Namaku Karim. Pandemi merubah hampir semua sendi kehidupan. Termasuk hidupku, hidup kami. Aku yang semula bekerja di warung kopi di sebuah ruko terpaksa menganggur. Tempat usaha itu gulung tikar.
Pemberlakukan PSBB awal merebaknya pandemi membuat warung kopi yang biasa dikunjungi anak-anak muda untuk berkumpul dan bercengkrama dibatasi jam operasionalnya. Lambat laun tempat tongkrongan anak-anak muda itu sepi. Hingga pemilik usaha memutuskan untuk menutup usahanya. Semua pekerja dirumahkan dengan pesangon ala kadarnya.
Satu bulan bertahan hidup dengan tabungan yang kami miliki. Suci, perempuan mungil yang menjadi ibu dari Fitri anak semata wayang kami terus memberi semangat. Mencari  pekerjaan baru  di masa pandemi bak mencari jarum dalam tumpukan jerami. Berulang kali aku mencoba, berulang kali pula aku harus harus menerima keadaan.
Ingin pulang ke kampung halaman pun kami tak bisa. Sebenarnya bisa saja kami nekad, tapi hati kecil ini tak tega membiarkan virus tak kasat mata bernama Korona itu semakin meluas persebarannya. Biarlah kami pertahan di Ibukota, meski harus bertahan hidup dengan apa yang kami bisa.
Hingga suatu pagi di penghujung Ramadan, suci membereskan beberapa barang yang sudah lama teronggok di sudut kontrakan.Â
"Yah, sebagian barang-barang ini bagaimana jika kita jual saja. Tabungan menipis, sementara kita tetap harus memenuhi kebutuhan Fitri anak kita. Apalagi sebentar lagi lebaran tiba.", Ujar Fitri sembari berbenah membersihkan beberapa sudut rumah kontrakan yang kami huni.
Aku menarik nafas dalam dalam. Membantu ya membuka kardus besar berisi beberapa benda yang sudah lama dibiarkan begitu. Aku meraih dan membuka tas hitam yang berisi gitar akustik.Â
"Jual saja apa yang bisa dijual Bun, tapi yang ini jangan ya" tanganku memeriksa dawai gitar yang lama tak tersentuh.
Jari jemariku mulai memainkan beberapa kunci nada. Genjrengan demi genjrengan aku cipta. Entah dari mana datangnya, aku mendapat ide untuk bisa survive bertahan hidup.
"Bund, kalau toh ayah harus mengamen di jalanan agar tetap bisa mendapat penghasilan apakah bunda malu?", Aku menatap Suci yang telah selesai memasukkan beberapa panci, tikar lipat, Â dan perabot lain yang rencananya akan dijual.
"Kenapa harus malu Yah, biar sesekali  Bunda dan Fitri ikut menemani". Binar wajah suci menambah yakin bahwa kami bisa melalui semua ini.
"Nanti sore, Ayah akan mulai ngamen di perempatan pondok Indah" jawabku penuh semangat.
Sementara Suci pamit menjual beberapa barang di pasar loak Kebayoran, aku terus memetik senar gitarku. Beberapa lagu lawas aku tembangkan. Modal mengamen sore nanti.
Hari pertama aku menjual suara, hasilnya belumlah seberapa. Ada nikmat tersendiri manakala melihat kantong plastik yang Suci ulurkan pada para pengendara yang tengah berhenti akibat lampu merah kian bertambah isinya. Malam itu aku dan suci mensyukuri nikmat karunia Ilahi Rabbi. Setengah satu bulan kami bertahan, rejeki pertama kembali kami terima.
Hari berlalu begitu cepat, rasanya baru kemarin aku mulai mengamen. Menyanyikan lagu sendu diantara suara kendaraan yang menderu. Sungguh mengharu biru.
Hingga suatu sore, ada mobil mewah menepi. Lambaian tangan dibalik kemudi meminta kami menghampiri. Suci mendongak memandang wajahku. Kami pun beringingan menuju ke arah calon dermawan.Â
Sebuah kantong plastik berisi sembako, dan dua nasi kotak mereka ulurkan. Aku dan Suci berulang kami mengucap terima kasih. Hingga sebuah suara memanggil namaku.Â
"Allahu Akbar, Karimmmmm" suara itu muncul dari bagian belakang mobil"
Seketika kaca jendela bagian belakang terbuka. Aku melihat pria berpeci putih dengan wajah penuh cahaya berkah. Suci menyergit. Sementara aku mengingat-ingat siapakah lelaki yang mengenali namaku?
Pintu mobil terbuka. Lelaki itu memelukku. Berulang kali menyebut namaku, bahkan nama lengkapku. Aku kikuk dibuatnya.
Aku benar-benar lupa siapa dia. Atau mungkin salah orang kah?!
"Karim, aku kawan SMP-mu"
"aku Thaha (Toha), Thaharah, yang sempat kau ajak nonton konser Dewa 19 di GOR Satria dulu" kalimat demi kalimatnya membuka ingatanku.
Aahh ,si Toha yang dulu penampilannya metal, kenapa sekarang berubah bak penceramah? Â Aku masih tidak percaya.
Bergegas, Toha memaksaku masuk dalam mobil mewahnya. Tak lupa mengajak serta Suci dan Fitri. Kami tak menyangka sama sekali pertemuan ini menjadi anugerah tersendiri.
Toha mengajak kami berbuka puasa disebuah restoran. Setelahnya dia mengajak kami singgah di rumahnya yang gedongan. Istri dan anak Toha menyambut kami dengan penuh suka cita.Â
Bahkan kami diminta merayakan lebaran di rumah mereka. Baju-baju baru mereka siapkan. Toha menyuruh kami membersihkan badan. Sebuah kamar mereka persilahkan untuk kami tempati.
Rumah si Toha besar dan bersih. Sebersih hatinya yang telah memberi kami nikmat luar biasa. Pun dia mengingatkan aku dan Suci bahwa sebagian penghasilan dari kami mengamen jangan lupa untuk disisihkan guna membayar zakat fitrah.
 Dari situlah aku, Si Karim, Suci Istri dan Fitri anakku benar-benar menjadi keluarga yang bersuci di hari raya. Terlebih dengan hadirnya di Toha, manusia metal yang kini telah berubah total, sesuai arti namanya. Thaharah, yang artinya bersuci, dia pun memperlihatkan kepada kami untuk bersuci lahir dan batin.
Ahh ternyata selera Toha berubah. Dia tak lagi memintaku menyanyikan lagu dari banda kesayangannya dulu. Melainkan dia memintaku mengirinya bernyanyi sebuah lagu Suci Dalam Debu dari Salim Iklim...
Engkau bagai air yang jernihÂ
Di dalam bekas yang berdebu..
....
Suaranya syahdu melantunkan lirik lagu diantara betotan senar gitarku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H