Proses berlanjut saat Sekolah menengah  yang membuka ruang kebudayaan lebih luas lagi. Bukan hanya perbedaan bahasa melainkan perbedaan suku bangsa, dimana cakupannya lebih luas lagi kami mengenal kalangan Tionghoa, Arab, Bali, Batak. Bahkan saat menempuh jenjang pendidikan tinggi di daerah budaya Banyumasan, interaksi budaya menjadi salah satu kunci adaptasi utama.
Disinilah kemudian saya berasa bersyukur sekaligus beruntung bisa mengalami proses pendidikan dengan latar belakang ruang pertemanan yang heterogen secara budaya.Sedikit banyak itu akan berpengaruh terdapat kemampuan beradaptasi dan pemahaman tentang kebhinekaan yang memperkuat nilai dan semangat nasionalisme.
Laboratorium Bahasa dan Kearifan Lokal Berbasis Swadaya Komunitas Belajar, Apa dan Bagaimana?
Kurikulum Merdeka memberi prosentase  yang lebih besar bagi bertumbuhnya kepribadian /jatidiri sebagai pelajar Pancasila dimana Bhineka Tunggal Ika tidak bisa dipisahkan begitu saja dalam setiap interaksi materi dan sikap serta timbal balik kegiatan antara guru, murid, orang tua dan stakeholder yang terlibat. Bukan bahan hafalan semata, melainkan praktek yang selaras dan berkelanjutan dalam capaian jangka panjang, itu goal yang utama.Â
Lantas kenapa laboratorium? bukan sekedar pembelajaran searah? karena laboratorium menjadi ruang aktiftas, interaksi secara lain. Tempat praktikum yang melibatkan setiap siswa/murid untuk aktif ambil bagian. Seperti halnya pengenalan bahasa daerah dari asal siswa diluar daerah tersebut berasal.Â
Misal, ada siswa Bali bersekolah di Jawa, maka baik murid atau pun anak diharapkan bisa aktif dalam laboratorium swadaya untuk mengenalkan bahasa dan kearifan lokal budaya Bali. Begitupun sebaliknya. Sehingga proses akulturasi dan pemahamanan serta penghormatan terhadap perbedaan budaya bida tercipta dengan membangun ruang kesadaran bersama.
Laboratorium bahasa dan kearifan lokal tidak harus berwujud fisik melalui ketersediaan ruang khusus. Cukup dijadikan sebagai semacam ekstra kulikuler yang menempati ruang perpustakaan/ruang kelas yang tersedia. Atur waktu baik sebelum jam pelajaran atau setelah jam pelajaran. cukup 45 menit- hingga 60 menit namun jika dilakukan dengan santai, serius, bersungguh-sungguh dan berkelanjutan hal ini kan menjadi aktifitas baru yang mengasyikkan. Tidak ada lagi fikiran negatif saat ada orang Bali menggunakan bahasa Bali di depan orang Jawa yang tidak bisa berbahasa Bali.Â
Laboratorium Bahasa dan kearifan Lokal ini bisa bersifat Bahasa Tutur dengan sistem tatap muka, diskusi atau bisa dalam bentuk tertulis melalui Majalah dinding. Selain menjadi laboratorium yang mengelaborasi bahasa dan kearifan lokal, metode majalah dinding juga meambah daya kreatifitas serta memupuk bakat dan talenda menulis bertema budaya dan kearifan lokal.
Salah satu muatan/materi majalah dinding misalnya, Cerita berbahasa daerah, Puisi/geuritan/Tembbang berbahasa lokal, Ulasan tentang Lontar/tulisan/Aksara Jawa. Tentunya ini membutuhkan pemantik dari para penggerak kurikulum merdeka. Kolaborasi lintas bidang juga akan memperkaya khasanah pengetahuan budaya.