Mohon tunggu...
Tamam Malaka
Tamam Malaka Mohon Tunggu... social worker -

pejalan yang menyukai sunyi tetapi pun menyenangi keramaian alam pikir umat manusia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

(Tak) Selalu Ada Jalan

24 November 2015   07:09 Diperbarui: 24 November 2015   09:55 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="pribadi"][/caption]Dengan segenap akal-pikirnya ia terus bersikeras bertahan. Menerobos setiap celah yang terlihat. Ia percaya akan selalu ada jalan baginya keluar dari kepungan.

Tetapi tiap-tiap celah ternyata hanya mampu membawanya pada kepungan baru yang sama tertutupnya. Mengerangkeng dan mendepak. Ia terisolasi.

"Aku melihat sebuah jalan di depan, tetapi mengapa saat didatangi jalan itu jadi buntu?" katanya. Geregetan.

"Karena yang kau lihat hanya soal jalan. Di mana-mana ya pasti selalu ada jalan..."

Ia mendongak. Tak habis pikir dengan sejumlah kata-katanya. "Kalau tak melihat jalan, lhaa terus aku harus melihat apa?" bantahnya kemudian.

Lelaki itu menepuk-nepuk pundaknya. "Rambu-rambunya. Kau hanya fokus pada jalannya, tapi kau abaikan rambu-rambunya," ucap lelaki itu.

"Mengabaikan rambu-rambunya katamu??"

"Iya. Itu benar," sahut lelaki itu sembari menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan ucapan. "Maka, sekiranya kau berada di jalan raya kota besar, yang namanya jalan itu pasti cukup banyak kau temukan. Nah, jika saja kau hanya fokus pada soal jalan, kau pasti langganan kena tilang polisi. Bukankah begitu?"

Ia mengangguk. Khidmat mendengarkan. Lelaki itu mengeluarkan sebatang rokok. Menyalakan dan menghisapnya tenang.

"Nah, andaikata hidup itu seumpama jalan raya di kota besar itu, itu berarti kau sedang kena tilang berkali-kali. Dan buang-buang uang sedemikian banyak hanya demi membayar denda..."

"Jadi, jadi... Selama ini.... Aku sebenarnya sedang kena tilang?"

"Yang tahu dan bisa mengukur sepenuhnya semua itu kamu. Bukan aku. Aku ini kan cuma ngomong asal saja," kata lelaki itu, terkekeh. Tangannya lantas merangkul hangat bahunya yang tegang dan mulai terasa berat itu.

"Lalu, aku mesti bagaimana dan seperti apa?" tanyanya.

"Tirulah para penikmat kopi. Buanglah sejenak akal-pikirmu, dan nikmatilah suasananya. Sebab sebenarnya kau ini kebanyakan mikir. Seolah-olah pikiranmu itu adalah Tuhanmu yang sangat agung dan digdaya..."

Ia tercenung. Lama. Sebelum kemudian hidungnya mencium aroma yang begitu seksama harumnya.

"Sudahhh. Ayo ngopi sek!" kata lelaki itu. Begitulah. Untuk beberapa waktu keduanya begitu khidmat menikmati suasana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun