Esok harinya, begitu semangat saya meminjam radio tetangga. Pak Senen namanya. Pagi hingga sore pak Senen menggarap sawah di kawasan desa Banggle. Biasanya malam hari terdengar suara wayang kulit yang berasal dari radio miliknya. Itulah kenapa kemudian saya tau pasti bahwa masih ada pendengar setia radio, apalagi di wilayah pedesaan. Saya memastikan beberapa gelombang radio komunitas wilayah Kediri. Nihil...suaranya tidak cukup jelas untuk mendengarkan sebuah percakapan radio. Akhirnya saya pun memantapkan diri bahwa esok hari saya kembali dengan streaming radio. Untuk tetap survive sebagai media siar, radio pun memanfaatkan akses teknologi internet. Tak hanya streaming , melainkan juga media sosial berupa facebook, twitter atau blog untuk memudahkan pendengar setia mengakses siaran yang tersaji.
Ah, jadi penasaran dengan kelanjutan jalan cerita Asmara di Tengah Bencana. Bagaimana kisah cinta Setyaningsih dan raden Jatmiko. JIka di ADB 1 cerita tentang bencana meletusnya Merapi dapat diJumpai pada seri ke 36 dst, akankah di ADB 2 BNPB menambah lebih bobot cerita tentang kesiapasiagaan bencana hampir disetiap seri yang diperdengarkan? Semoga saja itu menjadi strategi komunikasi yang efektif membangun kedasaran dan mampu mewujudkan generasi tangguh bencana kedepan.
Tidak ada salahnya juga jika BNPB mempertahankan kuis sandiwara radio yang berisi pertanyaan seputar kesiapsiagaan hadapi bencana. Â Seperti sebelumnya, pendengar cukup menjawab kuis lewat twitter atau facebook. Ternyata tanggap bencana bermula dari hal sederhana. Membuka ruang dengar agar lebih jeli. Bersahabat dengan alam dan nguri-nguri kearifan lokal, itu diantaranya.
Besok Sandiwara Radio siap siar
sugeng midangetaken
salam tangguh!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H