Adalah Reso, seorang Panji yang oleh karena Wanita, perlahan tapi pasti menaiki tangga kuasa. Gelar Arya dan kedudukan senopati yang menjadikannya  puas begitu saja. Sang Ratu pun berhasil dia gagahi kala keduanya tengah dimabuk kuasa. Hingga tega menghilangkan nyawa masing-masing pasanganya.
Dengan memanfaatkan potensi pemberontakan dan konflik antar pangeran, Reso begitu mulus memainkan babak demi babak perebutan tampuk singgasana terkesan elegan.Â
Sungguh prihatin nasib Pangeran Rebo yang galau saat tahta dipaksakan untuknya. Elegi cinta pun hadir dalam rangkaian cerita. Cinta karena kuasa. Hingga akhir kisah yang tragis. Penggambaran Aura mistis dari penggambaran telaga darah dan teratai yang mengambang di atasnya.
Sisipan diksi syair penuh pergolakan jatidiri ala Rendra terlantun dalam monolog yang diucap panembahan Reso. Sungguh penggambaran intrik kuasa yang patut direnungkan dan tentu saja dihindarkan dalam tata kelola kekuasaan yang sesunggguhnya.
Bamsoet menyebut dirinya sudah mengenal Rendra sejak masih menjadi wartawan pemula di Harian Prioritas (Media Indonesia Group), milik Surya Paloh. 'Tahta itu ternyata bukan kursi biasa'. Orang bisa berubah  begitu menduduki tahta. Kalau tidak menjadi semakin arif, ya semakin gila, tamak bahkan sewenang-wenang," lanjutnya.Â
Begitulah, kisah Panembahan Reso, saya sendiri berharap Karya  ini bisa kembali dipentaskan pada waktu yang akan datang . Tak salah rasanya jika muatan moral dan pesan yang tersirat bisa menjadi ruang kaderisasi bagi para politisi pada khususnya dan masyarakat pada umumnya agar lebih mawas diri.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H