Mohon tunggu...
Tamariah Zahirah
Tamariah Zahirah Mohon Tunggu... Penulis - Guru di SMPN 3 Tambun Utara

Menulis salah satu cara menyalurkan hobi terutama dalam genre puisi dan cerpen. Motto : Teruslah menulis sampai kamu benar-benar paham apa yang kamu tulis!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pesona Jala Sutra Bank Emok

29 April 2023   08:56 Diperbarui: 29 April 2023   09:18 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tema: BANK EMOK

Karya: Zahirah Zahra

Kedasih seorang janda beranak lima yang berprofesi sebagai pedagang sayur keliling. Ia berjuang menafkahi kelima anaknya, sejak mereka masih kecil hingga kini tumbuh dewasa. Bahkan dua anaknya telah menikah dan dikaruniai putra putri. Lengkap sudah kebahagiaan Kedasih sebagai seorang nenek muda dengan dua orang cucu. Hidup dalam kesulitan ekonomi tidak menjadikannya patah semangat.

Kehidupan Kedasih jauh dari nilai-nilai agamis, sholat lima waktu jarang dilakukan dengan alasan kesibukan mencari nafkah. Jika ditanya kapan memulai untuk shalat, jawabannya, "Nanti kalau hati sudah tenang." Simple sekali, dia lupa sejatinya ketenangan adanya dalam hati. Jika hati bersih dan khusyuk mendekat pada Allah, ketenangan itu akan datang dengan sendirinya.

Kedasih menghampiri segerombolan emak-emak yang sedang duduk sila di bale-bale rumah berukuran minimalis berpagar bambu. Dari kejauhan suasana rumah nampak terlihat sepi, rupanya ini menjadi tempat paling nyaman emak-emak melancarkan misi. Bukan perihal asing duduk bersama. Entah sudah yang ke berapa kalinya mereka berkumpul untuk sebuah tujuan tertentu. 

Sepuluh orang emak-emak bersama satu orang lelaki bernama Anton, seorang petugas dari Bank Emok. Mereka akan memulai transaksi pinjaman uang mengatasnamakan untuk modal usaha.

"Baiklah, Ibu-ibu! Terima kasih sudah bersedia berkumpul di sini. Tak perlu basa-basi lagi, karena transaksi ini bukan yang pertama kita lakukan," ucap Anton tegas. 

"Siap, Bang!" seru Maya, salah satu anggota setia Bank Emok.

"Alhamdulillah semua berjalan lancar, berkat kerjasama ibu-ibu untuk taat membayar cicilan setiap minggunya," sambung Anton penuh semangat. Mata emak-emak tertuju kepada Anton yang sedang memberikan arahan. 

Anton membuka buku catatan, setelah detil mengamati ternyata ia menemukan kekeliruan di dalamnya. Ada catatan utang nasabah yang masih menunggak Rp. 250.000.

"Sebentar, Ibu-ibu!" seru Anton.

"Kenapa, Bang? Ada yang salah?"

"Ternyata nasabah atas nama Ibu Kedasih masih ada tunggakan cicilan satu kali. Mohon maaf transaksi tidak bisa dilakukan, jika salah satu nasabah belum lunas," sesal Anton.

"Waduh! Gagal cair donk hari ini! Padahal saya sedang butuh uang untuk keperluan mendesak," umpat Juju dengan raut kesal. 

"Ah gimana sih, Bu Kedasih? Gara-gara ibu, pinjaman dibatalkan! Kalau gak kuat bayar cicilan, gak usah deh ikutan utang!" bentak Sumi dengan mata melotot melihat ke arah Kedasih. 

"I-iya, maaf. Kebetulan waktu itu saya sedang sakit, jadi tidak berjualan. Otomatis tidak ada pemasukan. Bagaimana buat bayar cicilan Bank Emok, buat makan saja susah," tutur Kedasih dengan mata yang berkaca-kaca. 

"Terus gimana dong?" tanya Maya kepada semua anggota yang terlihat bingung dan diliputi rasa resah.

"Kalau kalian mau menghakimi saya, silakan saja! Tapi jujur untuk membayar utang sebanyak itu saya tidak sanggup. Saya pasrah kalau pun harus dilaporkan ke polisi," ungkap Kedasih dengan wajah melas. 

"Toh selama ini saya tidak pernah macet soal cicilan. Buktinya sudah berjalan 7 tahun bergabung menjadi nasabah Bank Emok bersama kalian," sambung Kedasih membela diri.  

"Hadeuh, pasang muka melas deh. Pengen dikasihani, kan? Masa Ibu Kedasih yang melakukan kesalahan, kami yang harus menanggung akibatnya. Gak adil tahu!" gerutu Yosi. 

"Sudah, Ibu-ibu! Jangan saling menyalahkan! Apa kalian lupa? Sebelum transaksi ada perjanjian pihak bank dengan nasabah yang harus ditepati dan semua setuju bahkan sudah menandatangani. Saya akan membacakan khusus point 5," timpal Anton berusaha menengahi kegaduhan. 

"Bertanggungjawab bersama apabila ada nasabah yang macet. Nah, seperti itu bunyinya," terang Anton kembali. 

Emak-emak melongo sambil beradu pandang, setelah mendengar penuturan point ke-5. Dengan berat hati mereka mencoba menerima kesepakatan yang memang dari awal sudah mereka setujui. 

"Baiklah, Bang Anton, kami bertanggungjawab penuh atas kesalahan yang dilakukan Ibu Kedasih sesuai dengan janji nasabah. Teman-teman, kita harus ikhlas ya! Apalagi ia adalah janda beranak lima, anggap saja ini bagian dari sodaqoh untuknya," ujar Maya. 

Akhirnya sembilan anggota setuju dengan keputusan itu, dan bersedia mengeluarkan uang masing-masing Rp. 28.000,- untuk menutupi tunggakan sebesar Rp. 250.000,-.

Kedasih sangat berterima kasih dengan teman-temannya, sekaligus meminta maaf atas kesalahan yang diperbuatnya. Dengan perasaan yang tak menentu, akhirnya Kedasih menyatakan untuk mundur dari rencana transaksi selanjutnya. 

Khawatir kelak tak mampu membayar, dan harus jatuh ke lubang yang sama. Mungkin saat ini mereka memaafkan, nanti belum tentu. Bisa saja berakhir di jeruji besi. Terlintas wajah anak-anaknya yang masih membutuhkannya, matanya berembun menyiratkan kesedihan yang tak terungkap. 

Candu pesona JALA SUTRA Bank Emok benar-benar telah membuat kaum emak terpedaya. Alih-alih pinjaman untuk modal usaha, namun kini banyak beralih untuk keperluan pribadi dari kebutuhan makan sehari-hari sampai untuk memenuhi gaya hidup agar terlihat keren. 

Dari satu kampung merambah ke kampung lainnya, Bank Emok telah menjadi pinjaman tersohor di pelosok. Dengan pinjaman lumayan besar namun persyaratan yang mudah hanya menyerahkan fotocopy KTP saja. 

Terlebih masyarakat awam sangat anti dengan proses yang ribet dalam setiap urusan, inilah yang menjadikan Bank Emok makin bersinar di kalangan emak-emak yang notabene pendidikannya rendah dan pemahaman agamanya sangat kurang.  

Mereka tidak tahu bahwa itu adalah salah satu jalan riba yang dilarang keras oleh agama Islam. Ada banyak dalil yang mengharamkan memakai uang hasil riba. Bahkan disebutkan dosa seorang rentenir dan yang memakan hasil riba lebih buruk dari pada dosa seorang pezinah. 

Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasalam: "Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali." (HR Ahmad dan Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman) 

Nauzubillah min dzalik. 

Bekasi, 25 Maret 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun