Sementara Mulyono kian tak sabar ingin melamar Jumirah. Dicarinya sang Bapak ke beberapa penjuru. Sawah, selepan beras, gudang padi, pasar semua tak ada. Matanya nanar saat dia melihat setumpuk undangan tengah dipegang oleh Trimo, orang kepercayaan Mulyono.
"Siapa mau mantu pakdhe ?" Tanya Susilo
" Wah ini, kejutan buat kita semua, termasuk kamu sebagai anaknya " gaya Trimo sedikit membuat Susilo penasaran.
Diraihnya tangan Trimo, beberapa lembar undangan terhambur. Susilo memungut selembar kertas berwarna hijau pupus yang tergeletak di dekat kaki kanannya. Badannya membungkuk. Matanya awas mengeja inisial nama MJ. Berikut dua nama yang terpahat diantara gambar dua cincin yang bertaut.
"Bapak?!" Seketika jantungnya berdetak melebihi pukulan bedug langgar saat malam takbiran.Â
"Jumirah?" Lirih dia membaca nama yang selama ini mengisi relung hatinya. Sirna semua angan dan cita-citanya merantau di kota setelah menikahi Jumirah.
Undangan yang Susilo pungut dikembalikan ke tangan Trimo. Hening, tanpa kata. Susilo berlalu begitu saja membuat Trimo bertanya,
" Lho Sus, mau kemana, bantu pakdhemu nyebar undangan"
Susilo terus melangkah menuju kedai mie ayamnya. Pantang baginya menangisi nasib gagal mempersunting Jumirah.Â
Begitu tiba di kedai mie ayam, Susilo membuka laci-laci gerobak. Sebotol cairan berwarna biru berbau menyengat dia tenggak sampai habis tak bersisa. Kedai itu tutup, gerobak dan beberapa bangku kayu panjang sengaja dibiarkan berada diluar.Â
Tubuh Susilo terduduk di bangku kayu, beberapa saat kemudian mulutnya mengeluarkan cairan berbusa. Matanya melotot namun mulutnya tersenyum.Â