"Kira-kira dimana Kamil dan keluarganya tinggal ya Jum?" Tanya Wak Kamal pada Jumarni pemilik warung kopi yang sempat disinggahi Kamil saat bertandang kembali ke desanya.
"Waduh Wak, saya lupa tanya, tapi saya dengar dari obrolan dengan kang Somad,kalo tidak salah  di Jakarta Selatan Ceu nah" logat medok Jumarni sedikit membuat lega Wak Kamal.
Wak Kamal pun lantas pergi ke Jakarta. Beruntung, dia ditolong mahasiswa sewaktu berada di stasiun Bogor. Sehingga perjalanan Bogor-Jakarta, di stasiun pemberhentian terakhir Jakarta Kota pun dapat dengan mudah dilaluinya.
Apa daya, Wak Kamal buta wilayah Jakarta. Seminggu berada di Jakarta Kota, berkeliling mencari komplek rumah elit seperti yang dibicarakan tetangga bahwa Kamil tinggal di rumah gedong, nihil hasilnya.
Kamal tak putus asa. Dia selalu bertanya kesabaran kemari cara untuk menuju ke Jakarta Selatan. Selama bekal uang masih ada, Kamal tidak ragu untuk meminta tolong pada supir bajaj, atau supir mikrolet perihal tujuannya ke kompelk perumahan elit untuk mencari adiknya.
Namun apa hendak dikata. Jakarta dengan segala cerita membuat Kamal sedikit terlunta-lunta. Hanya sarung yang semakin Kumal saja yang membuat semangatnya tetap membara untuk terus mencari adiknya.
Situasi semakin sulit bagi Wak Kamal saat tiba-tiba banyak orang menutup mulut dan hidungnya dengan sejenis kain. Saat Wak Kamal menjadi kuli serabutan di pasar Palmerah, baru Wak Kamal tahu bahwa sekarang sedang musim virus Kirinya  yang banyak membuat orang menggunakan masker.
Pencarian Wak Kamal untuk menemukan Kamil adiknya terus berjalan. Hingga hampir sebulan lamanya. Tiba saat puasa, dan hati Wak Kamal yakin, bahwa sebentar lagi ia akan bertemu Kamil. Dari kawasan pasar Palmerah Wak Kamil mendapat informasi dari supir mikrolet bahwa ada komplek perumahan elit di Jakarta Selatan yang cukup terkenal. Wak Kamal pun girang. Ia tak ragu membayar lebih supir mikrolet yang mengeluh sepi penumpang akibat virus korona.Â
Sampailah Wak Kamal di Pasar Kebayoran lama. Dari pasar Kebayoran lama itulah, langkah kaki Wak Kamal seperti dituntun menuju ke kawasan elit yang dimaksud. Hingga sore menjelang, ia tengah clingak cliguk memandang bangunan menjualnya di sekeliling rumah luas dengan pagar besi berukuran tinggi.
Klakson mobil tadi membuat Wak Kamal sejenak menepi. Mengusap sarung kumalnya. Memanggil nama adiknyaÂ
"Kamil...Kamil..Kamil 7x" seraya merapal doa dengan segenap keyakinan.