Berita memilukan hati ini datangnya dari Dusun Aramiah. Kecamatan Birem Bayeun, Aceh Timur, seorang gadis bernama Putri Erlina, 16 Tahun Meninggal Dunia Akibat Bunuh Diri dan jasadnya ditemukan dipagi buta disebuah rumah sederhana berdinding anyaman bambu beratap daun nipah.
Kasus kematian Putri Erlina, yang ditemukan dalam posisi serupa orang bunuh diri pada 5 September lalu, setelah sempat ditangkap dan dituduh sebagai pelacur oleh polisi syariah di Langsa masih menyisakan tanda tanya. Hingga kini kepolisian setempat belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait sebab musabab Putri bunuh diri.
Semua berawal dari tiga hari sebelumnya, 3 September 2012 menjadi tanggal hitam awal petaka ini dimulai. Putri Erlina bersama teman perempuannya, sedang asyik menonton pertunjukan organ tunggal. Malam itu ramai sekali. Ratusan anak muda memadati Lapangan Merdeka, lapangan terbesar di Kota Langsa.
Naas bagi Putri, selepas larut dalam keramaian, ketika dia pulang petugas Wilaytul Hisbah (polisi Syariah) melakukan razia, putri digelandang ke Kantor Dinas Syariat Islam Kota Langsa. Tuduhannya sangat berat. Melanggar Peraturan Daerah (Perda) Syariah, Putri dituduh menjadi pelacur.
Esok harinya sebuah koran memuat berita : dua orang pelacur di bawah umur ditangkap di Lapangan Merdeka. “Bahkan, kepada penyidik, mereka secara gamblang menyatakan, selama ini kerap beraktivitas melayani lelaki hidung belang ? Koran itu tak pernah bertanya kepada Putri untuk klarifikasi ?
Tentu saja berita di koran ini segera menyebar keseluruh pelosok Birem Bayeun, dimana-mana orang ramai membicarakan dan mempergunjingkan tertangkapnya dua orang pelacur dibawah umur, apalagi kita semua tentu tahu bahwa cap sebagai pelacuir adalah sebuah petaka dan aib yang paling dasyat di bumi serambi mekah Aceh.
Putri adalah seorang gadis nan belia, putus sekolah kelas 2 SMP, Dia tak tahu lagi bagaimana harus membela diri. putri malu dan terhina dengan tuduhan semena-mena ini. Harga dirinya diremuk paksa. Tak tahan menanggung derita, sebelum mengakhiri hidupnya Putri Sempat menulis Sepucuk Surat Kepada Ayahnya :
”Ayah…Maafin putri ya yah, Putri udah malu-maluin ayah sama semua orang. Tapi Putri berani bersumpah kalau Putri gak pernah jual diri sama orang. Malam itu putri cuma mau nonton kibot di Langsa, terus Putri duduk di lapangan begadang sama kawan-kawan Putri.”
Nampak sekali bahwa isi surat tersebut adalah bentuk pengaduan sang putri kepada ayahnya dan merupakan klarifikasi terhadap pemberitaan atas dirinya bahwa Putri bukan seorang pelacur. Tentu kita akan membayangkan bagaimana detik-detik seorang putri ketika akan mengakhir hidupnya, membayangkan wajah orangtua dan kedua saudaranya, Membayangkan denting organ tunggal, keceriaan terakhir yang disesap dalam hidupnya. Putri menuliskan kepedihan hatinya pada sang ayah, Putri tidak ingin melihat ayahnya kalang kabut menghadapi fitnah dan gunjingan setiap orang Akibat Pemberitaan Media Lokal yang terlalu menyudutkan putri tanpa klarifikasi terlebih dahulu.
Begitu kejamkah aturan-aturan daerah yang dibangun atas nama Peraturan Daerah Syariah, sebuah peraturan yang dibuat oleh pemangku kebijakan serta polisi-polisi moral yang bekerja berdasar selembar aturan ini. Tidak kah mereka memahami apa rasanya terhina dan di permalukan ? apa rasanya dituduh sembarangan ? Mereka, para penentu ukuran moral manusia ini, tak pernahkah sebentar saja melongok relung kehidupan Putri, gadis belia yang ingin menyesap keceriaan masa muda, menonton pertunjukan bersama teman-temannya ? Peraturan Daerah Tersebut Telah Menjadi Pencabut Nyawa bagi seorang putri yang tidak merasa menjadi seorang pelacur.