Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Penulis Kumpulan Cerita Separuh Purnama, Creativepreuner, Tim Humas dan Kemitraan Cendekiawan Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pada Setiap Perjalanan, Aku Belajar Banyak Hal

13 Agustus 2019   21:34 Diperbarui: 14 Agustus 2019   07:00 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. Pri Dibawah Jembatan Suramadu saat melintas selat Madura diatas KM Joko Thole

"Sendirian saja. Mbak??"

Pertanyaan itu kerap terlontar saat aku menikmati perjalanan "ecek-ecek" lintas kota, lintas provinsi di atas moda kendara  umum baik itu bus ataupun kereta api. Biasanya hanya aku jawab dengan anggukan atau senyuman.

Bagiku, tidak ada kata sendiri dalam perjalanan yang telah aku tempuh. Ada Tuhan, sang penentu ke mana arah kaki melangkah yang aku yakini menjadi penggerak atas tiap kepindahan ruangku. Dari satu perjalanan ke perjalanan yang lain.

Sungguh bersyukur aku tumbuh pada zaman yang tidak lagi mengekang perempuan untuk "keluyuran" di luaran. Apa jadinya jika aku hidup di zaman sebelum maraknya emansipasi, tidak ada nafas panjang yang mampu meredakan penat akibat terlalu lama berada di dalam rumah.

Sekelumit kisah sempat aku dengar bahwa pada usia yang terlalu dini yakni 3-4 bulan pasca dilahirkan aku telah diajak menempuh perjalanan. Antara Jakarta dan Tegal, di situlah awal perjalanan hidup yang kemudian mengakar hingga sekarang bahkan mungkin nanti.

Percaya tidak percaya, tanda lahir itu ada. Andeng-andeng alias tahi lalat yakni titik kecil berwarna hitam menjadi noktah yang melekat persis di kulit tumit kaki sebelah kiri. Berharap bukan sebuah kutukan, ketika ibu kerap berucap aku akan menjadi orang yang suka ngeluyur alias kuat jalan, ayo saja jika diajak jalan.

Konon petunjuk andeng-andeng ada di bagian tubuh yang mana dan bagaimana pengaruh pada orangnya bisa dilihat di primbon Jawa "betaljemur". Begitu salah satu sumber referensi kekunoan patut menjadi rujukan literasi pada zaman kekinian.

 

dok.pri Lapas Pasir Putih Nusa Kambangan Pada Suatu Ketika
dok.pri Lapas Pasir Putih Nusa Kambangan Pada Suatu Ketika
Tak Selamanya Perjalanan itu Aku Maknai Sebagai  Piknik

Setiap kita pasti pernah menempuh perjalanan. Aku masih belum cukup PD (percaya diri) disebut sebagai seorang traveller. Apalah arti perjalanan sederhanaku jika dibanding dengan perjalanan manca negara yang kerap ditempuh oleh mereka dengan segala cerita. Kemudian tren gaya hidup travelling pun belakangan banyak disuka. Ah, aku hanya pejalan biasa.

Jika boleh jujur, "Minggat" adalah petualangan yang patut disebut sebagai sebuah awal perjalanan hidupku. Bukan saat studi tour atau darma wisata sekolah. Melainkan saat kabur dari rumah. Tak tanggung-tanggung, untuk ukuran perempuan berusia 17 tahun saat itu. Pergi sendirian menggunakan bus malam tanpa arah tujuan. Sekadar ingin menunjukkan sebuah perlawanan.

Ya, menurut psikolog itulah yang disebut sebagai fase pencarian jati diri. Boleh jadi ini pernah dialami oleh remaja masa kini, hingga orangtua kerap kehilangan anaknya meski hanya sesaat. 

Maka, siapa pun kita yang kini menjadi orang tua atas anak yang mulai tumbuh dewasa, tidak mengekang anak secara berlebihan adalah saran yang patut dipertimbangkan. 

Hal itu semata-mata untuk menghindari kisah Sri Minggat, seperti sebuah judul lagu campursari yang sempat dipopulerkan oleh Didi Kempot the Godfather of Broken Heart.

Lupakan tentang Sri Minggat. Anggap saja itu sebuah peletakan batu pertama untuk membangun sebuah jalan cerita tentang banyak perjalanan berikutnya. Begitulah ibarat burung saja terbang tak lupa pulang (seperti syair sebuah lagu). Selanjutnya perjalanan hidup membawa republik ngapak Purwokerto ke dalam bagian dari perjalanan hidup. 

