Budaya dan kebudayaan sebagai satu kesatuan sistem tidaklah bisa lepas/terpisah dari dunia pendidikan. Sebagai bangsa yang multikultur, Indonesia memiliki potensi kearifan lokal yang bersumber dari 1340 suku bangsa di tanah air (sensus BPS 2010). Betapa kaya ragam budaya, bahasa dan potensi indigeneus people di segala lapis usia, terlebih mereka yang masih mengenyam pendidikan baik tingkat dasar, menengah ataupun lanjutan.
Kurikulum merdeka menjadi inovasi kebijakan pendidikan yang secara implementasi akan membawa dampak bagi pembangunan sumber daya masyarakat yang mampu menjadi garda terdepan dalam menjaga nilai lokalitas tanpa kehilangan kapasitas yang siap bersaing secara global.Â
Sebagai salah seorang Awardee Beasiswa Pendidikan Indonesia melalui jalur pelaku budaya yang saat ini sedang menempuh studi di Magister Kajian Budaya Universitas Udayana, sedari dulu -kini dan nanti saya memiliki kepedulian terhadap pembangunan sumber daya manusia yang berkepribadian budaya Indonesia dengan ciri khas potensi masing-masing daerah yang menjadi lokus budaya masyarakatnya. Pendidikan dengan kurikulum merdeka menjadi salah satu pilar penting untuk mewujudkan cita-cita pembangunan tersebut.
Seiring dengan semangat revitalisasi bahasa daerah, saya cukup menaruh harap bahwa setiap siswa khususnya yang masih berada di jenjang pendidikan dasar memperoleh bekal penguatan jatidiri budaya melalui beberapa gagasan yang ingin saya uraikan.Â
Besar harapan ide/gagasan tersebut dapat seiring sejalan dengan program kementerian pendidikan dan kebudayana, Riset dan Teknologi dengan kolaborasi lintas elemen dalam hal ini komunitas belajar (orang tua, Pegiat dan pemerhati pendidikan, budayawan/ penulis lokal)
Berangkat Dari Proses Pribadi, Awal Ide/Gagasan Itu Muncul
Belajar dari saat saya berada di sekolah dasar, dimana sekolah dasar negeri Pepedan II yang berada di kompleks Kodim 0712 Tegal kerap menerima murid pindahan dari daerah lain. Hal itu disebabkan murid baru tersebut mengikuti masa tugas orang tuanya yang menjadi  TNI. Membuka ruang pertukaran budaya yang luar biasa.Â
Kami secara tidak langsung mengalami proses adaptasi budaya bahkan akulturasi dimana budaya dan bahasa setiap murid berbeda. Meski sebagian besar murid SD tetap dengan bahasa lokal dialek ngapak Tegal, namun proses alami membuat kami mengenal bahasa/budaya Jawa dari daerah lain, sebut saja Semarang, jogyakarta, Cilacap bahkan dari Luar Jawa sekalipun.
Proses berlanjut saat Sekolah menengah  yang membuka ruang kebudayaan lebih luas lagi. Bukan hanya perbedaan bahasa melainkan perbedaan suku bangsa, dimana cakupannya lebih luas lagi kami mengenal kalangan Tionghoa, Arab, Bali, Batak. Bahkan saat menempuh jenjang pendidikan tinggi di daerah budaya Banyumasan, interaksi budaya menjadi salah satu kunci adaptasi utama.
Disinilah kemudian saya berasa bersyukur sekaligus beruntung bisa mengalami proses pendidikan dengan latar belakang ruang pertemanan yang heterogen secara budaya.Sedikit banyak itu akan berpengaruh terdapat kemampuan beradaptasi dan pemahaman tentang kebhinekaan yang memperkuat nilai dan semangat nasionalisme.
Laboratorium Bahasa dan Kearifan Lokal Berbasis Swadaya Komunitas Belajar, Apa dan Bagaimana?
Kurikulum Merdeka memberi prosentase  yang lebih besar bagi bertumbuhnya kepribadian /jatidiri sebagai pelajar Pancasila dimana Bhineka Tunggal Ika tidak bisa dipisahkan begitu saja dalam setiap interaksi materi dan sikap serta timbal balik kegiatan antara guru, murid, orang tua dan stakeholder yang terlibat. Bukan bahan hafalan semata, melainkan praktek yang selaras dan berkelanjutan dalam capaian jangka panjang, itu goal yang utama.Â
Lantas kenapa laboratorium? bukan sekedar pembelajaran searah? karena laboratorium menjadi ruang aktiftas, interaksi secara lain. Tempat praktikum yang melibatkan setiap siswa/murid untuk aktif ambil bagian. Seperti halnya pengenalan bahasa daerah dari asal siswa diluar daerah tersebut berasal.Â
Misal, ada siswa Bali bersekolah di Jawa, maka baik murid atau pun anak diharapkan bisa aktif dalam laboratorium swadaya untuk mengenalkan bahasa dan kearifan lokal budaya Bali. Begitupun sebaliknya. Sehingga proses akulturasi dan pemahamanan serta penghormatan terhadap perbedaan budaya bida tercipta dengan membangun ruang kesadaran bersama.
Laboratorium bahasa dan kearifan lokal tidak harus berwujud fisik melalui ketersediaan ruang khusus. Cukup dijadikan sebagai semacam ekstra kulikuler yang menempati ruang perpustakaan/ruang kelas yang tersedia. Atur waktu baik sebelum jam pelajaran atau setelah jam pelajaran. cukup 45 menit- hingga 60 menit namun jika dilakukan dengan santai, serius, bersungguh-sungguh dan berkelanjutan hal ini kan menjadi aktifitas baru yang mengasyikkan. Tidak ada lagi fikiran negatif saat ada orang Bali menggunakan bahasa Bali di depan orang Jawa yang tidak bisa berbahasa Bali.Â
Laboratorium Bahasa dan kearifan Lokal ini bisa bersifat Bahasa Tutur dengan sistem tatap muka, diskusi atau bisa dalam bentuk tertulis melalui Majalah dinding. Selain menjadi laboratorium yang mengelaborasi bahasa dan kearifan lokal, metode majalah dinding juga meambah daya kreatifitas serta memupuk bakat dan talenda menulis bertema budaya dan kearifan lokal.
Salah satu muatan/materi majalah dinding misalnya, Cerita berbahasa daerah, Puisi/geuritan/Tembbang berbahasa lokal, Ulasan tentang Lontar/tulisan/Aksara Jawa. Tentunya ini membutuhkan pemantik dari para penggerak kurikulum merdeka. Kolaborasi lintas bidang juga akan memperkaya khasanah pengetahuan budaya.
Saat ini saya sedang merampungkan buku yang berisi kumpulan cerita. Dalam tiap tulisan saya selipkan kosataka bahasa daerah dan dilengkapi dengan terjemah bebas/glosarium sebagai wujud kecil revitalisasi bahasa.Â
Beberapa bahasa lokal tersebut antara laijn, bahasa Aceh dalam Cerita berjudul Agam, Bahasa Tegal/Ngapak Banyumas dalam cerita berjudul Serambi Rumah Ungu /Hawa, Bahasa Jawa Mbandek/Yogya dalam cerita berjudul getuk dan beberapa bahasa lokal lain. Â
Setelah buku tersebut cetak rencananya saya akan melakukan kolaborasi lintas bidang budaya untuk bersama-sama menciptakan iklim kondusif bagi terciptanya transformasi nilai bahasa dan kearifan lokal di beberapa daerah di Indonesia, antara lain di Sumba-NTT.
Semoga hal ini bisa sinergis dan mendapat support dari kemendikbud untuk mewujudkan Laboratorium Bahasa dan Kearifan Lokal Berbasis Swadaya Komunitas Belajar
salamÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H