Sedari Selasa sore pengalihan arus lalu lintas di beberapa kawasan yang melintasi KPU dan sekitaran Bawaslu dilakukan. Saya yang kebetulan memiliki aktifitas tak Jauh dari Bundaran HI harus mencari jalan alternatif dari stasiun Sudirman. Beruntung Ojek online yang saya naiki cukup sabar.
Sepanjang perjalanan kami ngobrol layaknya tengah berdiskusi membahan situasi nasional terkini pasca penetapan KPU tanggal 21 malam perihal ditetapkannya pasangan 01 Jokowi -Amien memenangkan Pilpres 2019.
Blokade dari aparat keamanan yang merupakan sinergi TNI Polri tampak disetiap sudut dan ruas jalan. Â Massa aksi yang sedari siang berupaya mengepung kantor KPU melanjutkan aksinya hingga ke depan kantor Bawaslu yang lokasinya berada di kawasan strategis Thamrin.
Hingga malam menjelang tepatnya selepas Isya, lalu lintas masih belum normal. Saya dan beberapa teman pengguna trans Jakarta  merasa  terganggu dengan hadirnya konsentrasi massa yang memblokade jalan.  Nyata saya melihat sebagian dari mereka memang ada yang berpencar.
Di sekitar bundaran HI puluhan orang melakukan shalat taraweh di jalan. Sungguh bukan pemandangan yang elok saat bulan suci Ramadan BeginiSaya dan teman saya pun akhirnya harus melipir mencari jalan yang bisa dilalui. Konsentrasi massa ternyata juga mulai memadati sekitaran jalan Sabang. Macet dan seskali terdengar pekik teriakan para demonstran terdengar riuh diantara bunyi klakson kendaraan.
Ironis memang, ketika aparat keamanan berhasil menyelamatkan Indonesia dari target terorisme yang rencananya akan dilangsungkan saat pengumuman resmi penghitungan suara KPU yang menjadi titik akhir kontestasi Pilpres.
Terlepas Jokowi -Ma'ruf Amin dinyatakan sebagai pemenang, Polisi telah menggagalkan rencana teror dengan terlebih dahulu mengendus sarang terorisme dibeberapa tempat, salah satunya di Kalimalang Bekasi yang tak jauh dari Ibukota Jakarta. Begitu sigapnya aksi penggagalan terorisme yang mengancam keselamatan Indonesia termasuk warga negaranya ibarat meunculkan efek samping.
Ibarat penyakit, sel-sel kanker telah dibasmi meski tetap harus diwaspadai, justru muncul tanda-tanda insomnia, meningkatnya asam lambung hingga kebotakan. Inilah analogi kambuhnya perusuh yang mengatasnamakan tuntutan keadilan muncul bak efek samping dari ditumpasnya terorisme.
Para perusuh sejati, mereka tak menampakkan diri secara kasat mata. Mereka bersembunyi diantara wajah-wajah yang terdoktrin untuk berjihad demi keadilan politik rasa agama.
Bahkan konon ada yang rela mati demi aksi yang kerap  menyuarakan kecurangan  politik , meski pada kenyataannya ketidakerimaan atas kekalahan pasangan  yang  mereka dukung. Provokasi atas nama jalan surga memang menjadi sarana menggiurkan untuk melenakan orang dari logika perfikir sederhana.
Sangat disayangkan  banyak pihak pengunjuk rasa tanpa sadar ditunggangi oleh perusuh yang kerap dikenal dengan sebutan penumpang gelap. Provokasi massa untuk tetap bertahan di jalanan terus saja digaungkan hingga larut .
Tak terkecuali para perempuan yang tak kesemuanya berasal dari kalangan emak-emak. Sosok Neno Warisman pun tak segan untuk mengeluarkan ajakan bermalam bagi kalangan emak-emak tanpa sebuah landasan moral yang cukup bisa dipertanggungjawabkan.
Sontak, menjelang tengah malam kabar kerusuhan itu santer tersiar. Foto-foto hingga rekaman video beredar dari lapis media sosial yang satu ke media soisial yang lain. Belum lagi live streaming media Televisi yang menanyangkan secara langsung detail peristiwa disekitaran Tanah Abang.
Kita tidak tahu persis bagaimana kronologi tiap menit yang terjadi disana. Rekaman audia visual yang dapat kita saksikan, betapa sebagian massa tetap ingin bertahan di depan kantor Bawaslu, sementara peraturan yang menyangkut ketertiban umum hanya memberi izin aksi massa hingga sore menjelang.
Ada daya, ketegasan aparat untuk meminta para demonstran buar sempat mendapatkan aksi perlawanan. Lembaran petasan terlihat dilakuka oleh massa yang didesak mundur oleh aparat ke arah tanah Abang. Untuk menghalaunya, petugas mengeluarkan tembakan gas air mata. Dan perusuh itu seolah mendapatkan momentum untuk menunjukkan jatidirinya. Pos polisi petamburan sempat dibakar, beserta beberapa sepeda motor yang tak jelas siapa pemiliknya.
Hingga pagi tadi perusuh itu kambuh untuk yang kedua kalinya. Stasiun tanah abang menjadi sasaran. Anarkisme, kebrutalan massa merajalela tak ubahnya virus yang sengaja disebarkan agar kerusuhan kian meluas. Doa dan dukungan kepada segenap aparat yang bertugas menjadi aksi berantasi di media sosial.
Mereka bertugas menghadapi perusuh yang tidak saja merusak ketertiban umum, melainkan pula merusak nilai-nilai ibadah ramadan. Inikah sebentuk iman yang diatasnakan kelompok Islam? Dimana letak Islam menjadi Rahmat bagi seluruh alam beserta isinya?
Miris bagi kami, kehilangan nalar logika bagi mereka. Kerusuhan kok dianggap Jihad? Melampiaskan syahwat kekerasan , kerusakan tempat-tempat umum disaat puasa? Siapa yang lantas menjamin tiket masuk surga?
Nyata, sejumlah informasi menyebut telah jatuh korban jiwa. Â Mati konyol tak ubahnya menjadi mati syahid ala mereka. Â Hanya doa dan upaya memeluk orang -orang sekitar agar hati dan jiwanya tidak dirasuki roh jahat perusuh saja yang saat ini bisa saya lakukan.
Yakin saya berkata, jika Indonesia bisa selamat di rencana aksi terorisme , para perusuh itu hanya tinggal menunggu waktu untuk ditumpas habis, atau dijinakkan sesuai takaran dosis perusuh yang diberikan. Berharap pihak-pihak yang menjadi pemantik aksi kerusuhan, turut merasa bertanggung jawab. Jangan "Munggah Ngglanggang Colong Playu" atau dalam istilah yang mirip disebut juga lempar batu sembunyi tangan.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H