Di sanalah kepak sayap semakin kencang untuk terbang ke mana pun tempat yang dituju. Setelah sebelumnya, masa transisi kelulusan SMA aku menjalani petualangan hidup di Kota Gudeg Jogja selama 40 hari. Menjalami bimbingan belajar untuk menggapai sebuah cita.

 Singkat cerita, perjalananku pun sampai di kota mendoan yang berada di kaki Gunung Slamet. Selama hidup di Purwokerto, tidak ada hari yang membuatku hanya berjalan dari kos -kampus dan sebaliknya. Barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen) menjadi areal yang harus pula disasar. Hingga menyeberang ke Pulau Nusakambangan pun kerap dilakoni. Ada hawa segar saat bisa berada di tengah alam raya. Juga bertemu banyak orang dengan keunikan budaya setempat. Live in, tinggal bersama di rumah warga asli di sebuah daerah adalah hal yang menjadikan perjalanan penuh makna.

Selain berhemat dari segi biaya. Live in menjadi metode agar kita bisa beryukur atas kondisi yang kita miliki. Keramahan pemilik rumah yang kita tempati menjadi cerminan betapa bahagia itu sederhana. 

Diawali dari senyum, sapa dan saling memberi ruang yang bisa dirasakan manfaatnya bersama. Alhasil hingga kini besar terasa manfaat live in. Tidak ada kata alergi saat berada di kawasan tertentu dengan keterbatasan air, hingga listrik yang waktu itu belum masuk ke lokasi terpencil. Itu juga yang menjadikanku menguasai beberapa logat bahasa di beberapa daerah.

Republik ngapak sempat menjadi ruang bak landasan pacu yang membuat perjalanan ku melesat cepat hingga ke beberapa tempat yang dinilai "angker". 

Siapa yang tak menyergit ketika mendengar kata Nusakambangan. Gugusan pulau yang menyembul di selatan pulau Jawa tepatnya di pesisir Jawa Tengah ini konon dihuni oleh mereka yang terkena hukuman "berat".

dok.pri live in di rumah warga kampung Laut Nusakambangan Cilacap
dok.pri live in di rumah warga kampung Laut Nusakambangan Cilacap
Secara territorial wilayah, sebagian daratan Nusakambangan yang terdiri dari beberapa lapas (lembaga pemasyarakatan) bagi para narapidana kelas berat ini dibawah naungan Kementerian Hukumdan HAM.

Namun ada 1 Kecamatan yang terdiri dari 4 Desa yakni Klaces, Panikel, Ujung Alang dan Ujung Gagak dari wilayah administratif Kabupaten Cilacap berada diantara Gerumbul daratan Pulau Nusa Kambangan.

Tidak semua penghuni pulau Nusakambangan adalah para Narapidana. Ada Masyarakat dengan karakteristik istimewa yang "survive" hidup di lingkungan dengan segala susasana yang jauh berbeda. Bayangkan saja, Tahun 2009 dua desa diantaranya Klaces dan Ujung Alang masih belum teraliri listrik. Pada mereka aku belajar banyak hal. 

Termasuk tentang kerasnya hidup diantara gerumbul tanaman bakau atau  yang sering juga disebut Mangrove.  Aku yang berlatar belakang ilmu sosial sempat belajar keanekaragaman hayati di segara anakan Cilacap. 

Lugu namun tidak bisa diperdaya begitu saja, itu yang aku pelajari dari pembawaan mereka. Hingga pada suatu ketika  menyaksikan dengan mata kepala terbuka, melalui ritual dan rapal kalimat sakti tertentu, sesepuh adat masyarakat kampung laut mampu memayungi lokasi tertentu agar hujan tidak membubarkan sebuah acara yang digelar. 

Sulap atau sihir? Sepertinya bukan. Itulah sebentuk kearifan lokal yang semakin membuat saya belajar tentang sisi lain yang terkadang tak kasat mata, apalagi sekedar dicerna dengan logika.

Tak Pernah Bermimpi Bisa Mengunjungi  Beberapa Pulau yang Ada Di Indonesia

Desember 2002 bertepatan dengan momentum perayaan Natal, perjalanan melintas pulau untuk kali pertama harus aku lakoni. Jakarta-Manado dengan pesawat menjadikanku kian mengenal sisi lain Indonesia, yang hanya Jawa dengan bagian kecil budaya ngapaknya. 

Edodo e, logat bahasa ala Minahasa yang terdengar jenaka. Tak beda jauh dengan logat Madura yang menyebut kata Bo A Bo dalam tayangan serial Si Unyil yang menjadi tontonan sewaktu kecil.

