Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Penulis Kumpulan Cerita Separuh Purnama, Creativepreuner, Tim Humas dan Kemitraan Cendekiawan Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menuai Benih Kebangsaan dari Pilpres Tahun 2004

10 Agustus 2018   04:33 Diperbarui: 10 Agustus 2018   12:45 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Di sepertiga malam selepas resmi diumumkan pasangan Capres-Cawapres Jokowi-KH. Ma'ruf Amin saya terjaga. Dan entah kenapa ingatan saya melesat jauh ke era pilpres 2004.

Bukan saya ingin sok menjadi pemain lama. Meski waktu itu saya masih berstatus sebagai Mahasiswa,Keaktifan saya bergaul lintas kota, berujung pada sebuah jejaring yg kemudian menjadikan saya masuk menjadi salah satu simpul penggerak (istilah sekarang relawan) pada Pilpres 2004.

Belum musim Media sosial kala itu. Belum pula ada istilah Blogger, Buzzer dan sederet aktifitas kegiatan Media sosial baik itu Facebook, Twitter ataupun Instagram.Belum ada android dimana internet bisa otomatis terkoneksi pada perangkat ponsel.

Berbekal ponsel Siemens C-45 yang dibelikan orangtua yang hanya bisa untuk telpon dan SMS, saya pun memasuki dunia komunikasi politik yang sungguh luar biasa.

Tidak ada istilah Bong, Pret..dan sebagainya. Kita tidak pernah tahu persis mana kawan dan lawan ketika sudah berada di tengah masyarakat untuk mensosialisasikan capres-cawapres yang diusung.

Singkat kata, Saya pun terlibat  sebagai salah satu simpul penggerak "wapres" yg konon singkatan dr warung presiden untuk wilayah BarlingmasCakeb (Banjarnegara, Purbalingga,Banyumas, Cilacap Kebumen)+Tegal. Kiriman spanduk berbahan dasar kain, poster, PIN, gantungan Kunci saya terima di alamat kos.

Untuk sebuah totalitas, tanpa sepengetahuan orangtua, saya pun mengambil cuti kuliah 1 semester.Uang SPP dan jatah bulanan selama 1 semester saya gunakan untuk biaya operasional saya melintas kota termasuk sesekali bolak balik ke Jakarta.

Saya menerima transferan biaya memang..seingat saya sebanyak dua juta. merupakan bea pemasangan spanduk dan pertemuan-pertemuan warga yang diadakan di beberapa wilayah.

Sementara untuk transportasi dan konsumsi pribadi selama saya lintas kota, saya gunakan uang kuliah dan jatah bulanan dari rumah.

Masih lekang dalam ingatan. Saat Bu Mega hadir di Ponpes Sumolangu Kebumen.Saya yang bukan siapa-siapa begitu disegani oleh warga.. Entah mengapa,saya pun kurang tau sebabnya.

Pilpres 2004 adalah sejarah pencapresan yang sarat makna bagi saya. sebanyak 5 kandidat pasangan capres cawapres berlaga. Itu pun sejatinya ada 6 capres-cawapres. Namun KPU tidak meloloskan pasangan Gus Dur -Marwah Daud yang dinilai memiliki kendala kesehatan secara fisik

Dari 5 kandidat yang lolos seleksi KPU, beberapa ulama besar tampil dalam kontestasi politik memperebutkan tampuk kepemimpinan negeri. Nama mereka berada ditengah-tengah figur anak bangsa yang cukup ternama. Sebut saja :

*Amin Rais-Siswono Yudho Husodo

* Hamzah Haz-Agum Gumelar

*Megawati-KH.Hasyim Muzadi

*SBY-JK

*Wiranto-Salahuddin Wahid

Nama besar KH. Hasyim Muzadi yang notabene pernah menjadi ketua umum PBNU tahun 1999 tentu tidak diragukan lagi. Demikian pula dengan Salahuddin Wahid alias Gus Solah yang merupakan adik Kandung Gus Dur. Belum lagi Hamzah Haz yang kala itu menjabat sebagai ketua umum PPP, partai dengan basis massa Islam.

Indonesia berada pada puncak kaderisasi kebangsaan waktu itu. Pilpres 2004 memunculkan sekian banyak nama putra bangsa terbaik. Masing-masing memiliki rekam jejak yang saling menggenapkan. Hingga pertarungan politik seru namun tak sengit pun riuh gemuruh dalam 2 putaran.

Putaran pertama menyisihkan 3 pasang diantaranya pasangan Gus Solah/adik Gus Dur. Syahdan, pasangan Mega-Hasyim dinilai cukup memiliki peluang mendulang mayoritas suara dan menjadi representasi Nasionalis -Religius. Terlebih Mega merupakan kandidat Incumbent yang sebelumnya menjabat sebagai Presiden .

Pada putaran kedua pilpres 2004, Mega-Hasyim berebut suara dengan SBY- JK. Tokoh nasionalis Religius vis a vis dengan Tokoh Militer Pengusaha. Poros massa pun seolah terbelah sempurna. Namun apakah semangat kebangsaan terkontaminasi oleh racauan keberpihakan politik?. jawabnya , tidak se-ekstreem sekarang.

Hasil Pilpres 2004 memunculkan SBY-JK sebagai pemegang tampuk kepemimpinan negara tahun 2004-2009. Konon Kesumat panjang antara Mega-SBY pun sempat terjadi. Tapi sungguh, perang dukungan itu kondisinya tidak seperti sekarang, sebut Pilpres 2014 bahkan 2019 nanti.

Hujatan, cemoohan hingga ribut antar sesama pendukung Capres-Cawapres menjadi cerminan, sejauh mana takaran politik kebangsaan kita masih jauh dari porsi yang semestinya. Bukan bermaksud menggurui,andai politik kebangsaan lebih dikedepankan. Damainya hati, bergandengan tangan meski beda dukungan sungguh bukan sebuah keniscayaan.

Salam...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun