Mohon tunggu...
Tamba Togap Tambun
Tamba Togap Tambun Mohon Tunggu... Pegawai Perbankan -

Lakukan yang terbaik selagi kita bisa

Selanjutnya

Tutup

Financial

Menjaga Stabilitas Ekonomi Domestik

30 Agustus 2018   13:57 Diperbarui: 30 Agustus 2018   14:45 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebijakan Bank Indonesia menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (7DRRR) pada tanggal 29 Juni 2018 sebesar 50 basis poin (bps) sesuai dengan hasil keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia merupakan pilihan yang tepat untuk meredakan suhu di pasar keuangan domestik saat ini. 

Bahkan bulan sebelumnya Bank Indonesia tercatat dua kali menaikkan suku bunga yakni tanggal 17 dan 30 Mei 2018 masing-masing sebesar 25 bps sehingga total kenaikan suku bunga dari bulan Mei-Juni 2018 sebesar 100 bps dari 4,25 persen menjadi 5,25 persen. 

Menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate bertujuan untuk menjaga kestabilan perekonomian Indonesia ditengah ketidakpastian pasar keuangan global dengan menahan laju dana asing agar tidak keluar secara besar-besaran dari pasar domestik (capital outflow) untuk memperkuat posisi kurs rupiah (IDR).

Sampai saat ini pergerakan kurs rupiah terhadap dolar AS masih sangat fluktuatif. Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), posisi rupiah menguat per tanggal 09 dan 10 Juli 2018 masing-masing Rp 14.332/USD dan Rp 14.326/USD jika dibandingkan posisi 06 Juli 2018 yang berada pada level Rp 14.409/USD. 

Penguatan ini menunjukkan adanya pengaruh positif menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate yang membuat pasar keuangan Indonesia lebih kompetitif untuk mendorong masuknya arus modal asing ke pasar domestik (capital inflow). Kebijakan strategis Bank Indonesia bersama pemerintah harus dilakukan secara tepat dan akurat dengan memperhatikan kondisi ketidakpastian pasar keuangan global dan senantiasa menjaga kestabilan pasar domestik.

Ketidakpastian Global

Pengaruh ekonomi Amerika Serikat (AS) berdampak signifikan terhadap perekonomian global, apalagi ditengah gencarnya pemulihan ekonomi di era kepemimpinan Presiden Donald Trump, salah satunya dengan menaikkan suku bunga The Fed. 

Sebagaimana diketahui, berdasarkan hasil rapat The Fed (FOMC) pada tanggal 12-13 Juni 2018 lalu, bunga acuan disepakati naik 25 bps dan membawa suku bunga The Fed menjadi 1,75 persen hingga 2,0 Persen. 

Bahkan diperkirakan akan terjadi kenaikan hingga 3-4 kali pada tahun 2018 yang mengakibatkan dolar AS semakin menguat dan paradigma pelaku pasar keuangan global terhadap dolar AS semakin meningkat.

Hasil riset Lembaga pemeringkat Moody menyampaikan bahwa dampak penguatan mata uang dolar AS sejak pertengahan April 2018 terhadap depresiasi mata uang yang cukup tajam di negara-negara berkembang (emerging market), termasuk Indonesia. 

Apabila terjadi kenaikan yang cepat dan penguatan kurs dolar AS, dampaknya pada Indonesia sebagai capital importing country yaitu akan mempengaruhi hutang luar negeri yang nilainya semakin besar dan biaya impor barang dan jasa yang semakin mahal.

Perang dagang antara AS dengan Tiongkok juga menimbulkan dampak ekonomi di seluruh dunia, termasuk Indonesia yang menimbulkan ketidakpastian global. Ini merupakan perang dagang terbesar dalam sejarah perekonomian. 

Per tanggal 06 Juli 2018, Donald Trump memberlakukan kenaikan tarif impor terhadap produk dari Tiongkok senilai 34 miliar dolar AS dengan tarif sebesar 25 persen. 

Tujuannya adalah untuk menghambat impor barang dan jasa yang berasal dari Tiongkok dan mungkin kebijakan ini berimpas pada negara lain. Kebijakan proteksionisme AS dengan menutup akses perdagangan dengan dunia luar sesuai dengan visi dan misi "Make America Great Again". Bagi sebagian ahli, kebijakan ini diyakini dapat merugikan rakyat AS terkhusus yang memiliki mitra dagang dengan dunia luar.

Sementara itu, strategi yang dilakukan Tiongkok adalah dengan mengkampanyekan visi dan misi terbarunya yaitu "Made in Tiongkok 2025" dengan membuka diri terhadap investor asing untuk berinvestasi di negaranya. 

Tiongkok juga melakukan devaluasi mata uang Yuan yang menjadikan mata uang ini semakin murah dan dolar AS semakin kuat. Tujuannya membuat produk dari Tiongkok akan membludak di pasar global karena harga yang lebih murah yang dapat menguntungkan negara lain yang mengimpor dari Tiongkok. Faktor lainnya penyebab ketidakpastian global dikarenakan meningkatnya ketegangan geopolitik antara AS dan Iran yang memicu kenaikan harga minyak dunia. 

Secara keseluruhan, meskipun pengaruh ketidakpastian global tidak terlalu signifikan saat ini terhadap perekonomian Indonesia, namun pemerintah harus tetap siaga dan perlu perhatian serius agar volume ekspor Indonesia tidak terganggu.

Stabilitas Domestik

Stabilitas makro merupakan bagian terpenting dalam perekonomian Indonesia sebagai fondasi untuk menopang gejolak-gejolak yang terjadi di pasar keuangan domestik maupun akibat ketidakpastian global. Ada 3 (tiga) indikator utama untuk melihat kestabilan makro ekonomi, antara lain: Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Inflasi dan Defisit Transaksi Berjalan. 

Tingkat pertumbuhan ekonomi Kuartal I tahun 2018 sebesar 5,06 persen secara year to year (yoy) yang mengalami peningkatan dibandingkan pertumbuhan  ekonomi Kuartal I tahun 2017 sebesar 5,01 persen (yoy). 

Pertumbuhan ekonomi sebesar 5,06 persen ini sebenarnya masih sedikit berada dibawah perkiraan sebelumnya sekitar 5,1 persen. Salah satu komponennya penyebabnya adalah konsumsi rumah tangga yang pertumbuhannya masih dibawah 5 persen, hanya tumbuh sekitar 4,95 persen (yoy). Sangat diharapkan sebenarnya pertumbuhan konsumsi semakin tinggi lagi agar dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi Nasional.

Disisi lain, tingkat inflasi juga masih terkendali atau berada pada kisaran target, sebesar 3,5 lebih kurang 1 persen (yoy). Menurut data Bank Indonesia, tingkat inflasi pada Juni 2018 sebesar 0,59 persen secara month to month (mtm) atau sebesar 3,12 persen (yoy), lebih rendah dari inflasi bulan-bulan sebelumnya, posisi April sebesar 3,41 persen dan Mei sebesar 3,23 persen (yoy). 

Inflasi Juni 2018 dipengaruhi oleh faktor permintaan dan penawaran. Inflasi terutama bersumber dari komoditas daging ayam ras, cabai rawit, ikan segar, sayur-sayuran, kelapa, bawang merah, daging sapi, ayam hidup dan daging ayam kampung. Sementara komoditas telur ayam ras, cabai merah, beras dan bawang putih tercatat deflasi didukung stabilnya pasokan. Untuk menjaga kestabilan inflasi, perlunya koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah bersama dengan Bank Indonesia.

Sementara defisit transaksi berjalan (Current Accout Deficit/CAD) Kuartal I tahun 2018 tercatat sebesar USD 5,5 miliar atau 2,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) lebih rendah dari Triwulan sebelumnya yang mencapai 2,3 persen dari PDB. 

Namun Bank Indonesia memperkirakan CAD kuartal II tahun ini bisa melebihi level 2,5 persen dari PDB yang disebabkan oleh defisit neraca perdagangan sektor migas ditambah harga minyak mentah yang terus meningkat. Meskipun CAD diperkirakan melebar, defisit Transaksi Berjalan posisi Kuartal II tahun 2018 masih dalam kategori aman karena masih berada dibawah 3% dari PDB.

Melihat indikator tersebut, secara keseluruhan sampai Kuartal I tahun 2018 indikator makro ekonomi domestik masih terjaga dan stabil. Meskipun demikian, pemerintah harus tetap waspada dan memperkokoh fondasi perekonomian domestik mengingat gejolak ekonomi global yang sangat spekulatif. 

Langkah Kedepan

Agar mampu bertahan ditengah gejolak ekonomi global yang spekulatif dan mampu memperkuat stabilitas ekonomi domestik, langkah-langkah strategis pemerintah harus dilakukan pemerintah secara maksimal, yaitu : Pertama, perlunya memperkuat industri lokal, mengurangi permintaan impor dan meningkatkan ekspor yang berdaya saing dan diversifikasi negara tujuan ekspor. Terkhusus memperkuat sektor manufaktur dan pariwisata yang bertujuan meningkatkan devisa yang berkelanjutan dan memperkecil defisit transaksi berjalan.

Kedua, menekan defisit APBN melalui peningkatan penerimaan Negara atas pajak. Proyeksi pendapatan negara tahun 2018 sebesar Rp 1.894,7 triliun, target penerimaan perpajakan sebesar Rp1.618,1 triliun (85,40 persen). 

Sementara Tax Ratio Indonesia saat ini masih rendah berada pada level 10,8 persen. Menurut International Monetary Fund (IMF) mensyaratkan suatu negara dapat melakukan pembangunan yang berkelanjutan apabila Tax Ratio nya minimal 12,5 persen. 

Beberapa langkah strategis telah dilakukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk meningkatkan penerimaan pajak, antara lain melalui Tax Amnesty, Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan dan upaya penerimaan pajak lainnya. Diatas semua itu, kesadaran masyarakat selaku Wajib Pajak (WP) untuk membayar pajak tepat waktu sangat perlu dan memang seharusnya  demikian.

Ketiga, melihat gejolak kurs yang begitu spekulatif, disarankan agar pelaku usaha memperkuat struktur keuangannya terutama yang menggunakan bahan baku impor tapi berorientasi penjualan di pasar domestik sehingga harus menerapkan kehati-hatian dalam mengelola kebutuhan dolar AS. Semoga. ***

Tamba Togap Tambun
Pegawai Perbankan

Alumnus Ekonomi Pembangunan FEB USU

Artikel ini telah terbit di Harian Analisa edisi 27 Juli 2018

http://harian.analisadaily.com/mobile/opini/news/menjaga-stabilitas-ekonomi-domestik/592470/2018/07/27

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun