Hujan tak pernah meminta atau memilih di bumi mana akan turun, namun ia tahu ke mana harus menumpahkan derai, sebelum panas datang menghapus jejak. Begitulah ibu dan hujan, dua hal yang tak bisa dipisahkan. Memiliki makna yang tak mampu dilukiskan dengan kata-kata. Karena terlalu berarti kehadirannya.
"Assalamualaikum, Pak, selamat siang."
Seorang perempuan paruh baya, Ainun__ibunya Asha. Ia menyapa Pak Sartono sekuriti sekolah yang berada di pos. Dengan bersimbah hujan, bajunya basah kuyup, sesekali ia menggigil kedinginan.Â
"Pak, saya boleh menitipkan bekal makan ini untuk Asha kelas 9.2. Kebetulan tadi Asha lupa membawanya," lanjutnya.Â
Gemeretak gigil berkali-kali terlihat dari gerigi rahang-rahangnya yang kaku. Tanpa jas hujan dan payung yang melindunginya, ia rela menanggung sakitnya air hujan yang berjatuhan di tubuhnya. Hujan sangat deras, sesekali suara petir menyambar.Â
"Ibu, sebaiknya tunggu hujan reda saja. Jangan pulang dulu! Mari bu, masuk ke pos! Biar nanti makanan ini saya antar ke kelas 9.2," seru Pak Sartono.Â
"Terima kasih, Pak. Titip salam saja buat Asha. Saya pamit pulang, karena masih banyak kerjaan di rumah," ucap Ibu Ainun.
"Siap, Bu. Hati-hati, hujan masih deras dan jalan sangat licin!" pesan Pak Sartono.Â
***
Asha terkejut dan terharu begitu bekal makanan dari ibu diantar untuknya. Pak Sartono menceritakan perihal ibunya yang datang saat hujan. Seketika Asha menangis tersedu-sedu, membayangkan ibunya yang ringkih di bawah guyuran hujan, terlebih ia berjalan kaki sejauh 500 meter dari rumahnya ke sekolah, jalan yang curam bebatuan ditambah hujan deras. Pasti kaki ibu sangat sakit dan kedinginan.Â
"Ibu ... aku sayang ibu. Kenapa ibu lakukan ini hanya demi aku. Bukankah ibu sudah cukup menderita!" teriak batin Asha memanggil ibunya.Â