"Kenapa, Bang? Ada yang salah?"
"Ternyata nasabah atas nama Ibu Kedasih masih ada tunggakan cicilan satu kali. Mohon maaf transaksi tidak bisa dilakukan, jika salah satu nasabah belum lunas," sesal Anton.
"Waduh! Gagal cair donk hari ini! Padahal saya sedang butuh uang untuk keperluan mendesak," umpat Juju dengan raut kesal.Â
"Ah gimana sih, Bu Kedasih? Gara-gara ibu, pinjaman dibatalkan! Kalau gak kuat bayar cicilan, gak usah deh ikutan utang!" bentak Sumi dengan mata melotot melihat ke arah Kedasih.Â
"I-iya, maaf. Kebetulan waktu itu saya sedang sakit, jadi tidak berjualan. Otomatis tidak ada pemasukan. Bagaimana buat bayar cicilan Bank Emok, buat makan saja susah," tutur Kedasih dengan mata yang berkaca-kaca.Â
"Terus gimana dong?" tanya Maya kepada semua anggota yang terlihat bingung dan diliputi rasa resah.
"Kalau kalian mau menghakimi saya, silakan saja! Tapi jujur untuk membayar utang sebanyak itu saya tidak sanggup. Saya pasrah kalau pun harus dilaporkan ke polisi," ungkap Kedasih dengan wajah melas.Â
"Toh selama ini saya tidak pernah macet soal cicilan. Buktinya sudah berjalan 7 tahun bergabung menjadi nasabah Bank Emok bersama kalian," sambung Kedasih membela diri. Â
"Hadeuh, pasang muka melas deh. Pengen dikasihani, kan? Masa Ibu Kedasih yang melakukan kesalahan, kami yang harus menanggung akibatnya. Gak adil tahu!" gerutu Yosi.Â
"Sudah, Ibu-ibu! Jangan saling menyalahkan! Apa kalian lupa? Sebelum transaksi ada perjanjian pihak bank dengan nasabah yang harus ditepati dan semua setuju bahkan sudah menandatangani. Saya akan membacakan khusus point 5," timpal Anton berusaha menengahi kegaduhan.Â
"Bertanggungjawab bersama apabila ada nasabah yang macet. Nah, seperti itu bunyinya," terang Anton kembali.Â