Tema: Kidung Senja
Judul: JANGAN PERGI!
Karya: Zahirah Zahra
Genre: CerpenÂ
Jumkat: 1860 Kata
Dalam remang senja yang hampir hilang direnggut kegelapan malam, aku duduk sendiri hanya ditemani kidung kesunyian waktu yang mengendap menjadi sebongkah kerinduan yang entah. Mungkin diri ini terlalu naif, untuk mengungkapkan kejujuran perihal rasa selepas warta yang datang porakporandakan jiwa.Â
Kehilanganmu adalah fase terberat dalam hidupku. Bukan soal seberapa cinta dan pengorbanan yang telah berhasil mendominasi meski tanpa apresiasi kita tetap berjuang hinggi di titik ini, tapi terlalu hangat kasih yang menghadirkan kedamaian di setiap kebersamaan. Jika disuruh memilih, mungkin perpisahan ini akan kutukar dengan cucuran air mata. Agar pergimu tak menjadikan lumpuh jiwaku.Â
Masih terngiang pagi tadi, saat matahari masih remang menyinari bumi. Sayup-sayup kuncup cahaya meredup kala diterpa awan yang mengitarinya. Tergopoh-gopoh Kak Fitrah datang dengan wajah muram menghampiri kami yang menikmati kesunyian di ruang itu. Ia terdiam sesaat mengatur ritme detak dalam dada. Seakan ada yang ingin disampaikannya namun kelu bibir mengatakan.Â
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh. Aku mohon maaf, mengingkari janjiku untuk balik ke CF selepas menepi. Izinkan aku pamit untuk selamanya dari CF. Setelah beberapa hari ini aku merenung, semakin yakin literasi bukan duniaku. Aku sudah tak sanggup ada sini. Aku minta maaf sudah sangat mengecewakan. Endang Astuti tak apa kalau kamu membenciku. Aku siap. Jika ada event insyaallah selama dibutuhkan aku akan membantu dari pembuatan sertifikat juga reward alakadarnya."Â
Sederet kata kucerna perlahan-lahan dari Kak Fitrah yang memang sudah beberapa hari ini berpamitan untuk menepi. Aku mencoba memahami setiap kata agar tak salah memaknai. Rasanya seperti mimpi buruk yang datang tiba-tiba membayangi malamku.Â
Ada keinginan menanggapinya, namun tanganku seperti gemetaran hatiku dibuat dag dig karena perasaan yang tak menentu. Bimbang, dengan cara apa lagi meyakinkan bahwa keutuhan keluarga ini teramat berharga dari sebuah keegoan semata.Â
Beberapa menyambutnya dengan diiringi sebuah kata sesal dan tangis. Air mata membanjiri ruang kebersamaan admin, tempat kami saling bertukar pikiran. Rasa tak rela tergambar dari raut Astuti yang terkenal dengan kelembutannya, namun kadang paling berani mengungkapkan kejujuran hatinya sekalipun pahit.Â
"Aku kecewa," jawab As sambil diiringi tangis yang membanjiri pipinya, betapa terpukulnya ia setelah mendengar kata-kata itu.Â
"Aku tahu," balas Kak Fitrah.Â
"Aku kecewa," ucap As untuk kedua kalinya dengan kalimat dan rasa yang sama. Setelah itu ia pergi meninggalkan kami semua dan belum kembali hingga senja tiba aku duduk sendiri meratapi yang terjadi.Â
"Waalaikum salam, Kak Fitrah. Menjalani hidup terkadang memang tidak selalu sesuai yang kita harapkan. Sejatinya Perpisahan adalah sesuatu yang paling kita benci, tapi di balik itu tentu ada hikmah yang tersembunyi. Lakukan apa yang menurut kakak paling baik dan nyaman. Tapi sejujurnya, tidak ada yang mengingankan ini. Kami masih menaruh harap, bahwa ini hanya mimpi,"Â
"Aku yakin ini sebuah keputusan yang bukan murni dari hati, namun apa yang bisa kami lakukan? Ketika ego itu lebih dominan menguasai. Semoga kakak bahagia. Makasih untuk kebersamaan selama ini, jejak kebaikan yang tertoreh semoga akan menjadi amal jariah yang tak pernah berhenti," sambungku.Â
Aku mencoba menahan tangis dan berusaha tegar di depan semua, meski kenyataannya ada air mata yang diam-diam menganak sungai di pipiku. Perlahan kuseka, mereka tak perlu tahu kecamuk rasa yang mendera.
"Gak iso nulis opo-opo kecuali mbrebes mili. Karena kamu Kak Fitrah CF kuat, tanpamu CF apalah," ucap Kak Nisa tak kalah sedihnya.Â
"Terima kasih banyak Kak Fitrah semoga sehat selalu dan dalam perlindungan-Nya, maafkan juga kalau dalam kebersamaan kita selama ini banyak hal yang kurang baik juga suka bikin kakak jengkel. Apapun keputusan kakak semoga itu yang terbaik. Sekalipun mungkin aku hanya bisanya jadi tukang nyimak saja," sela Kosas di tengah tangis yang membendung, seakan mencoba menguatkan pijaknya untuk kuat melangkah meski hati sebetulnya tak rela.Â
"Bila tanpamu dinda Fitrah, kita mungkin gak bisa bertahan lama. Karena adamu kita tetap kuat untuk meneruskan perjuangan CF. Apalagi aku yang selalu jatuh bangun untuk mempertahankan tetap sehat. Tak kupungkiri karena mungkin juga usia semakin tua. Semoga dinda Fitrah mau berpikir dua kali untuk pergi dari CF," ucap Kak Sari dengan wajah sedu.Â
***
Kak Fitrah mengirimkan sebuah pesan whatsapp kepadaku. Kami melanjutkan obrolan yang sangat menguras emosi jiwa dan dramatis di ruang admin tadi. Kak Fitrah ternyata hendak menyerahkan tanggung jawab management keuangan yang dipegangnya. Sebegitu rapinya laporan, tanpa ada satu pun yang tertinggal.Â
Dia memang sangat piawai dalam merinci pengeluaran dan pemasukan Kas. Hanya dia yang sanggup dalam kurun 7 tahun CF berdiri memegang amanah itu. Namun tiba-tiba tanpa permisi, dalam waktu beberapa menit sudah berpindah ke rekeningku. Dia mengirim bukti transfer dan pembukuan laporan Kas yang disodorkannya.Â
"Kenapa harus ditransfer ke aku. Aku ga punya hak penuh atas itu,"
"Lalu hak siapa?"Â
"Hak bendahara dan donatur terbesar,"
"Bendahara sudah tidak ada, jadi owner yang lebih berhak."Â
Aku terdiam, lebih memilih tak membalas pesannya bukan karena tak ada bahan pembicaraan atau karena sudah diskak duluan. Tapi lebih tak ingin memperpanjang obrolan, karena hanya akan berujung alot tanpa penyelesaian. Sejujurnya aku merasa kecewa dan tak terima dengan keputusannya, sekalipun di room aku sudah berusaha tegar.Â
Di ruang yang berbeda....
"Bukan kita sudah berjanji dinda Fitrah. Bila kita tak bersatu, kamu tak akan tahu perkembanganku, yang saat ini sering jatuh bangun,"keluh kak Sari bernada melas.
"Semoga kakak bahagia. Mohon maaf jika aku punya salah selama ada di CF," ucapku lirih.Â
"Mendingan kita akhiri semua aja yah. Kita kembali kepada kehidupan masing-masing. Percuma saja diterusi CF kalau di antara kita harus ada yang pergi. Kita pernah sepakat, kalau keluar satu semua harus keluar. Tidak ada CF dengan admin baru atau pun CF dengan tatakelola yang baru," tegasku.Â
"Kita kembali ke titik 0, setuju?" Menegaskan kembali.Â
"Aku gak tahu dinda, gak bisa beri solusi," ucap kak Sari pasrah.
