Jangankan hempasan ombak, tetes-tetes air saja mampu melubangi batu karang yang keras. Adalah Syihabuddin Abul Fadhl, seorang ulama hadits terkenal dari Ashkelon Palestina, memetik hikmah dari tetesan air itu. Di tengah keputusasaan dalam mencari ilmu, beliau pulang ke rumah. Merasa dirinya tidak cerdas dan bodoh. Setiap pelajaran guru sulit dimengerti. Di perjalanan, melihat air menetes di atas sebuah batu karang. Karena tetesan air itu karang pun berlubang.
Syihabudin pun terinspirasi melihat fenomena itu. Air yang lembut saja bisa melubangi batu yang keras, karena konsisten. Apalagi manusia, makhluk yang jauh lebih tinggi dan lebih mulya derajadnya. Mestinya tidak ada yang namanya otak tumpul. Proses mengerti sebuah pelajaran akan menemukan masanya sendiri untuk mengerti. Asalkan konsisten dan instiqamah dalam usaha sebagai seorang pembelajar.
Kesadaran itu telah mengantarkan Syihabudin menjadi ulama besar yang terkenal sampai manca negara. Kemudian beliau lebih dikenal dengan panggilan Ibnu Hajar, yang berarti anak batu.
Tuhan menciptakan jagad alam ini sebagai bukti keberadaan-Nya. Ada angin yang berhembus. Ada awan yang menjelma hujan. Ada putik bunga yang merekah setelah sebelumnya kuncup. Dan banyak lagi ciptaan-Nya di muka bumi. Dalam setiap ciptaan itu terkandung hikmah di dalamnya. Tinggal kita manusia, apakah kita memetik hikmah-hikmah itu atau dibiarkan berlalu begitu saja.
Dalam pikiran yang mengembara, tidak sadar jika alam sudah berkerudung senja. Temaran sinar mentari diusir oleh lampu-lampu rumah-rumah penduduk. Sehingga mata pun semakin remang melihat deburan ombak. Hanya suara yang masih jelas terdengar.
Ombak itu kelihatannya agak keras dan kuat menerjang. Terbukti tebing yang menjadi khas pantai ini semakin terkikis dan terkikis. Salah satu tebing yang khas dan tidak ditemukan ditempat lain adalah sebuah tebing yang bentuknya melengkung. Seperti celurit. Disebelahnya ada lorong sepanjang 0.5 km. kabarnya tempat itu pada Dunia II dijadikan tempat persembunyian para tentara.
Bentuk batunya pun beda dan menarik. Teman kami Dadang menyebutnya ‘Akik Panca Warna’. Karena banyak kerikil sebesar jempol tangan orang dewasa, mempunyai warna yang unik. Ada guratan, garis lembut melukis batu-batu itu. Ada juga seperti pusaran air. Mungkin bisa mempunyai nilai tersendiri ketika dijual di Indonesia. Dari bentuk dan warnanya yang unik sangat pas jika dijadikan bahan dasar akik.
Kemudian, Erick mengajak kami ke tempat yang lebih tinggi. Tempat dimana mata lebih bebas memandang. Seolah-olah kami berada di dak kapal dengan hempasan ombak di kanan-kiri. Melihat indahnya panorama sunset, ingin rasanya mengabadikan dalam bentuk gambar. Tapi apalah daya, tangan, wajah dan bagian tubuh yang tersentuh angin seolah membeku: biru. Kami kedinginan, sangat dingin.
Begitu dinginnya tempat ini, hembusan angin terasa hantaman paku kecil-kecil yang menusuk. Tak kuasa rasanya kaki melangkah. Inginnya diam, berlindung dibalik jaket dan syal. Tapi alangkah sayangnya kalau momen indah ini berlalu begitu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H