Tanah Tonsea, atau Minahasa mengajarkan aku akan budaya pesta. Salah satunya pesta ucap syukur yang merupakan salah satu tradisi warga Minahasa. Nasi Jaha, Tinutuan hingga Piniki yang terbuat dari kelelawar pun tersaji. Aku pun sempat belajar memasak  tinutuan alias bubur Manado secara langsung pada warga setempat.

Pada kali kedua ke Sulawesi Utara, aku nenempuh perjalanan seorang diri menggunakan Otto (istilah untuk menyebut angkutan Umum atau mobil pada umumnya). 

Menelusuri sebagian wilayah Minahasa diantaranya Airmadidi (Minahasa Utara), Pinawetengan ( Minahasa), Kampung Jawa di Tondano, Hingga pasar Karombasan yang menjual aneka daging yang dalam benakku tak lazim untuk dimakan

dok.pri berada di pulau Mansinam Papua
dok.pri berada di pulau Mansinam Papua
Menyusul tahun 2004, Merpati air lines membawaku dalam penerbangan terlama hampir selama 6 jam menuju Bumi Cendrawasih. Mendarat sempurna di Jayapura Ibukota Provinsi Irian Jaya, waktu itu belum berganti nama menjadi Papua seperti sekarang ini. 

Lebih dari 3 kali aku menikmati makna perjalanan di Tanah Papua. Bahkan tahun 2008 sempat mengunjungi Pulau Mansiman yang merupakan pulau pertama masuknya Ajaran Nasrani di Papua.

Pada tiap perjalanan aku belajar banyak hal. Semakin kerap aku melakukan perjalanan semakin besar semangatku untuk belajar tentang banyak hal. Demikian fase hidupku yang terus berlangsung mempertemukanku dengan banyak orang dan banyak ruang. Padahal pekerjaan formal pertamaku begitu gemilang. Pekerjaan itu ternyata tak bisa jauh dari perjalanan dan lagi perjalanan.

Menjadi bagian dari tim ormas/ LSM dari sebuah program sosialisasi wawasan kebangsaan di sebuah kementerian yang berada di bilangan Jalan Merdeka Utara membuatku kian menempuh jalan panjang untuk mengenal Indonesia. Konon pada kementerian itulah terletak denyut nadi Republik ini. Terlebih misi yang diemban adalah menyematkan persatuan dan kesatuan bangsa. 

Perjalanan ke pulau-pulau terluar diantaranya pulau Nipah dan Pulau Weh dengan menggunakan KRI Tanjung Nusa Nive lagi-lagi membenamkan aku pada keilmuan yang sarat makna. Ilmu kebangsaan hingga ilmu toleransi terhadap beragam perbedaan. Linta iman, lintas bahasa, lintas warna kulit, bentuk rambut apalagi lintas strata sosial. 

Termasuk tentang kekuatan dibalik tempaan gelombang lautan yang kadang menghempas, namun kita tetap tidak karam dalam biduk kehidupan yang harus terus berjalan.

dok.pri Pilgrimage
dok.pri Pilgrimage
Begitulah aku memaknai perjalanan yang hingga kini belum akan berakhir.Bagiku perjalanan bukan saja menempuh sekian jarak secara vertikal. Jauh-dekat itu hal lumrah dan biasa. 

Sebuah catatan kerap aku simpan dalam kedalaman jiwa bahwa perjalanan merupakan lintasan yang terkadang harus ditempuh secara horizontal. Menjumpai mereka yang secara kasat mata berada di atas kita. Hingga menjabat mereka yang masuk dalam kelompok yang dikategorikan berada di bawah level kita.

Bahkan perjalanan pula yang terkadang membuat kita menembus batas keduanya, Horizon dan Vertikal seperti sebuah abstrak yang membaur, seperti saat berkesempatan untuk melakukan "ziarah" bersama para "Budhis" dalam Pilgrimage yang menjadi bagian dalam Borobudur International Conference. 

Hanya nilai kebaikan yang aku petik dalam tiap perjalanan. Perjalanan sekecil apapun bentuknya menjadi asupan energy positif  untuk menajamkan logika dan rasa terlebih panca indera.

Oleh karena perjalanan itu teramat dinamis dan tidak statis, maka maknailah tiap berjalanan sebagai sebuah effort agar kita bisa belajar tentang banyak hal, kepada banyak orang yang kita jumpai. Terlepas orang tersebut tidak kita kenal dan berbeda kondisi sekalipun.

Lets start a journey.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun