Sejak zaman pra sejarah, perempuan memiliki posisi yang dinilai cukup strategis. Sejarah telah mencatat keterlibatan perempuan dalam pusaran peradaban. Dari sektor kekuasaan hingga ihwal perekonomian. Belakangan perempuan santer mengemuka dengan istilah milenial, yakni emak-emak. Ada sekian banyak potensi dalam diri perempuan yang dinilai mampu menjadi penggerak perubahan.Â
Tiap kelompok perempuan yang muncul sebagai entitas kekuatan perubahan memiliki ciri khas. Feminisme dengan perempuan  fundamentalis misalnya. Keduanya  pembawa perubahan pada tiap kelompok yang terus mereka sebarluaskan lintas budaya hingga lintas negara. Laju perjuangan perempuan seolah melampaui batas target pengarusutamaan gender.
Sebagai sesama perempuan, Saya bangga, kagum dengan dinamika gerakan perempuan. Terlepas bukan  dalam kapasitas sebagai aktifis perempuan. Bermula dari sepenggal kisah di bangku kuliah, memori lama tersebut membawa rasa saya untuk terus menelisik. Tentang perempuan-perempuan pejuang khilafah. Merekalah perempuan yang tergabung dalam panji Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).Â
Inilah cerita tentang memori itu. tahun 2003, memasuki tahun ketiga saya menjadi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi negeri di Purwokerto. Label aktifis kampus yang aktif juga di ekstra kampus membuat saya memiliki pergaulan yang bisa dibilang lumayan luas. Menjalin pertemanan lintas fakultas, lintas universitas.Tentu bukanlah Mahasiswa yang hanya berada di ruang 2 K (Kos-Kampus) saja. Â Sebutan "anak Sekre" menjadi kebanggaan tersendiri, apalagi bagi mahasiswi yang saat itu rata-rata masih ogah-ogahan berorganisasi.
Dua tahun aktif diberbagai kegiatan, saya pun akan menjadi "senior" pada waktunya. Tak Jarang ,Kehadiran adik angkatan menjadi sebuah potensi perekrutan generasi penerus aktifis kampus. DI sebuah kegiatan ekstra kampus perkenalan dengan "tokoh kecil" HTI itu berlangsung. Sebutlah Mawar, Performanya cukup meyakinkan. Sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum, mawar memiliki kemampuan analisis sosial dan public speaking yang cukup membuat saya bangga bisa mengenalnya.
Zaman itu, belum musim istilah JIlbab Syar'i. Namun balutan busana Mawar berbeda dari mahasiswa berkerudung lainnya. Dia kerap menggunakan gamis dengan kerudung yang lebih lebar. Gaya bicaranya cukup berapi-api. Lawan diskusi dan debat yang sepadan. Saya yang waktu itu menjabat sebagai salah satu ketua bidang perempuan di ormas ekstra kampus, merasa beruntung bahwa mawar mau bergabung dalam organisasi kami.Â
Terhenyak, saat Mawar kemudian banyak mengkritisi kegiatan kami. Sebagai sebuah masukan, awalnya saya merespon positif. HIngga pada momen diskusi rutin bertajuk gerakan perempuan, mawar mengeluarkan pemikiran-pemikiran ekstrim diluar dugaan saya. Forum diskusi berjalan panas, sekretariat yang berada tak jauh dari pasar Glempang - Bancar kembar itu menjadi saksi. Bantai membantai pendapatpun terjadi.Â
Mawar memiliki lompatan logika yang luar biasa. Padahal dia baru mahasiswa semester dua. pemikiran kritisnya terhadap sistem kenegaraan hingga model kepemimpinan republik membuat saya bergidik. Singat cerita, diskusi yang panas sengaja saya buat deadlock. Hal itu dikarenakan beberapa peserta diskusi mulai tidak kuat mengikuti jalannya transformasi nilai yang didominasi mawar dengan sejenis doktrin yang membuat kami menyergit. Rasa penasaran terhadap sosok mawar, membuat saya sedikit otoriter memaksa peserta perempuan untuk menginap di sekre. Alasan bahwa waktu sudah larut malam, tidak baik mahasiswi pulang ke kosan.
Siasat saya berhasil membuahkan kedekatan emosional dengan mawar. Malam itu, saya seolah tertarik dengan konsep-konsep gerakan yang Mawar kemukakan. Ajakan turun ke jalan, dan membuat kegiatan pengajian menjadi agenda yang dia tawarkan untuk menjadi program yang bisa ditindak lanjuti. Melihat ketertarikan saya, Mawar mulai terlena. Saya pun mulai menelisik kehidupan pribadinya. Hingga kemudian dia menyebut bahwa sebelum bergabung dengan organisasi kami, dia aktif di HTI. Sayang, Mawar layu sebelum berkembang. Beberapa bulan setelah perkenalan singkat itu, dia tidak lagi aktif. Ada informasi yang menyebut bahwa dia sudah menikah bawah tangan dengan sesama aktifis yang sealiran.
Lain Mawar, lain pula Melati. Melati bukanlah perempuan yang aktif berorganisasi di Kampus. Cenderung pendiam. Kebetulan melati tinggal satu Kosan dengan saya. Beda Jurusan dan dia adik angkatan. Suatu ketika Melati meminta tolong kepada saya untuk berbohong. Ya, ketika ada 2-3 orang  perempuan berkerudung lebar datang ke kosan kerap mencari Melati. Saya diminta berbohong untuk mengatakan bahwa melati tidak ada. Lebih dari satu kali hal itu terjadi. Penasaran, saya pun bertanya ada apa? Melati pun bercerita, dia diminta ikut sebuah forum pengajian. Namun dengan sedikit paksaan. Saya tidak lantas menyimpulkan apa yang yang dialami melati merupakan bagian dari gerakan yang diikuti oleh Mawar.