Mohon tunggu...
Tamam Malaka
Tamam Malaka Mohon Tunggu... social worker -

pejalan yang menyukai sunyi tetapi pun menyenangi keramaian alam pikir umat manusia

Selanjutnya

Tutup

Money

Mencicip Sensasi Kreativitas ala Produk Peserta PPI

10 Agustus 2015   11:37 Diperbarui: 10 Agustus 2015   11:37 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

 

Indonesia kaya bahan baku dengan segudang kreasi warganya. Harusnya potensi macam ini sudah mampu membuat kita sejahtera. Tinggal sejauhmana peran negara muncul. Event seperti pameran dan edukasi tingkat lanjut perlu lebih diperkuat. Di Pameran Produksi Indonesia (PPI) saya dirundung penasaran. Sehebat apa sih produk-produk yang ditawarkan?

Dan sebagaimana yang bayangkan. Banyak sekali produk inovatif nan kreatif terpajang. Semua berhasil membuat bangga. Kuatnya peran dan Kehadiran negara pastinya sudah tak ada lagi yang perlu dicemaskan menghadapi era pasar bebas di bulan Desember nanti. Bahkan, MEA bisa menjadi berkah bagi rakyat Indonesia.

Selama tiga hari mengamati semua produk, boleh dibilang, masing-masing peserta PPI memiliki keunggulan tersendiri. Meski begitu, tiga di antaranya yang paling menarik saya. Tiga ukuran yang membuat saya kepincut, yaitu kekuatan kreativitas, ketajaman inovasi dan improvisasinya mengolah produk biasa menjadi luar biasa.

Produk yang berhasil memancing perhatian saya pertama kali adalah Suoklat. Sayangnya, pengelola stand menyarankan saya agar langsung saja berbincang dengan pemiliknya di Jl Gubeng.

Akhirnya saya putuskan menelisik stand lain, yaitu Exotica. Tetapi suatu waktu saya masih ingin berbincang dengan pemiliknya.

"Ndak baca koran mas?" kata ibu pengelola sebelum berlalu. Saya heran sedikit. Apa hubungannya dengan koran?
"Sudah masuk koran. Coba sampeyan baca saja," jawabnya.
"Edisi kapan bu?"
"Minggu lalu..." katanya.

Kopi Janggal nan Mengganjal

Di hari kedua pameran, saya pun bergegas ke stand Exotica. Sebenarnya, sudah sedari awal tiba di arena pameran stand satu ini telah menggema dan cukup mengganggu pikiran. Di ruang Media Center, beberapa Blogger membicarakannya.

Kopi Durian? Begitu para blogger bergosip. Telinga saya sontak merasa janggal mendengarnya. Karena itu di hari kedua pameran saya penasaran mencoba seberapa janggal sensasi yang nantinya bakal saya cecap.

Ya maklum. Sebagai penikmat kopi tentu rasa gatal ingin mencoba pasti singgah. Saya masih tak mampu membayangkan srperti apa rasa kopi ala durian itu.

Di stand  Exotica, begitu melihat saya begitu khusyuk mengamat-amati produk yang tergelar di stand, seorang wanita menghampiri saya. Mempersilahkan untuk mencecap. Ternyata dia Mbak Angelia. Pengelola stand.

"Tidak apa-apa mas. Silakan dicoba," katanya. Melihat saya masih ragu, dengan sigap mengambilkan gelas plastik. Ternyata tersedia yang masih dalam kondisi panas.
Dan memang, begitu memasuki tenggorokan rasanya janggal. Saya coba lagi untuk lebih merasakan sensasinya. Wow, emang khas duriannya pas!

"Ini bagaimana ceritanya kok bisa dapat ide janggal begini mbak?" tanya saya sambil bercanda.

"Selama ini kan orang udah biasa ngopi pake biji kopi matang. Nah, kita coba seperti apa sih sensasinya jika bikin kopi dengan jenis lain? Nyatanya banyak juga yang penasaran," kisahnya.

Saya manggut-manggut. Kagum. Apalagi inovasinya tak cukup satu, tapi masih ada sensasi alternatif lainnya, seperti kopi hijau. Kopi ini diolah dari biji kopi yang masih muda. Sama dengan kopi durian, kopi hijau sama sensasinya. Janggal. Namun justru di situlah muncul selera lain cara menikmati kopi. Selera alternatif. Saya suka ini. Rasa sensasinya sebanding di tenggorokan.

"Kita kan kaya bahan baku. Kekayaan alam kita luar biasa. Banyak hal yang bisa eksplorasi di sana agar lahir produk-produk kreatif," tambahnya.

Selain itu, lebih dari sekedar menyajikan kopi yang inovatif, saya kira poin penting yang perlu diambil, yaitu keberanian penggagasnya untuk tak cuma berinovasi, tetapi sekaligus cara mereka memperjuangkan buah emas gagasan tersebut ke tengah masyarakat.

"Agar karya kita bisa dikenal, kita giat ikuti berbagai event pameran, baik skala nasional maupun internasional," begitu penututan mbak Angelia.

Bicara soal inovasi dan kreativitas, saya pikir orang-orang Indonesia adalah gudangnya. Hanya saja, produk inovatif tersebut tak sedikit yang lantas tenggelam. Mungkin hal tersebut hanya soal masih minimnya wawasan tentang cara memasarkan dan memperkenalkan produk.

