Di balik awan sundae putih, ada sebuah bukit kecil hijau yang dihuni 3 orang kakak beradik. Mereka hidup bersama dalam satu pondok sederhana yang mereka bangun sendiri. Untuk makanan sehari-hari, mereka akan bergantian turun bukit untuk membeli keperluan di desa.
Desa Riak, adalah sebuah desa kecil di sebelah bukit yang dipimpin seorang kepala desa. Bapak Doif -begitulah biasa dia dipanggil- adalah seorang duda yang memiliki anak jelita bernama Kerei. Kerei begitu dikagumi oleh para remaja desa sebagai kembang desa. Bagaimana tidak, semua kecantikan wanita zaman sekarang dimilikinya, terlebih lagi mulut mungilnya itu, sungguh menawan hati.
Tidak terkecuali kakak beradik penghuni bukit. Maka jika sampai giliran mereka untuk pergi ke desa dan membeli makanan pokok, mereka akan mengenakan pakaian terbaik mereka dan menghentakkan kaki kuat-kuat; berharap jika sang gadis lewat dan memperhatikan mereka. Kerei, memang impian semua laki-laki di desa.
Suatu hari, tibalah hari di mana semua itu, tidak menjadi impian lagi. Kerei, sang gadis jelita, telah tiba di usia matang untuk menikah. Doif Si Kepala Desa mengadakan sayembara; barang siapa yang dapat mengalahkan naga, akan dinikahkan dengan putrinya.
Semua laki-laki desa yang cukup usia seperti kebakaran jenggot. Mana mungkin mereka mau melewatkan mimpi yang jadi kenyataan. Tapi, di samping itu ada juga mimpi buruk yang menyertai.
Malam itu, tidak ada dari mereka yang dapat tidur tenang. Mereka semua berfikir keras apakah mereka benar-benar dapat mengalahkan naga.
Di balik bukit pun demikian. Dinding pondok menjadi saksi rapat 3 kakak beradik nan hening itu, tidak ada yang memulai pembicaraan. Si Tertua, berfikir optimis mereka dapat mengalahkan naga itu. Ia berdiri lalu meraih tombaknya yang berat. Tombak ia ayunkan cepat saja seperti sebilah ranting, dia memang ahli tombak hebat.
Si Bungsu yang paling akurat tembakannya. Ia mengangkat busurnya yang panjang. Ia menarik busur ke belakang di dalam busur. Hening sejenak lalu, wush! Panah keluar jendela menembus malam. Walaupun samar, terdengar setelahnya suara karung gandum terkena panahnya. Itu cukup untuk membuktikan dia siap melawan sang naga.
Sekarang tinggal Si Tengah dengan penanya. Dua saudara telah menatapnya khawatir sedari tadi. Dengan nada mantap, si Tengah berdiri cepat membuat kursi yang ia duduki terjatuh. Ia berkata: "Aku tidak ikut perburuan naga ini!" Keputusan telah diambil, besok ketika matahari terbit mereka akan berangkat.
...
Api di mana mana, asap tebal membubung tinggi diangkasa, suara denting pedang dan berbagai teriakan menggambarkan gelombang perjuangan. 7 orang pemuda melawan 1 naga, sungguh pertunjukan puncak bentuk cinta. Bahu-membahu demi dapat menikahi anak gadis kepala desa. Siluet mereka tampak gagah membelakangi cahaya kobaran api di depan sana.