Minggu 24 April 2016
Dalam sebuahPerjalanan Commuter Line Bogor-Jakarta, Gerbong Pertama, Khusus Wanita
Malam belum begitu larut. Sementara cuaca kurang bersahabat,gerimis berubah menjadi guyuran hujan yang kian deras. Selepas Maghrib, kami yang telah seharian menikmati suasana kota Bogor terpaksa sedikit kepayahan menuju stasiun yang jaraknya tak jauh dari Taman Topi dan Taman Ade Irma Suryani. Perjalanan menggunakan commuter line Jakarta-Bogor kali ini bukanlah  yang pertama. Sudah untuk yang kesekian kali Commuter line menjadi pilihan moda transportasi hemat sekedar untuk melepas penat. Semacam piknik, mungkin itukata yang lebih tepat.
Jika nanti sudah kembali menetap di Jakarta dalam waktu yang lama, pastinya memiliki KMT akan mengefektifkan perjalanan. Tidak perlu lagi mengisi ulang tiap kali hendak melakukan perjalanan. Secara waktu jelas akan efektif. Tidak perlu lagi ada uang jaminan sejumlah Rp 10.000 yang mengendap seperti yang ada pada tiket harian. Hanya perlu mengisi ulang saat limit saldo dibawah Rp. 11.000 untung menghindari denda.
 KMT secara kekinian juga tersedia dalam berbagai bentuk lho.  Selain berbentuk kartu, ada juga yang berbentuk gantungan kunci atau jam tangan. Ah, kapan ya kira-kira bisa beralih dari yang menggunakan tiket harian menjadi pengguna KMT?!. Semoga , biar perjalanan ke Bogor atau ke tujuan lainnya tidak perlu lagi antri di loket seperti sekarang ini
Di stasiun  awal pemberangkatan  kereta, apalagi ini adalah hari libur, terlebih perjalanan malam, kereta sedikit lengang. Kami pun bisa lebih leluasa untuk memilih tempat duduk. Setelah kereta melewati stasiun Cilebut kereta berhenti di stasiun Bojong Gede. Tampak seorang Ibu berhuyun menuju ke arah kami duduk. Buru-buru saya beringsut menggeser posisi. Agar Ibu yang tampak kepayahan akibat barang bawaan yang dia tenteng dikedua tangannya bisa lekas duduk persis disamping kiri. Ibu ini tampak ramah. Meski tanganya sibuk membenahi barang bawaannya, dia menyempatkan diri untuk melempar senyum.
Tiba-tiba adik sepupu menyenggol lengan seraya memberi kode agar saya bisa sedikit membantunya. Sadar akan hal itu, tangan saya buru-buru merapikan tas plastik merah yang isinya nyaris tumpah. Sesaat kemudian saya rapikan isinya. Ada beberapa lembar karton dan kue-kue dalam plastik. Ucapan terima kasih darinya menjadi pembuka percakapan kami sepanjang perjalanan malam itu.
Ibu Eni, begitu dia menngenalkan diri. Secara kepribadian, Ibu Eni adalah orang yang Extrovert (kepribadian terbuka, tidak menutup diri). Hal itu juga yang membuatnya berceloteh dengan riangnya. Saya dan adik sepupu pun merasa senang bisa mendengar cerita Sang Ibu tentang banyak hal. Bukan sebuah kebetulan, Ibu Eni berasal dari Kebumen, daerah yang sudah tidak asing bagi saya pribadi. Di tengah celoteh riang sosok Ibu yang ternyata bekerja sebagai pembuat kue lebaran itu, tangan sang Ibu tiba-tiba meraih tangan saya. Sebungkus stick keju yang dibungkus dalam kemasan plastik dan tampak tertata rapi dia serahkan seraya berkata tidak boleh menolak rejeki.
Serba salah antara bersyukur dan merasa tidak enak. Beberapa pasang mata penumpang yang berada disekitar tampak melihat ke arah kami. Sang Ibu pun semakin atraktik memperlihatkan beberapa kue buatannya yang dia keluarkan dari dalam tas plastik yang ada di pangkuannya. Duh Bu, mendengar celotehmu saja kami sudah merasa termotivasi.Â
Ya, celoteh Ibu pembuat kue lebaran dalam commuter line itu memberitahukan pada kami bahwa kerasnya hidup di Jakarta haruslah diiringi dengan dengan semangat dan kerja keras lagi kreatif. Sedari tahun 70-an sang Ibu merantau ke Jakarta. Memiliki 6 orang anak. Keahliannya memasak dan membuat kue menjadi jalan rejeki untuk menghidupi anak-anaknya hingga memiliki bekal pendidikan yang cukup.
Tidak apa-apa ibu banting tulang buat kue asal anak-anak bisa hidup lebih baik dari Ibunya. Begitu dia berulang kali menyebut dalam kalimat yang seakan ingin dia garis bawahi sebagai bentuk perjuangan seorang ibu atas masa depan anak-anaknya. Wajahnya begitu berbinar ketika ia berceloteh tentang anak-anaknya yang telah bisa mandiri. Konon ada anaknya yang sudah melanglang buana hingga Amerika sana.Â
Ada kesan bangga sekaligus kegigihan dalam diri sang Ibu. hal itu tersirat ketika ia melanjutkan celotehnya bahwa anak-anaknya memintanya berhenti bekerja membuat kue. Namun Sang Ibu justru memiliki alasan, bahwa bekerja itu justru menjadi hiburan baginya. Dalam celotehnya ia menyebut jika badannya justru akan pegal-pegal ketika menganggur alias tidak melakukan apa-apa.
Membuat kue-kue kering ibarat sudah mendarah daging baginya. Terlebih menjelang lebaran begini. Banyak pesanan yang harus disiapkan jauh hari sebelum memasuki bulan puasa. Si Ibu pun rela tiap hari harus bolak balik Pasar Minggu - Bojong Gede. Mengingat tempat pembuatan kue lebaran berada di Bojong Gede. Sementara dia tinggal di perkampungan yang berada tak jauh dari Stasiun Pasar Minggu. Untungnya naik kereta, jadi cepat dan tidak berat di ongkos. Demikian celotehnya seakan menegaskan bahwa sang ibu pun pengguna setia commuter lina
Tidak terasa, kereta membawa serta Sang Ibu dari Bojong Gede- menuju pemberhentianya di Stasiun Pasar Minggu. Melewati rute  Citayam- Depok - Depok Baru - Pondok Cina- Depok UI -Universitas Pancasila - Lenteng Agung- Tanjung Barat. Sang Ibu pun mengakhiri celotehnya dengan tawaran mampir kerumahnya kapada kami berdua. Dengan saling berpandangan terlebih dahulu, saya dan adik sepupu pun kompak mengucap terimakasih dan pesan untuk berhati- hati saat melangkah dari pintu commuter line.
Ah, celoteh ibu pembuat kue lebaran itu memberi arti bagi saya. Mata saya masih menatap bungkusan kue pemberian darinya sembari berharap lekas  sampai di Tanah Abang, stasiun pemberhentian akhir kereta. Saat kami tiba di Tanah Abang, Mungkin Ibu pembuat kue lebaran tadi sudah tiba di rumahnyanya. Sesekali kembali terngiang penggalan celoteh Sang Ibu pembuat kue lebaran. Perjalanan kami pun masih harus berlanjut dengan berganti jalur. Sebab Stasiun Kebayoran adalah stasiun tujuan kami sebelum kami melanjutkan perjalanan menuju kawasan Ciledug raya.
####
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H