Sesampainya di kaki pohon, seluruh peserta terlihat sibuk mencari, apel mana kiranya dapat menghantarkan mereka menuju hadiah.
Seorang wanita, dengan anjing pendeknya, sibuk mengendus tanah sekitar pohon apel. Tidak berselang lama, wanita itu sudah menemukan sebuah apel merah yang terlihat lezat, dia sudah menentukan pilihannya.
Bocah berusia belasan tahun, menuruni salah satu bagian pohon. Tampak di tangannya, apel merah yang lain, yang kini membuat apel wanita dengan anjingnya bukan apa-apa. Bocah itu menemukannya setelah beberapa kali menaiki ranting pohon.
Dan seterusnya, berbagai peserta dengan beberapa apel lain sudah meninggalkan lokasi lomba. Sementara hari sudah beranjak gelap.
Di mana Sawahi kita? Sawahi sudah jauh berada di puncak pohon apel. Butuh waktu serta tenaga ekstra untuk sampai di sana. Ia berdiri diam di puncak pohon... Pada saat itulah, mentari mulai tenggelam dengan awan-awan yang memerah seperti kapas terbakar. Seluruh wajah kota dan pasar itu tersenyum menghantarkan kepergian mentari. Sawahi sudah mendapat hadiah yang dijanjikan pemilik kios buah.
Setelah berlama-lama di puncak pohon dan mendapati bahwa hari sudah malam, Ia turun ke tanah berjalan pulang ke rumah.
Diperjalanan, ia mulai menyusun koleksi kekalahan barunya. Ia juga sempat memperhatikan beberapa kekalahannya yang dulu, kini sudah berdebu dan sudah mulai mengelupas warna catnya. Ia lalui kekalahan tersebut.
Kini ia berdiri dengan kekalahan baru di tangan. Ia melihat semua pajangan dan kenangan itu. Tanpa ia sadari, wajahnya menghangat, tersimpul senyum tipis di bibirnya. Baru kali ini ia merasakan kekalahan yang terasa manis!
Tidak semua kekalahan itu pahit, tinggal bagaimana kita melihatnya.