"Aku mau hidup tenang, tanpa terbebani tanggung jawab di CF. Mau cari apa lagi coba? Seandainya mau menerbangkan sayap literasi, biarkan aku bebas sesuka hati, insyaallah aku telah jauh lebih kuat dari pada sebelumnya. Mungkin admin yang lain pun akan bersikap sama," tegasku.Â
"Kita lihat aja nanti Zahirah seiring berjalannya waktu mungkin aku pun suatu saat sama seperti kalian. Biarkan untuk sementara waktu, begini adanya. CF dibekukan saja, kalau mau tengok ya tak apa-apa," sambung Kak Nisa.Â
"Mungkin di sisi lain kita jenuh namun di sisi lain kita juga berat meninggalkan CF, bagaimana pun perjuangan kita untuk CF perlu kita hargai," balas Kak Sari berusaha menguatkan.
"Baiklah, kita berjalan apa adanya saja. Kalau seandainya bisa respon silakan, jika tidak jangn dipaksakan."Â
Keputusan bulat kami sepakati, dengan harapan yang sama semoga CF masih berjaya.Â
"Iya, Zahirah, mengingat perjuangan kita dari waktu, tenaga, materi, dan sebagainya, sungguh sangat disayangkan pokoknya. Jikalau mungkin tinggal aku atau beberapa orang biarkan tetap ada CF meskipun senyap. Selain banyak kenangan juga ada rasa bangga bisa mengayomi/membuat/mewujudkan mimpi literasi meski sesaat .
Intinya kita pernah ada di dalamnya," pesan kak Nisa yang membuat langkahku kembali bersemangat.Â
***
Kidung senja menggema, menyuarakan kedukaan pada jiwa-jiwa yang hampa selepas kemarau uji datang merenggut asa. Tangis, bahagia, suka duka, amarah dan benci kerap mewarni sepanjang waktu menemani seumpama nyanyian hati yang memuisikan bait-bait rasa. Semua adalah bagian kisah yang menjadi sejarah tak terlupakan hingga nanti. Di titik perhentian senja yang menjingga pun kita menggenggam lelah, meski pada akhirnya ketulusan cinta merekat kembali kebersamaan kita.Â
***
Hari ini betapa terpukulnya diri, berat menerima kenyataan, meski berkali-kali sering mengungkapkan yang sama. Pamit dan pamit. Ini memang bukan senja pertama hadirkan luka, berkali-kali drama pulang pergi mewarnai kisah kami. Mungkin aku dan Kak Fitrah tokoh labil yang memainkan peran paling konyol. Walau ini bukan drama, tapi kenyataan yang harus diterima.Â
Aku berusaha menyembunyikan sedih, sebesar apa pun hati ingin menangis dan menolak takdir perpisahan ini. Aku berusaha kuat di depan anak-anak didikku yang menjadi pelipur laraku. Selama ini memberikan semangat agar aku tetap menjadi sosok yang hebat bagi dunia kecil mereka. Kubuka layar HP, membaca ulang pesan-pesan yang begitu menyayat hati dan mengingat apa yang terjadi. Tak terasa air mataku bercucuran, menyisakan sembab yang tak biasa di rona wajah dan mataku. Sehingga menjadi pertanyaan mereka yang sejak tadi memperhatikan.Â
"Ibu kenapa menangis. Ada masalah?" tanya Kalya yang duduk persis di depanku.Â
"Eh, tidak kok. Ibu baik-baik saja. Tadi ibu habis baca-baca puisi yang ibu tulis. Mungkin karena terlalu menghayati, jadi menangis," kilahku sambil melempar senyum dibalut raut sedih yang tak bisa kusembunyikan.
Bukan cuma anak-anak yang menanyakan itu. Tapi juga teman-teman sejawat dibuat kepo melihat mataku yang masih melukiskan wajah sembab. Aku berusaha menutupi dengan pura-pura menyibukkan diri. Agar tak banyak pertanyaan yang mereka lontarkan. Tapi akhirnya ada juga yang ingin tahu apa yang terjadi.Â
"Bu Zahirah kenapa? Kek habis nangis?" tanya satu di antara mereka.Â
Kali ini aku berusaha jujur. Kendati aku pura-pura baik-baik saja. Mereka mungkin tak percaya.
"Teman yang sudah aku anggap saudara di literasi telah pergi selamanya,"Â
"Innalillahi wa innailaihi rajiun. Meninggal?" ucapnya kaget.Â
"Bukan ... bukan, Ibu. Jangan gitu ihh. Maksud aku pergi pamit dari CF rumah literasi kami." Aku mengusap air mata yang masih mengembun di pelupuk.Â
"Ya Allah, maaf. Alasannya kenapa?"Â
"Gak tahu, mungkin ia jenuh karena literasi bukan jiwanya. Padahal tulisannya bagus, dia juga penulis berbakat,"Â
"Yaudah yang sabar ya, Bu Zahirah," ucapnya menguatkanku.
***
Masih di senja yang sama. Pun aku menghimpun harap yang sama, adakah warta datang menghapus sedih.Â
Sebuah pesan di room admin telah dihapus pengirimnya. Aku belum sempat membacanya.Â
"Kenapa dihapus, Kak Fit?" balasku.Â
"Emmm ... aku jadi malu," sambil emot ngakak. Aku seperti menemukan Kak Fitrah kembali di ruang ini.Â
"Yaudah, nanti aja kirim lagi. DL jam 12 malam ya, moga aku belum tidur," tulisku.Â
"Eh, mending sekarang aja. Takutnya aku yang bablas. Jadi gini tadi tuh aku mau jawab koment kak Sari, untuk memberi aku waktu berpikir. Tapi kemudian aku hapus. Soalnya, andai tetap di CF khawatir akan selalu mengulangi kesalahan yang sama pada kalian dan CF. Sehingga jangan kan kalian, aku saja merasa muntah dengan kelabilanku sendiri," tuturnya dalam pesan yang dikirim.Â
"Drama labilnya admin CF kan dari dulu sering terjadi, terutama tokoh labil itu aku sendiri. Entah berapa kali niat ingin pergi dan kembali. Menurutku itu sebtulnya wajar, karena bagian dari pergolakan hati saat lelah dan rindu. Tenang aja ada temennya, kok!" selorohku.Â
"Serius ada temannya? Horeee ... aku gak sendiri,"
"Iya ada, bentar lagi juga aku di fase jenuh. Gantian yaaa aku yang pamit guling-guling. Sedia tisue yang banyak aja, haha,"candaku dengan emot ngakak.Â
"Mulai deh! Dasar ya, Kalian berdua sebelas duabelas pinter mengaduk-aduk perasaan. Duh Kak Fitrah pokoknya jangan pergi lagi. Kita harus tetap di sini, menghadapi segala yang ada. Kita kuat karena saling mengisi dan menopang," sambung Kak Nisa.Â
"Janji ya! jangan pergi lagi di antara kita. Apa pun kita hadapi bersama di sini. Kekeluargaan lebih penting dari apa pun.Â
Kalau jenuh, kita bikin jadwal libur satu minggu dalam sebulan gak usah tengok CF. Kita fokus di duta aja gimana??"usulku.Â
"Setujuuu ..." jawab Fitrah paling kencang.Â
Sementara mataku masih setia menyisir setiap pojok room admin CF. Mencari sosok Astuti yang belum jua hadir menyapa dengan salam, seperti biasa. Atau meninggalkan jejak senyum manis menyambut kebahagiaan dan kenyataan bahwa Kak Fitrah masih di sini bersama kita. Mungkinkah Astuti masih menaruh kecewa dan tak ingin berbicara dengan Kak Fitrah? Karena hal yang paling ditakutkan Kak Fitrah adalah membuat As marah dan sedih karena kelabilannya. Tapi kami percaya bahwasanya hati As seluas samudera.Â
Bekasi, 19 September 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H