Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Penulis Kumpulan Cerita Separuh Purnama, Creativepreuner, Tim Humas dan Kemitraan Cendekiawan Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Politik

46 Tahun "Moncong Putih", Riwayatmu Dulu

10 Januari 2019   23:10 Diperbarui: 10 Januari 2019   23:31 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bukan sebuah kebetulan, pada 10 Januari Partai berlambang moncong putih genap berusia 46 tahun. Bagi pecinta motor GP, angka 46 tentu sudah tidak asing lagi sebab cerita tentang kehebatan Valentino Rossie sedemikian menyita perhatian saat ajang pertarungan motor GP berlangsung. demikian halnya dengan partai merah yang dinakhkodai oleh "mbak' Mega yang bernama lengkap Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri ini.

Begitu lekat pemilu 2004 dalam ingatan saya. Istilah moncong putih kala itu menjadi tagline yang begitu mudah diingat. Anak-anak kecil hingga orang tua yang berusia lanjut dengan mudahnya mengucap : "Coblos Moncong Putih!". Ya, pemilu tahun 2004 menjadi satu titi mangsa pertarungan politik yang sedemikian keras atas kemunculan Megawati yang kala itu menjabat sebagai Presiden Indonesia kelima.

Moncong putih seolah menjadi istilah yang membuka ruang penyegaran atas rentetan sejarah panjang PDI Perjuangan yang semula hanya dikenal sebagai PDI. Sejarah mencatat pada 10 Januari 1973 terjadi fusi 5 Partai yakni PNI, Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Partai Katholik, IPKI (ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) dan Murba (gabungan Partai Rakyat, Partai Rakyat Jelata dan Partai Indonesia Buruh Merdeka). Kelima partai tersebut meleburkan diri menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Sistem demokrasi dibawah pemerintahan orde baru hanya memberi ruang bagi 3 partai politik kala itu. Tak hanya PDI yang lahir dari gabungan beberapa partai. Partai berhaluan islampun difusikan menjadi  PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Praktis perjalanan sistem politik nasional tak ubahnya lampu lalu lintas diperempatan jalan. Hanya ada tiga warna masing-masing Merah, Kuning dan Hijau.

Suka tidak suka, warna merah kala Orba sedemikian menjadi momok politik. Kejayaan Partai Nasional Indonesia (PNI) besutan sekaligus kekuatan yang menopang pemerintahan Soekarno dan turut melebur menjadi PDI senantiasa dalam pengawasan. Campur tangan Orde baru melalui tangan "sospol"-nya begitu terlihat sejak kongres I tahun 1976. Mekanisme pemilihan ketua umum PDI diintervensi dengan memplot sebuah nama utusan pemerintah yakni Sanusi Hardjadinata. Terang saja, terpilihnya Sanusi sebagai ketua mengundang konflik antar pengurus yang sebelumnya sudah berproses secara internal. Dua tahun setelah kongres, Soeharto tak segan-segan melibatkan BAKIN (Badan Koordinasi Intelejen Negara, sekarang BIN) untuk menyelesaikan konflik di tubuh DPP PDI.

Benih konflik sengaja ditanam sejak awal kongres. Tak ayal, pada kongres-kongres berikutnya PDI tumbuh dalam pusaran konflik internal sehingga semakin mudah untuk diintervensi pemerintah di segala lini. Konflik internal PDI memanas saat kongres IV tahun 1993 di Medan dinyatakan gagal. Kemelut panjang yang ditanam di tubuh PDI memasuki fase klimaks dengan digelarnya Kongres Luar Biasa pada 2-3 Desember 1993 di asrama Haji Sukolilo - Surabaya. Disitulah momentum munculnya Megawati Soekarno Putri yang sejak tahun 1987 menjabat sebagai anggota DPR RI Komisi IV.

JIwa kepemimpinan politik Megawati diawali dengan menjabat sebagai ketua DPC PDI Jakarta Pusat era itu. Meski secara bilogis Megawati adalah anak dari Soekarno, namun kepemimpinan politik Megawati bukanlah warisan semata. Terpilih sebagai ketua umum PDI melalui mekanisme Kongres Luar Biasa di Surabaya tahun 1993, justru menjadi titik dimulainya kawah candra dimuka bagi seorang Mega.

Orde baru tidak tinggal diam dengan kemunculan putri Bung Karno memimpin PDI. Upaya inskonstitusional dilakukan oleh orde baru untuk menggagalkan laju kepemimpinan PDI dibawah komando Megawati periode 1993-1998. Melalu menteri Dalam negeri kala itu, Orde baru seakan memberi sinyal bahwa Mega harus disingkirkan. Upaya itu kian kentara saat tahun 1996 muncul kelompok Fatimah Achmad yang memaksa diselenggarakannya kongres di Medan yang menjadikan Soerjadi sebagai ketua PDI untuk menandingi Megawati.

Awal kemunculan Megawati sebagai sosok pemimpin PDI terus dihantam. Beruntung empat orang deklaratir fusi PDI yakni Mh Isnaeni, Sabam Sirait, Abdul Madjid dan Beng Mang Reng Say mengadakan jumpa pres menolak Kongres pada 5 Juni 1996. Mega pun mendapat support dari para pelaku sejarah awal berdirinya PDI saat diberlakukan fusi.

Tak puas dengan mekanisme organisasi yang dirasa gagal mendongkel Mega. Kelompok PDI yang berafiliasi terhadap Orde baru tak segan memancing keributan dengan upaya merebut paksa kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro. Sebelumnya bahkan dikenal pula insiden Gambir berdarah 20 Juni 1996 dimana pendukung Mega yang berorasi menentang kelompok Fatimah Achman berakhir bentrok dengan aparat.

Satu Bulan lebih Tujuh hari pasca "Gambir Berdarah", menyusul terjadinya "Kudatuli" (kerusuhan dua puluh tujuh Juli) atau dikenal pula dengan sebutan Peristiwa Sabtu Kelabu. Dukungan terhadap kepemimpinan Mega terus menguat. Gerakan Pro-Mega muncul dimana mana. Hingga saat pemilu terakhir sebelum jatuhnya Orba, PDI pimpinan Soerjadi harus puas dengan hasil perolehan suara yang merosot tajam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun