Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Penulis Kumpulan Cerita Separuh Purnama, Creativepreuner, Tim Humas dan Kemitraan Cendekiawan Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pada Setiap Perjalanan, Aku Belajar Banyak Hal

13 Agustus 2019   21:34 Diperbarui: 14 Agustus 2019   07:00 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ya, menurut psikolog itulah yang disebut sebagai fase pencarian jati diri. Boleh jadi ini pernah dialami oleh remaja masa kini, hingga orangtua kerap kehilangan anaknya meski hanya sesaat. 

Maka, siapa pun kita yang kini menjadi orang tua atas anak yang mulai tumbuh dewasa, tidak mengekang anak secara berlebihan adalah saran yang patut dipertimbangkan. 

Hal itu semata-mata untuk menghindari kisah Sri Minggat, seperti sebuah judul lagu campursari yang sempat dipopulerkan oleh Didi Kempot the Godfather of Broken Heart.

Lupakan tentang Sri Minggat. Anggap saja itu sebuah peletakan batu pertama untuk membangun sebuah jalan cerita tentang banyak perjalanan berikutnya. Begitulah ibarat burung saja terbang tak lupa pulang (seperti syair sebuah lagu). Selanjutnya perjalanan hidup membawa republik ngapak Purwokerto ke dalam bagian dari perjalanan hidup. 

Di sanalah kepak sayap semakin kencang untuk terbang ke mana pun tempat yang dituju. Setelah sebelumnya, masa transisi kelulusan SMA aku menjalani petualangan hidup di Kota Gudeg Jogja selama 40 hari. Menjalami bimbingan belajar untuk menggapai sebuah cita.

 Singkat cerita, perjalananku pun sampai di kota mendoan yang berada di kaki Gunung Slamet. Selama hidup di Purwokerto, tidak ada hari yang membuatku hanya berjalan dari kos -kampus dan sebaliknya. Barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen) menjadi areal yang harus pula disasar. Hingga menyeberang ke Pulau Nusakambangan pun kerap dilakoni. Ada hawa segar saat bisa berada di tengah alam raya. Juga bertemu banyak orang dengan keunikan budaya setempat. Live in, tinggal bersama di rumah warga asli di sebuah daerah adalah hal yang menjadikan perjalanan penuh makna.

Selain berhemat dari segi biaya. Live in menjadi metode agar kita bisa beryukur atas kondisi yang kita miliki. Keramahan pemilik rumah yang kita tempati menjadi cerminan betapa bahagia itu sederhana. 

Diawali dari senyum, sapa dan saling memberi ruang yang bisa dirasakan manfaatnya bersama. Alhasil hingga kini besar terasa manfaat live in. Tidak ada kata alergi saat berada di kawasan tertentu dengan keterbatasan air, hingga listrik yang waktu itu belum masuk ke lokasi terpencil. Itu juga yang menjadikanku menguasai beberapa logat bahasa di beberapa daerah.

Republik ngapak sempat menjadi ruang bak landasan pacu yang membuat perjalanan ku melesat cepat hingga ke beberapa tempat yang dinilai "angker". 

Siapa yang tak menyergit ketika mendengar kata Nusakambangan. Gugusan pulau yang menyembul di selatan pulau Jawa tepatnya di pesisir Jawa Tengah ini konon dihuni oleh mereka yang terkena hukuman "berat".

dok.pri live in di rumah warga kampung Laut Nusakambangan Cilacap
dok.pri live in di rumah warga kampung Laut Nusakambangan Cilacap
Secara territorial wilayah, sebagian daratan Nusakambangan yang terdiri dari beberapa lapas (lembaga pemasyarakatan) bagi para narapidana kelas berat ini dibawah naungan Kementerian Hukumdan HAM.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun