RELATIVITAS WAKTU
Pertanyaan sinis itu seperti yang pernah diutarakan orang pada awal abad ke-20. Tepatnya tahun 1903. Saat Wright bersaudara bermimpi terbang ke angkasa seperti burung. Mereka tidak patah arang dengan cemoohan itu, sampai akhirnya berhasil menerbangkan pesawat terbang pertama dikendalikan oleh manusia.
Jam 20.00 kami sudah dijemput menuju bandara, penjemputan yang agak cepat ini karena take off dari Jakarta menuju Abu Dhabi jam 01.30 dan harus boarding 2 jam sebelumnya. Beda dengan penerbangan domestik yang hanya 30 menit sebelum take off. Karena pesawatnya relatif lebih kecil dan jumlah penumpang tidak sebanyak penerbangan internasional.
Jadi, paling lambat kami harus sampai ke bandara sekitar jam 23.30. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, kami berangkat lebih awal. Kami dijemput dari Kuningan langsung ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Seperti biasa, Jakarta tak pernah tidur. Sampai larut malam pun jalan raya masih dipenuhi dengan kendaraan. Tapi malam ini keberuntungan di pihak kami. Di titik tertentu yang diperkirakan macet ternyata lancar. Sehingga kami masih bisa menyempatkan diri untuk makan malam di warung kaki lima, pinggir jalan.
Menurut jadwal dari tiket yang kami terima, kami menggunakan Pesawat Etihad dari Jakarta tidak langsung ke Prancis, tapi transit dulu di Abu Dhabi. Ternyata tidak ada pesawat yang langsung dari Indonesia ke Eropa. Harus transit dulu ke Singapura atau ke Dubai, tergantung pesawat yang ditumpangi. Kawan kami bertanya mengapa masih harus transit dulu, kok tidak langsung ke Prancis? Mungkin masih diberlakukannya larangan terbang kesana dengan alasan di Indonesia sering terjadi kecelakaan di maskapai Indonesia.
Etihad Airways merupakan maskapai penerbangan nasional Uni Emirat Arab (UEA), Abu Dhabi yang dikenal sebagai salah satu “permata dari Teluk Persia”, mengalami kemajuan yang signifikan sejak ditemukannya minyak pada tahun 1958. Kini dianggap sebagai salah satu negara terkaya di dunia dalam sumber daya alam. Pemerintah UEA bersama investor swasta asing membentuk suatu kesatuan perusahaan transportasi udara yang bernama Etihad .
Persatuan yang berdiri pada bulan Juli 2003 dan kini Etihad dikenal sebagai salah satu maskapai paling berpengaruh dan memiliki penghargaan yang banyak setelah 10 tahun berdiri .
Di bandara Soekarno-Hatta, kami menuju arah maskapai penerbangan Etihad. Tidak langsung terbang, kami duduk santai dulu sebelum berangkat. Seperti yang diceritakan diatas kami berangkat lebih awal.
Mengapa lebih awal? Jawabannya sederhana: Biar tidak terburu-buru. Seperti kata orang tua: Buru-buru itu pekerjaannya setan. Karena buru-buru, setan lebih mudah mengganggu. Kadang hati was-was seperti ada yang ketinggalan. Dan biasanya orang buru-buru tidak bisa berfikir jernih.
Kami duduk santai sambil ngobrol. Sesekali canda tawa berderai, menambah asyiknya perjalanan ini. Mata kami menyapu sekeliling dari tempat kami duduk. Dari arah samping, ada anak kecil berumur sekitar 4 tahunan bersama Ibu dan Bapaknya. Entah alasan apa barang-barang mereka tidak diletakkan di bagasi, tetapi di pecah-pecah menjadi koper ukuran kecil. Jumlahnya banyak. Si anak tadi juga kebagian membawa 1 koper kecil. Walaupun kecil dan tidak berat, tetap saja kelihatan aneh jika dia menenteng koper itu sendiri. Lucu, seperti anak kecil yang disulap menjadi dewasa. Persis seperti video clipnya lagu yang dibawakan oleh Cleopatra Stratan : Ghita.
Biasanya, anak sekecil itu masih banyak tergantung pada orang tua. Kemana-mana harus diantar Ibunya, jalan masih agak gugup dan takut. Tapi dia, begitu tenang dan pede-nya dikerumunan banyak orang berjalan santai menenteng koper. Coba bandingkan dengan anak-anak kita di Indonesia seumuran itu adakah mempunyai keberanian yang sama?
Apakah anak-anak kita sudah terbiasa pergi ke bandara, apalagi bandara internasional? Seberapa penting orang familiar dengan suasana di bandara? Apakah bandara itu hanya untuk orang-orang berduit yang tidak mau naik transportasi darat?
Pertanyaan diatas seiring dengan perkembangan jaman tidak akan ada lagi. Naik pesawat suatu keharusan. Lebih - lebih bagi mereka yang mempunyai urusan ke luar negeri. Naik pesawat bukan prestise lagi tapi lebih pada kebutuhan dan efektifitas.
Apalagi nanti ketika MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) yang akan menghilangkan jarak antar negara ASEAN. Mobilitasnya tidak bisa menggunakan transportasi darat. Atau nanti ketika Indonesia benar-benar ikut TPP (Trans Pacific Partnership). Akan sangat terasa ‘keahlian’ naik pesawat sangat dibutuhkan.
Tidak heran jika Renald Kasali, Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Indonesia, memberikan tugas wajib untuk mahasiswanya: Visite ke negara-negara Asia dan Eropa sendirian. Semua berba sendiri, dari persiapan, pemesanan tiket pesat dan semua proses sampai kembali lagi ke Indonesia. Seperti yang diceritakan dalam buku Self Driving: Menjadi Driver atau Passanger.
Kami masih tenggelam dalam lamunan kami masing-masing. Tanpa terasa pesawat sudah datang. Semua passenger (penumpang) dipersilahkan naik. Suasana maskapai internasional terlihat beda tentunya. Jika biasanya pesawat yang kami tumpangi dari Surabaya – Jakarta atau Malang – Jakarta di dominasi oleh wajah-wajah Asia, kali ini tidak. Termasuk para pramugari pun kebanyakan dari Arab dan Eropa dan hanya satu dari Indonesia.
Setiap pengumuman, pemberitahuan atau apapun bentuk komunikasi dengan passenger menggunakan bahasa Arab dan Inggris hanya sekali saja menggunakan bahasa Indonesia, ketika pesawat mau take off. Jadi penasaran mana pramugari dari Indonesia?
Pemberitahuan agar semua passenger memakai dan mengencangkan ikat pinggang. Pesawat akan take off. Kelihatannya tidak selincah pesawat domestic karena ukurannya lebih besar.
Proses naiknya pesawat ke udara berjalan lancar. Tidak sampai menimbulkan mabuk udara. Semua penumpang santai di tempat duduknya masing-masing. Saat pesawat sudah anteng, seorang pramugari berparas Indonesia mendatangi kami. Dengan lembut dia bertanya kami akan minum apa?
Sontak saja kami menyimpulkan, dialah pramugari dari Indonesia. Setelah bincang-bincang sebentar baru kami tahu ternyata rumahnya Jl. Sumpil Blimbing Kota Malang. Ternyata dunia hanya selebar daun kelor. Bertemu dengan tetangga diatas pesawat menuju ke Abu Dhabi. Setelah tahu, kami pun semakin akrab.
Berada diketinggian 38000 feet atau 11582 m tentunya terasa sangat dingin sekali. Untungnya kami berada dalam pesawat dengan suhu yang telah disesuaikan. Sudah mulai terlihat perbedaan waktu dengan Indonesia. Sampailah kami di bandara termegah di Timur Tengah ini.
Ada selisih 3 jam antara Abu Dhabi dan Indonesia. Ketika kami mendarat di International Air Port di Abu Dhabi jam 07.00 waktu setempat saya lihat jam tangan yang kebetulan masih disetting jam Indonesia sudah menunjukkan jam 10.00 pagi menjelang siang.
Dhubai merupakan ikon UAE, gedung pencakar langitnya terlihat gagah menusuk angkasa. Kota juga terkenal dengan pusat pertemuan bisnis Asia, Timur Tengah dan Afrika tengah. Tidak heran jika kepadatan dan kesibukan terlihat. Disela-sela menunggu pesawat ke Prancis kami keliling bandara.
Disalah satu ruang yang dikelililngi kaca, kami bisa melihat lalu lalang pesawat datang dan pergi. Begitu indah terlihat. Badannya seperti burung raksasa. Bagaimana mungkin badan pesawat bisa terbang seperti kapas melayang? Seolah tidak mungkin, tapi itu nyata.
Pertanyaan sinis itu seperti yang pernah diutarakan orang pada awal abad ke-20. Tepatnya tahun 1903. Saat Wright bersaudara bermimpi terbang ke angkasa seperti burung. Mereka tidak patah arang dengan cemoohan itu, sampai akhirnya berhasil menerbangkan pesawat terbang pertama dikendalikan oleh manusia.
Jauh pada tahun sebelumnya, penerbangan balon udara panas didemonstrasikan oleh seorang berkebangsaaan Perancis bernama Joseph Montgolfier dan Etiene Montgolfier tahun 1782. Karena jasa mereka itulah manusia hari ini bisa menikmati perjalanan jauh menempuh jarak ribuan mil hanya dalam hitungan jam.
Tanpa terasa sudah waktunya kami berangkat ke Paris. Pesawat sudah standby. Penumpang sudah dipanggil untuk naik. 8 jam duduk dengan posisi terbatas ternyata sangat tidak menyenangkan. Apalagi dengan udara yang lebih dingin dari hari-hari biasa, seluruh persendian badan serasa kaku dan pegal-pegal. Sesekali pesawat terasa seperti melalui jalan berlubang ketika bersentuhan dengan awan.
Selama perjalanan ini, hampir semua penumpang diam. Tenggelam dengan aktifitas tanpa suara. Apalagi di depan kami ada layar penunjuk arah. Informasi posisi kami saat ini. Lengkap dengan informasi waktu yang akan ditempuh untuk mendarat.
Jika bosan, kami tinggal pilih beberapa film sesuai selera. Memutarnya menggunakan headset. Mengurangi kebosanan selama perjalanan. Jika tidak salah, jenis pesawat yang kami tumpangi Boeing 777. Sebuah pesawat yang cukup besar dan bermesin ganda buatan Boeing Commercial Airplanes. Dengan kecepatan maksimum 0.85 Mach sekitar 1041.287 km/ jam.
Kami membayangkan jika pesawat yang kami tumpangi sejenis Concord, kecepatannya mencapai 2.04 mach sekitar 2499.090km/ jam. Kecepatannya melebihi kecepatan matahari, 828.000 km/ Jam. Disinilah kita betul-betul merasakan relativitasnya waktu. Mahluk yang membuat kita semakin lama semakin tua. Makhluk yang dengannya Allah bersumpah beberapa kali dalam Al-Quran.
Jika kita berangkat dari Indonesia menggunakan pesawat Concord tanggal 2 jam 07.00 maka kita akan tiba di daratan Eropa tanggal 1: Sehari sebelumnya. Apakah dengan begitu umur kita bertambah 1 hari? Tentu saja jawaabannya tidak. Ukuran waktu yang kita gunakan sekarang hasil dari buah pikir manusia untuk standar peristiwa. Tidak ada kaitannya dengan sisa waktu umur manusia. Kita tidak tahu standar waktu mana yang digunakan Tuhan untuk mengukurnya?
Berulang kali Allah menyebutkan kata waktu dalam firman-Nya. Dan tidak pernah secara konkrit menjelaskan apa standart waktu yang digunakan. Tapi di sisi lain Allah juga memberikan fenomena alam: perubahan siang dan malam. Darinya, manusia bisa merumuskan bahwa dalam satu kali pergantian malam dan siang itu jumlahnya 24 jam. Diambil dari kecepatan bumi mengelilingi matahari.
Inilah kemudian mengapa Allah banyak memberikan pertanyaan akan fungsi akal dalam banyak firman-Nya. Misalnya, Apakah kamu berfikir? Apakah kamu merenung? Seperti ayat berikut: “Apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana dia diciptakan.” (Qs. Al-Ghasiyah ayat: 17).
Tapi yang jelas ide Albert Einstien teori relativitas bukan terinspirasi dari pesawat Concord. Karena Pesawat cepat ini baru terbang pertama kali tahun 1976 dari London ke Washington. Dimana Einstien sudah meninggal 21 tahun sebelumnya. Wallahua’lam.
Mengakhiri kekakuan di sekujur tubuh, mendaratlah pesawat kami dengan aman di Bandara Paris Charles de Gaulle, sebuah bandara yang begitu luas dan megah. Dipintu keluar kembali diperiksa oleh bagian imigrasi Prancis. Ditanya beberapa hal tentang maksud dan tujuannya berkunjung kesana. Apresiasi berbeda tampak ketika tahu kami adalah rombongan guru. Terlihat dari caranya bertanya dan bersikap. Seolah-olah lebih respect.
Bandar Udara Paris-Charles de Gaulle (IATA: CDG, ICAO: LFPG) (bahasa Perancis: Aéroport Paris-Charles de Gaulle), juga dikenal sebagai Bandar Udara Roissy (atau hanya Roissy dalam bahasa Perancis), di Paris, adalah salah satu pusat penerbangan utama dunia, juga bandar udara internasional utama Perancis. Diberi nama setelah Charles de Gaulle (1890-1970), pemimpin Pasukan Perancis Merdeka dan pendiri Republik Kelima Perancis.
Terletak di beberapa bagian komune, termasuk Roissy, 25 km di timurlaut Paris .Tahun 2007, Bandar Udara Charles de Gaulle menempati peringkat pertama dalam pergerakan pesawat di Eropa dengan 552.721 pendaratan dan lepas landas.
Yang menarik adalah ketertiban selama proses pemeriksaan. Begitu tertib dan teratur, tapi tetap mengutamakan wanita hamil dan anak kecil. Ada garis batas sekitar 1 meter dari pemeriksaan. Tidak ada yang boleh melintasi garis itu kecuali orang didepannya sudah selesai.
Suasana lengang dan sepi. Tidak terlihat pengemis berkeliaran. Tidak ada pedagang asongan, orang jualan dipinggir jalan. Rapi dan teratur.
Mobil berjejer rapi ditempat parkir, tapi tidak tukang parkirnya. Mobil yang masuk ambil kartu ketika keluar membayar menggunakan kartu, pembayaran harus valid dan pake kartu (card/ ATM). Jika pembayarannya tidak sesuai/ valid maka palang pintu tidak terbuka. Artinya mobil tidak bisa keluar. Teknologi parkir elektrik ini sudah mulai digunakan di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H