Sedari subuh simbok seperti biasa tampak berbenah. Ia menata tumpukan getuk singkong dalam bakul yang terbuat dari anyaman bambu. Makanan berbahan dasar singkong itu sudah digumulinya sedari ia remaja hingga sekarang diusianya yang kian renta. Aku, anaknya sudah berkali meminta agar simbok tak lagi berjualan. Tubuhnya yang kian membungkuk karena setiap hari menggendong bakul berisi getuk-getuk itu. Aku melihat tanganya kian keriput akibat mengupas rendaman singkong, memisahkan kulit dengan bagian singkong yang berwarna putih. Kemudian ia kukus. Ketika matang dia beri warna dengan rebusan air daun suji. Jadilah getuk berwarna hijau. Tak berhenti sampai disitu, singkong matang tersebut ditumbuk dalam lesung batu dan alu kayu. Setelah halus, barulah dibentuk menjadi gulungan dengan bantuan alat yang terbuat dari besi.
Gethuk, camilan tradisional bercita rasa manis itu diolah oleh simbok. Dilengkapi dengan taburan kelapa parut yang sudah dikukus. Dari gethuk-gethuk itu pula aku kini dapat menyelesaikan sekolah dibidang pariwisata. Aku tidak malu menjadi anak penjual gethuk. Aku bahkan bangga dengan gethuk buatan simbok. Tak jarang aku meyakinkan simbok bahwa aku akan membawa setengah bagian dari gethuk yang ia buat untuk aku jual di sekolah. Dan nyata, gethuk buatan simbok laris manis terjual.
"Mbok, kula nderek sadeyan nggih"Â pintaku pagi itu untuk turut serta ikut berjualan
"Sekolahmu piye nduk?", simbok balik bertanya tentang sekolahku
"Pun meh rampung, kantun nenggo pengumuman lulus minggu ngajeng"Â aku menjawab dengan menerangkan bahwa aku sudah hampir selesai sekolah dan hanya tinggal menunggu pengumuman kelulusan minggu depan
Simbok diam, dia masih saja sibuk dengan perlengkapannya berjualan gethuk. Aku bergegas mandi dan memilih pakaian yang menurutku pantas. Selama ini Simbok memang tidak pernah tahu menahu tentang detail sekolahku. Dalam hidupnya, mengolah dan menjual gethuk untuk membiayai hidup dan memenuhi kewajiban menyekolahkan anak-anaknyalah yang menguasai hampir seluruh pikiran dan hari-hari yang dilaluinya.
Aku sadar betul, simbok bukanlah perempuan berpendidikan. Baginya, detail sekolah bukan hal yang harus dia pikirkan. Hanya bagaimana cara memperoleh penghasilan melalui jualan gethuk itulah bagian dari cara dia mengenal makna sekolah. "Jer Besuki Mawa Bea" demikian dia pernah berkomentar.Â
Simbok itu hebat, dia tak pernah mengeluh tentang ketidaksempurnaan hidupnya. Sejak laki-laki yang menitipkan anak dalam rahimnya pergi entah kemana. Hidup baginya tak ubahnya Kepala menjadi kaki, Kaki menjadi kepala. Aku tumbuh sebagai anak semata wayang yang tak mengenal sosok bapak. Pernah suatu ketika aku bertanya perihal itu
"Mbok, Bapak mana tho?
Jawabnya singkatÂ
"dungakno ben bapakmu iso mlebu suwarga". Simbok hanya menyuruhku mendoakan bapak agar bisa masuk surga.
Ah mbok, aku ini menuruni sifatmu. Tidak mau berfikir njimet. Yang tidak ada tidak usah dipaksakan ada. Saat ini jalani saja apa yang ada. Dihadapanku ada gethuk. Akan aku bawa kemana masa depan kami bersama gethuk-gethuk ini. Itu saja. Jauh lebih realistis ketimbang harus berjibaku dengan pemikiran yang tak berkesudahan.Â
Pagi itu, menjadi titik awal aku memaknai keajaiban dibalik gethuk-gethuk buatan simbok. Ketika rombongan  wisatawan mancanegara melewati tempat simbok berjualan di sudut pasar Beringharjo Yogyakarta. Dari sekian banyak rombongan turis yang melintas, hanya 3 orang yang kesemuanya adalah laki-laki yang melirik dengan makanan berwarna hijau itu.
Lelaki berkulit putih pucat, bermata biru, berhidung mancung dan berambut pirang itu lantas mendekat. Menunjuk gethuk dengan telunjuknya yang juga berwarna putih pucat
"what is this" agak terbata dia bertanya
"Gethuk"Â nyaris bersamaan dan begitu kompak simbok dan aku berucap menjawab tanya turis itu.
"Ge...tu..c" ulangnya terdengar lucu dengan mulutnya yang tampak maju. Mecucu, orang Jawa menyebutnya demikian.
Dan pertanyaan demi pertanyaan satu per satu terlontar. Aku sedikit banyak bisa menjawab dengan kapasitas bahasa Inggris yang pas-pasan. Melihat situuasi dan keadaan, Simbok memintaku untuk melayani turis yang ternyata berasal dari Belanda itu. 3 porsi gethuk terhidang ditangan mereka. Tiba-tiba seseorang dari mereka mengulurkan tangan kanannya sembari berucap :
"Erick"
Spontan aku menyambut uluran tangan itu dan berkata
 "Lindri"
"Ge..tuc...Lindri", tiba-tiba turis bernama Erick itu menggabungkan gethuk dengan namaku.
"Great taste" and bla..bla..bla terjadi percakapan diantara mereka.
Tiba-tiba terlihat Erick sibuk membongkar tas yang sedari tadi dia gendong dipunggung. Tas itu tampak besar. Seperti kebanyakan turis-turis asing gunakan ketika mereka berjalan menyelusuri jalanan di Malioboro.Â
"this is it"Â girang setengah berteriak dia berkata
Aku mulai mengamatinya. Memastikan benda yang dia pegang. Tampak dalam kotak. lalu dia keluarkan
"do yo know this? Erick mendekat dan bertanya padaku sembari memperlihatkan benda berbungkus kertas mengkilap berwarna perak
"Cheese" Â dia yang bertanya dia juga yang menjawab
Aku hanya mengangguk. Melihat apa yang akan dia lakukan kemudian. Dalam kotak yang dia gunakan untuk menyimpan keju ada sejenis alat. Lebih tepatnya sejenis parutan keju. Dan benar saja. Erick pun menggerakkan tangannya dengan cekatan. Merubah bentuk keju yang semula kotak padat menjadi serpihan memanjang dan bertabur diatas potongan getuk.
"So delicious"Â Pekiknya sembari mencomot potongan terakhir gethuk yang telah bertabur keju parut.
Dia keluarkan dari dalam tasnya beberapa potong keju dan dia berikan itu kepadaku. Dia memintaku memarutkan keju-keju itu diatas gethuk-gethuk beralaskan daun pisang. Simbok hanya melongo melihat apa yang tengah terjadi.Setelah membuat atraksi parutan keju, membayar dengan harga yang tak terduga lagi berlebih . Mereka berlalu.Â
Atraksi 3 turis Beanda itu ternyata menjadi pusat perhatian pengunjung. Sungkan mereka mendekat. Nyatanya begitu turis itu berlalu. Serbuan pembeli berkerubut bak semut. Dalam sekejap gethuk buatan simbok habis tak tersisa. Pantas saja wong gethuknya begitu istimewa bertabur keju asli dari negara asalnya. Tak seberapa lama, ketika kami bersiap pulang membawa bakul yang telah ringan. Sosok menghebohkan itu datang kembali. Kali ini dia sendiri. Entah dimana 2 teman yang menjadi rombongannya.
Dan bagaikan disambar petir disiang hari, tanpa ada hujan yang menyertai. Aku pingsan ditengah pasar akibat kata-kata yang diucapkan Erick
"will u marry me?"
Hah??? bagaimana bisa anak seorang penjual gethuk diajak menikah sama bule ganteng yang ternyata anak pengusaha keju dari Belanda?
Tapi itulah hidup. Ceritanya tak bisa ditebak semudah menjawab teka teki silang. Perubahan itu yang membuat simbok berhenti berjualan gethuk. Simbok kini telah menjadi the masterpiece of cheeseÂ
Tiga tahun kemudian baru aku ketahui, Erick menikahiku karena dia ingin mengenalkan gethuk di negara Belanda. Erick berasumsi bahwa Gethuk dan Keju menghasilkan perpaduan cita rasa yang luar biasa. Dan siapa yang mengira , Gethuk Indonesia mampu meningkatkan omset penjualan keju.(atau malah sebaliknya?) Ah ini hanyalah sebuah kisah fiksi tentag kuliner  yang penuh kejutan.
Untuk menikmati fiksi kuliner karya peserta lainnya, silahkan mengunjungi link Inilah Hasil Karya Peserta Event Fiksi Kuliner Fiksiana Community 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H