"Nanti sore, Ayah akan mulai ngamen di perempatan pondok Indah" jawabku penuh semangat.
Sementara Suci pamit menjual beberapa barang di pasar loak Kebayoran, aku terus memetik senar gitarku. Beberapa lagu lawas aku tembangkan. Modal mengamen sore nanti.
Hari pertama aku menjual suara, hasilnya belumlah seberapa. Ada nikmat tersendiri manakala melihat kantong plastik yang Suci ulurkan pada para pengendara yang tengah berhenti akibat lampu merah kian bertambah isinya. Malam itu aku dan suci mensyukuri nikmat karunia Ilahi Rabbi. Setengah satu bulan kami bertahan, rejeki pertama kembali kami terima.
Hari berlalu begitu cepat, rasanya baru kemarin aku mulai mengamen. Menyanyikan lagu sendu diantara suara kendaraan yang menderu. Sungguh mengharu biru.
Hingga suatu sore, ada mobil mewah menepi. Lambaian tangan dibalik kemudi meminta kami menghampiri. Suci mendongak memandang wajahku. Kami pun beringingan menuju ke arah calon dermawan.Â
Sebuah kantong plastik berisi sembako, dan dua nasi kotak mereka ulurkan. Aku dan Suci berulang kami mengucap terima kasih. Hingga sebuah suara memanggil namaku.Â
"Allahu Akbar, Karimmmmm" suara itu muncul dari bagian belakang mobil"
Seketika kaca jendela bagian belakang terbuka. Aku melihat pria berpeci putih dengan wajah penuh cahaya berkah. Suci menyergit. Sementara aku mengingat-ingat siapakah lelaki yang mengenali namaku?
Pintu mobil terbuka. Lelaki itu memelukku. Berulang kali menyebut namaku, bahkan nama lengkapku. Aku kikuk dibuatnya.
Aku benar-benar lupa siapa dia. Atau mungkin salah orang kah?!
"Karim, aku kawan SMP-mu"