Anak adalah anugerah terindah dari Ilahi Rabbi. Tidak perlu berkecil hati, jika diantara kita nyatanya masih belum diberi kesempatan untuk merasakan nikmatnya memiliki anak sehingga terasa lengkap hidup berumah tangga. Seperti saya misalnya.
Hal itu bukan berarti kita tidak mau belajar bagaimana cara mendidik anak untuk taat beribadah selama bulan Ramadan. Sebab menyangkut keimanan dan ketaqwaan anak anak, bukan sepenuhnya tanggung jawab dari guru ngaji yang bisa kita bayar semata. Namun justru menjadi kewajiban utama para orang tua agar memberi bekal spiritual keagamaan sedari anak-anak sebelum mereka menginjak dewasa.
Adalah keluarga Kompasianers Lia Yuniar Wahab,yang secara kebetulan pernah menjadi tetangga yang baik bagi saya. Dari mereka saya melihat dengan mata kepala sekaligus belajar ilmu parenting di moment ramadan dua tahun lalu.
Tahun 2019, awal saya dan suami memutuskan untuk pindah ke seputaran Ibukota Jakarta, kami menempati sebuah kawasa kontrakan di daerah Bintara - Bekasi Barat. Tak berselang lama kami resmi menjadi penghuni kontrakan, ramadan hadir dan kami sambut dengan penuh suka cita.
Mbak Lia, begitu saya memanggil tetangga yang baik itu. Kini memiliki 4 orang anak. Kini Dua diantaranya berusia 10 tahun dan 8 tahun. Sementara dua lainnya masih Batita (bawah tiga tahun). Â
Dua anak mbak Lia yakni Zidan (10 tahun) dan Aisha (8) tahun sejak kecil telah dilatih untuk berpuasa. Memang sih ada iming-iming reward /upah dari bundanya bagi mereka yang kuat berpuasa hingga Maghrib.Â
Tambahan uang jajan menjadi reward atas prestasi puasa mereka. Plus ada bonus yang akan diberikan saat lebaran, ketika mereka mampu menjalankan puasa penuh selama 1 bulan.
Wah, ternyata pemberian reward atas prestasi bagi anak-anak agar lebih giat berpuasa di bulan Ramadan menjadi jurus jitu. Tentu ini jauh lebih baik dibandingkan dengan cara menakut-nakuti mereka bahwa jika tidak berpuasa maka dosa, ?masuk neraka. Ah, itu sih gaya lama yang belum tentu efektif serta baik bagi perkembangan spiritual si anak.
Tak hanya menyoal puasa saja, nyatanya Zidan dan Aisha berlomba-lomba dalam beribadah selama bulan Ramadan. Misalnya saja dalam membaca Iqra dan juz Amma'. Pun saat mereka diminta untuk membantu pekerjaan rumah dari sang Bunda.
Kini, meski kami tak lagi bertetangga secara fisik. Namun sejatinya kami tetap bertetangga secara hati. Kapanpun kami bisa ngobrol melalui Chat WA. Termasuk saat puasa tahun ini. Lagi-lagi saya harus belajar dari mereka dalam hal mendidik anak agar ibadah Ramadan kian maksimal.
Saat saya bertanya perihal puasa Zidan dan Aisha, sang bunda menjawab:
"Prinsipnya sih masih sama dari tahun ke tahun, memberi reward atas prestasi puasa. Alhamdulillah sampai hari ini anak-anak belum ada yang bolong, Aisha juga rajin membantu membuat kue-kue kering pesanan untuk lebaran".
Tak hanya itu mbak Lia bahkan menceritakan bahwa mereka rajin shalat taraweh dirumah. Apalagi ketika sesekali mereka mengadakan buka puasa bersama dengan penghuni kontrakan lain. Intinya sih tidak bannyak menekan anak-anak dengan larangan apalagi ancaman.
Ada hal menarik bagi saya, bahwa mendidik anak-anak untuk beribadah di bulan suci Ramadan harus dengan suasana yang penuh kegembiraan. Jangan sampai dunia anak-anak justru menjadi ruang beban untuk melakukan sebuah kegiatan yang bersifat spiritual keagamaan.
Duh, kiranya saya harus berterima kasih kepada keluarga mbak Lia, dari mereka saya belajar banyak tentang mendidik anak dengan tepat agar mulai mengenal ibadah puasa dan ibadah lainnya. Dan yang terpenting adalah menyangkut keteladanan, dimana sebagai orang tua kita harus memberi contoh bagi anak-anak kita.
Atas sepengetahuan mbak Lia juga tulisan ini saya buat. Semoga bermanfaat bagi saya pribadi, ataupun bagi rekan-rekan yang membacanya.
salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H