Mohon tunggu...
Badrut Tamam
Badrut Tamam Mohon Tunggu... profesional -

Berusaha Mempersembahkan yang Terbaik dalam Setiap Proses...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kemilau Colza di Bumi Prancis (5)

6 Februari 2016   07:16 Diperbarui: 7 Februari 2016   22:28 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

HANYA BAGI ORANG YANG MENGGUNAKAN AKALNYA

Sesekali terlihat elang terbang merendah ‘mencaplok’ mangsanya. Ternyata benar, suasana temaram tenggelamnya mentari di pantai ini sangat indah. Sinarnya sedikit demi sedikit tenggelam ditelan derau ombak yang berangkulan. Disebelah kanan dari tempat kami berdiri, terdapat tebing-tebing di pinggir pantai. Menghujam kedalam dinginnya air berwarna biru.

Akhirnya setelah melalui perjalanan yang melelahkan, sampailah kami di Anglesqueville. Suatu desa disebelah selatan kota Fecamp, propinsi Haute-Normandie. Suasananya sejuk dan asri, sejauh mata memandang terdapat hamparan gandum yang luas. Di petak sawah yang lain terdapat pernak-pernik bunga colza yang sudah mulai menguning, berarti sebentar lagi siap dipanen.

Colza adalah sejenis tumbuhan yang bisa digunakan untuk pakan ternak, biji-bijinya menjadi bahan dasar minyak. Baik minyak goreng atau minyak untuk kendaraan bermotor. Bunga Colza menyajikan warna yang cantik dan anggun. Tidak heran jika di Korea bunga cantik ini dirayakan dalam acara Colza Blossom Festival. Sebuah perayaan tahunan di pulau Jeju.

Rencananya aktifitas kami berada di Fecamp dan Le Havre, dua kota dalam propinsi Haute-Normandie. Kawasan Normandie dibagi dua. Basse-Normandie atau Normandi bawah. Dan Haute-Normandie alias Normandi Atas. Pada saat kami di Prancis ada wacana dua daerah tersebut akan dijadikan satu: menjadi propinsi Normandi saja. Agar dua daerah akademi ini lebih simple, terpusat pada satu wilayah akademi. Istilah akademi pertama kali dibuat pada saat Napoleon berkuasa. Akademi adalah wilayah pendidikan. Di Prancis dikenal dengan sebutan région.

Anglesquiville menjadi pilihan karena tempat ini juga menjadi pusat wisata. Tidak jauh dari tempat itu terdapat beberapa lokasi wisata asri, seperti pantai Etretat yang terkenal dengan pasir batu dan cadasnya yang unik itu. Rumah kami seperti Villa. Ditengah hamparan sawah yang luas. Menghijau penuh dengan bunga-bunga colza menguning. Indah, seperti indahnya warna-warni permadani. Mata kami dibuat  sejuk dan segar melihatnya.

Terdapat satu rumah tetangga disamping kanan dan satu rumah disamping kiri. Pekarangannya luas. Banyak pohon-pohon rindang di halamannya. Sungguh sejuk. Jauh dari polusi emisi gas buang. Luas tiga rumah ini jika di wilayah perkotaan muat puluhan rumah. Saking luasnya pekarangan, tuan rumah membuat kolam ikan seluas 30 m³. Sangat nyaman untuk bersantai.

Dibatas-batas halaman tampak bunga-bunga berjejer rapi. Seperti deretan putri yang sedang berbaris. Salah satu kegemaran tuan rumah kami: Memelihara kuda. Dia mempunyai tiga ekor kuda yang dibiarkan mencari rumput sendiri. Biar tidak hilang, ‘rumahnya’ seluas puluhan meter itu dipagari kawat tipis jarang-jarang anyamannya. Kami heran bagaimana bisa kuda-kuda itu dibiarkan di tanah lapang yang menjadi rumahnya itu? Tidak adakah pencuri yang mengintai? Sedangkan di Indonesia, sapi dikandang saja bisa hilang.

Daerah asri nan sejuk ini berada di Jl. de I'Amiral AUBRY. Walaupun ‘mewah’ alias mepet sawah, jalannya mulus aspal korea, bukan makadam. Usut punya usut ternyata tempat ini sering disewa oleh orang-orang dari luar kota bahkan dari negara-negara tetangga. Dijadikan tempat singgah dan penginapan menghabiskan akhir pekan. Jika di Jawa Timur seperti daerah Batu atau Tretes.

Menjelang sore Erick, tuan rumah, mengajak kami latihan mengemudikan mobil. Tentunya khusus pada teman-teman yang sudah mempunyai SIM International. Cara mendapatkannya harus mempunyai SIM A terlebih dahulu. Kemudian diterjemahkan pada Penerjemah Tersumpah. Biayanya sekitar 100 ribu per satu SIM.

Di Indonesia, orang punya SIM tentu sudah bisa menyetir. Akan tetapi ketika di Prancis harus beradaptasi dengan posisi kemudi disebelah kiri dan sisi jalan sebelah kanan. Sebagaimana kita tahu, mengemudi adalah keterampilan tangan, kaki dan indera penglihatan. Menyatu menjadi satu fokus: mengemudi – to drive. Biasanya gas, rem, persneling dan sisi mana jalan harus dilalui sudah di luar kepala.

Latihan mengemudi ini goalnya adalah merubah mindset jalan, dari sebelah kiri kesebelah kanan. Mindset harus benar-benar tertanam di alam bawah sadar. Harus muncul secara otomatis ketika di jalan raya. Tidak heran salah satu teman kami selalu ‘berdzikir’ kanan, kanan, kanan….. sebelum berangkat.

Orang Indonesia akan terlihat seperti belajar ketika baru pertama kali mengemudi di Prancis. Gugup, sering salah arah. Walaupun adaptasinya tidak seperti orang pertama kali belajar mengemudi. Artinya kami harus melalui proses itu jika ingin lancar dan aman selama mengemudi. Perlu diketahui selama di Prancis kami disediakan 2 unit mobil untuk transportasi.

Tidak tanggung-tanggung. Lokasi latihannya di jalan berkelok dan menanjak. Kami yang di jok belakang kadang tanpa sadar menginjakkan kaki, menjulur kedepan ketika berpapasan dengan kendaraan lain. Tegang.

Sampailah pada lokasi latihan terakhir: Plage D’Etratat (Pantai Etretat). Tempat yang cukup dingin meskipun masuk pada musim semi, sekitar 7° C. Tentu kami orang Indonesia, merasa dingin sekali karena terbiasa pada cuaca 29 – 32 ° C. Plage D’Etretat adalah pantai dengan cadasnya yang khas. Kalau di Malang hampir sama dengan Goa China yang berhadapan dengan Australia. Plage D’Etretat langsung berhadapan dengan Inggris. Walaupun memang tidak sedekat Prancis dan Inggris yang hanya dibatasi oleh selat.

Erick bilang, tempat ini menjadi favorit kebanyakan orang untuk menikmati sun set alias saat-saat indah mentari tenggelam. Semburat warnanya yang jingga berpadu dengan riak air laut, bisa dinikmati dari pantai atau dari atas bukit pantai Etretat. Lebih seru lagi pengunjung dimanja dengan teropong kecil yang memungkinkan melihat momen indah itu dari dekat.

Banyak rumah disekitar pantai ini. Tapi tidak terlihat penduduk ‘seliweran’ mungkin mereka sedang sibuk bercengkrama dengan keluarga. Atau bisa jadi masih belum pulang dari tempat kerja.

Sesekali terlihat elang terbang merendah ‘mencaplok’ mangsanya. Ternyata benar, suasana temaram tenggelamnya mentari di pantai ini sangat indah. Sinarnya sedikit demi sedikit tenggelam ditelan derau ombak yang berangkulan. Disebelah kanan dari tempat kami berdiri, terdapat tebing-tebing di pinggir pantai. Menghujam kedalam dinginnya air berwarna biru.

Sore ini tampaknya tidak begitu banyak pengunjung, hanya ada beberapa anak muda dan beberapa pasang keluarga. Semuanya menggunakan jaket tebal, ada juga yang dilengkapi dengan syal dilehernya. Hawa dingin itu bukan hanya dirasakan oleh kami orang Indonesia, penduduk sekitar Etretat pun merasakan hal yang sama.

Pantai yang kabarnya menjadi tempat untuk mencari inspirasi ini memang sangat pas untuk merenung. Suasana pantai yang sunyi, hanya sesekali suara burung bersautan, semilir angin menusuk tulang, pandangan mata yang luas kedepan.

Di dekat pantai ini, tepatnya sebelah kanan atas. Terdapat area luas nan hijau. Lapangan Golf. Yuyu Hagenbucher, wanita asal bandung yang sudah lama tinggal di Prancis. Merupakan salah satu penggemar golf di Pantai Etretat.

Di bibir pantai, beberapa tempat duduk khusus disediakan untuk pengunjung yang ingin bersantai. Dari tempat itu hempasan ombak laut yang sesekali menghantam tebing sangat jelas terlihat. Memandangnya seperti anak kecil yang main dorong-dorongan dengan orang dewasa. Tebing yang didorong tidak bergeming. Tapi karena ombak rajin menghantamnya, dinding tebing itu sedikit demi sedikit terkikis.

Jangankan hempasan ombak, tetes-tetes air saja mampu melubangi batu karang yang keras. Adalah Syihabuddin Abul Fadhl, seorang ulama hadits terkenal dari Ashkelon Palestina, memetik hikmah dari tetesan air itu. Di tengah keputusasaan dalam mencari ilmu, beliau pulang ke rumah. Merasa dirinya tidak cerdas dan bodoh. Setiap pelajaran guru sulit dimengerti. Di perjalanan, melihat air menetes di atas sebuah batu karang. Karena tetesan air itu karang pun berlubang.

Syihabudin pun terinspirasi melihat fenomena itu. Air yang lembut saja bisa melubangi batu yang keras, karena konsisten. Apalagi manusia, makhluk yang jauh lebih tinggi dan lebih mulya derajadnya. Mestinya tidak ada yang namanya otak tumpul. Proses mengerti sebuah pelajaran akan menemukan masanya sendiri untuk mengerti. Asalkan konsisten dan instiqamah dalam usaha sebagai seorang pembelajar.

Kesadaran itu telah mengantarkan Syihabudin menjadi ulama besar yang terkenal sampai manca negara. Kemudian beliau lebih dikenal dengan panggilan Ibnu Hajar, yang berarti anak batu.

Tuhan menciptakan jagad alam ini sebagai bukti keberadaan-Nya. Ada angin yang berhembus. Ada awan yang menjelma hujan. Ada putik bunga yang merekah setelah sebelumnya kuncup. Dan banyak lagi ciptaan-Nya di muka bumi. Dalam setiap ciptaan itu terkandung hikmah di dalamnya. Tinggal kita manusia, apakah kita memetik hikmah-hikmah itu atau dibiarkan berlalu begitu saja.

Dalam pikiran yang mengembara, tidak sadar jika alam sudah berkerudung senja. Temaran sinar mentari diusir oleh lampu-lampu rumah-rumah penduduk. Sehingga mata pun semakin remang melihat deburan ombak. Hanya suara yang masih jelas terdengar.

Ombak itu kelihatannya agak keras dan kuat menerjang. Terbukti tebing yang menjadi khas pantai ini semakin terkikis dan terkikis. Salah satu tebing yang khas dan tidak ditemukan ditempat lain adalah sebuah tebing yang bentuknya melengkung. Seperti celurit. Disebelahnya ada lorong sepanjang 0.5 km. kabarnya tempat itu pada Dunia II dijadikan tempat persembunyian para tentara.

Bentuk batunya pun beda dan menarik. Teman kami Dadang menyebutnya ‘Akik Panca Warna’. Karena banyak kerikil sebesar jempol tangan orang dewasa, mempunyai warna yang unik. Ada guratan, garis lembut melukis batu-batu itu. Ada juga seperti pusaran air. Mungkin bisa mempunyai nilai tersendiri ketika dijual di Indonesia. Dari bentuk dan warnanya yang unik sangat pas jika dijadikan bahan dasar akik.

Kemudian, Erick mengajak kami ke tempat yang lebih tinggi. Tempat dimana mata lebih bebas memandang. Seolah-olah kami berada di dak kapal dengan hempasan ombak di kanan-kiri. Melihat indahnya panorama sunset, ingin rasanya mengabadikan dalam bentuk gambar. Tapi apalah daya, tangan, wajah dan bagian tubuh yang tersentuh angin seolah membeku: biru. Kami kedinginan, sangat dingin.

Begitu dinginnya tempat ini, hembusan angin terasa hantaman paku kecil-kecil yang menusuk. Tak kuasa rasanya kaki melangkah. Inginnya diam, berlindung dibalik jaket dan syal. Tapi alangkah sayangnya kalau momen indah ini berlalu begitu saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun