[Imlek Komed] Kue Keranjang, Toa Pe Kong dan Makna Persaudaraan

Banyak pesanan sandal datang dari kalangan Tionghoa. Mereka bilang sandal Bapak awet. Sungguh bukan sebuah kebetulan. Saat aku mulai mengerti sebuah perbedaan seiring bertambahnya usia, aku seperti mendapatkan kebahagiaan tersendiri. 

Misalnya saja, saat kami mengantar pesanan sandal ke pelanggan dari kalangan Tionghoa, Aku selalu diberi kue oleh keluarga mereka. Entah itu manisan buah hingga saat imlek di Tahun 90-an kami mendapatkan kue keranjang yang mereka bagikan.

Temu Kangen Kawan SMA dan Anak-anaknya Dok.Brigitta

Indahnya perbedaan warna kulit, bentuk mata hingga terkait keyakinan seolah  melingkupi perjalanan hidupku. Aku masuk sekolah menengah atas Favorit di Kota Tegal yang muridnya banyak dari kalangan etnis Tionghoa. Gejolak reformasi tahun 1998, pernah sedikit berimbas. Ketika sekolah kami dilepari batu dan kami terpaksa dipulangkan demi keamanan murid-murid dari kalangan Tionghoa khususnya.

sumber WisataTegal.com Toa Pe Kong Di Tegal

Hingga  tahun 2000 dan seterusnya menjadi babak baru bagiku mengenal budaya Tionghoa secara lebih terbuka. Lebih dari sekedar istilah Imlek yang mulai aku ketahui. Cap Go Meh dan Toa Pe Kong menjadi rangkaian imlek yang tidak terlewatkan. 

Berteman dekat dengan mereka yang berasal dari kalangan Tionghoa menambah makna persaudaraan. Memanggil mereka dengan sebutan Jeje atau Cici bagi perempuan .Atau Koko atau Koh bagi laki-laki menjadi sebuah penghargaan tersendiri.

Tegal hingga kini memiliki komplek pecinan seperti halnya kota-kota lain di Indonesia, termasuk Medan. Tiap Imlek datang, lampion di pasang semarak menghias sepanjang jalan. Umbul-umbul hingga aroma dupa yang khas menjadikan kawasan sekitar Jalan Gurami yang terhubung ke Jalan Veteran terkesan etnis. Penjual kue keranjang dalam berbagai ukuran, warna, rasa dan kemasan menghias saat imlek menjelang.

Meski kini hidup  jauh dari Tegal, namun Imlek selalu menjadi momen yang aku rindukan. Kerinduan akan masa kecil, dan kerinduan terhadap kawan-kawan Tionghoa yang dekat. Bersyukur, anugerah persaudaraan dengan mereka seolah tak pernah putus. Tak jarang ada kawan yang mengirim kue keranjang saat imlek menjelang. Hingga pernah Ibu mengirim kue keranjang khusus dari Tegal sebagai sebuah pengingat akan kasih Ibu yang tak lekang oleh zaman.

Malam Cap Go Meh di Sekitar Pasar GEde Solo tahun 2016. Dok,.Pri

Meski berbeda Kota, namun beberapa kali moment imlek bisa tetap bisa aku nikmati. Misalnya saja saat  berada di tengah warga Kota Solo. Malam Cap Go Meh menjadi event yang dinantikan oleh masyarakat Solo dan sekitarnya untuk membaur dalam suka cita

Komplek pasar Gede solo meriah dengan lampion dan aneka atraksi budaya. Begitupun saat Imlek tahun 2017-2018 lalu. Sebuah kesempatan yang tidak saya lewatkan saat kawan-kawan Kompasianer Jogja mengadakan event bersama untuk menikmati Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta.

Bersama Kompasianer Jogja dan Panitia Pekan BUdaya Tinghoa Yogja Jelang Imlek 2017

Siapa sangka, kisah kue keranjang saat aku kecil menjadikan aku mudah bergaul dengan mereka yang berbeda secara fisik ataupun keyakinan. Dan Hujan yang menyertai tiap imlek datang,  konon menjadi harap hadirnya keberkahan yang melimpah. Seperi berkah persaudaraan yang tetap aku rasakan hingga sekarang. Termasuk mengenal Jeje Willy, salah satu Kompasianer Medan. 

Hingga merasa begitu dekat dengan Pak Tjiptadinata Effendi beserta Ibu Lina, Kompasianer yang cukup dikenal selama ini. Tulisan tentang kisah hidup mereka selama di Medan begitu menginspirasi. Ataupun Kompasianer yang merayakan Imlek yang tak bisa disebut satu persatu.