan. Nyatanya memang  tidak setiap lebaran kita berkesempatan merasakan golden moment.Â
Bukan dari sisi seberapa bagus dan mahal baju lebaran kita, bukan pula dilihat dari seberapa banyak, mewah dan mahal harga kue-kue lebaran yang tersaji di meja. Hingga kita mampu memaknai bahwa lebaran bukan saat dimana kita memamerkan pangkat jabatan terlebih kepemilikan harta benda.
Lebaran dengan Golden moment yang ingin bisa kita tahan adalah saat hati kita merasakan tentram dalam setiap kesederhanaan yang mampu kita cipta dan pertahankan. Semua itu tanpa harus mengurangi kapasitas kita untuk tetap berbagi dan membantu sesama melalui zakat dan bentuk lain yang menyesuiakan sikon sekitar kita.
Tahun ini saya merasakan betul lebaran dalam keterbatasan ruang, waktu bahkan mungkin anggaran. Namun saat tekad dan niat kita telah bulat mampu memaknai sejatinya hari nan fitri, semua itu bukanlah hal yang menjadi penghalang berkah dari Allah, Tuha seru sekalian alam.Â
Nyatanya lebaran tahun ini saya diberi kesempatan bertemu sosok-sosok yang tetap istimewa dalam keterbatasan. Melihat wajah anak-anak kampung dengan senyum bahagia saat tangannya memegang beberapa lembar uang hasil pemberian tetangga di malam lebaran.
Andai bisa meminta, Lebaran tahun ini janganlah lekas berlalu, namun apa daya semua dinamis adanya. Masing-masing kita setelah mendapat momentum untuk bersuci, harus bersiap kembali terpapar debu kehidupan yang tak mungkin kita hindari.Â
Siklus tetap berada di zona makna suci bukanlah sebuah keajegan. Melainkan berproses sesuai kemana arah tujuan kehidupan kita rencanakan
salam,Â
SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI
MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H