Lha terbukti. Tiga produk yang diandalkan stand Exotica berhasil berselancar di banyak negara. Bahkan, berkat inovasi dan ketajaman kreasi tersebut, kopi hijau ditampar penghargaan di Kanada.

Karena itu, saya sepakat. Pemerintah sudah selayaknya tampil di garda terdepan menjadi fasilitator yang handal. Event pameran perlu digalakkan. Termasuk memberi edukasi agar pelaku bisnis kecil bisa terangkat kelasnya. Naik kelas ekspor. Mampu bersaing kelas antarnegara. Yang lebih banyak lagi tentu.

Selera Tradisi

Produk lain yang menyita lirikan mata saya adalah produk batik khas Kota Pamekasan, Madura, yaitu Batik Podhe. Jujur saya bangga begitu melihat stand batik ini juga tergelar di pameran. Maklum, saya lahir di Kota Pamekasan. Jelas, saya penasaran apa sisi menarik batik tersebut bisa ikut serta pameran.

"Sampeyan kok berani-beraninya ikut pameran ini mas? Memangnya apa yang bisa sampeyan andalkan?" tanya saya sama Abdul Latief, penjaga sekaligus pemilik usaha tersebut, dengan gaya bercanda khas Madura. Lelaki itu tersenyum simpul. Kami pun langsung akrab.

"Kami punya ciri khas yang kuat dibanding pebisnis batik lainnya, yaitu tradisi lokal dan teknik yang mempertahankan warisan leluhur," katanya. Teknik celup adalah di antara khazanah tradisi yang ingin terus ia jaga.

Tetapi terus-terang jawabannya belum memuaskan saya. Sebab kalau hanya bermodal kekuatan tradisi lokal sudah banyak yang melakukannya. Tak sedikit yang gagal berkembang.

"Jangan keliru mas. Batik tradisi itu justru sangat digemari pelanggan luar negeri. Buktinya hanya brrdasar dari mulut ke mulut, batik saya bisa sampai ke negeri Jerman," tuturnya khas. Wow, saya suprise.

Menurut mas Latief, nilai tinggi yang diburu pelanggan luar negeri adalah tekniknya yang menggunakan model tradisional, yaitu teknik celup. Teknik tersebut yang kemudian tak mengabaikan aspek mutu pengerjaan mampu  membuat pelanggan luar negeri jadi ngiler. Sungguh berasa berkelas bagi mereka.

"Karena itu, ciri khas inilah yang akan terus kita kembangkan dan lestarikan. Kami juga mulai merambah bisnis online," tambahnya.
Mendengar penuturannya, isi tempurung kepala saya seperti dibanjiri bunga-bunga cahaya. Bukan apa-apa sih.

Tetapi lelaki ini benar-benar membuat saya sadar akan istimewanya kebudayaan kita. Terlebih, khas dari tempat saya dilahirkan. Bangga. Kita memiliki banyak hal yang tak dimiliki bangsa lain, tetapi sangat kurang peduli melestarikan dan mengembangkannya.

Gamelan misalnya. Justru begitu diperhatikan oleh negara lain justru saat kita menganggapnya sesuatu yang kuno. Ketinggalan zaman. Sebagai generasi muda kita abai menggali, melestarikan dan mengembangkannya. Ini belum soal lagu-lagu kebudayaan, alat musik lainnya, busana adat dan masih banyak lagi.

Sensasi Kreativitas

Soal kreativitas, sepertinya kurang afdhal jika saya tak menuju stand. Stand ini benar-benar full kreasi. Agak lama juga saya di stand ini. Maklum, ketajaman kreasinya memang patut diacungi celurit tinggi-tinggi. Membuat saya lupa waktu berbincang dengan Nia Novitasari. Pengelola stand.

Ya bayangin saja. Mereka mampu mengemad benda-benda terbuang menjelma produk yang tak hanya ramah lingkungan, tetapi juga secara hasil kreasinya juga lumayan dan memiliki nilai jual tinggi.

Ya bagaimana tidak, dari sak semen bekas, mereka melahirkan aneka ragam produk, seperti tas, dompet, dan aneka kerajinan tangan lainnya. Hal yang begini ya tentu butuh tempaan pemikiran yang benar-benar tajam.

"Sampeyan tahu terbuat dari apa tas yang sampeyan pegang?" tanyanya.
"Sak semen kan?" Jawab saya. Ia terkekeh.
"Bukan mas. Itu dibuat dari bungkus kopi sachet..."

Saya terbelalak. Saya pun mengamatinya lebih seksama beberapa kali. Tapi tetap tak kelihatan juga sih kalau itu diolah dari bekas bungkus kopi sachet. Hebat. Saya pun tertarik menggali proses kreatifnya.

"Yang punya ide itu mbak Vania Santoso.  Dan memang karena kepeduliannya pada lingkungan itulah yang membuat mbak Vania Selalu cari cara memanfaatkan barang-barang bekas," katanya.

"Lantas sebesar apa pangsa pasarnya mbak?"

"Sementara kita fokus perkuat branding dulu. Rajin kegiatan pameran. Aktif resealer. Dan menggunakan jejaring sosial," tandasnya.

Mbak Nia menambahkan produk tersebut tak semata soal bisnis. Tapi bagaimana memberi inspirasi lebih banyak orang agar kreatif memanfaatkan benda bekas dan lebih peduli lingkungan.

Wow. Bagian ini menjadi bagian paling menarik bagi saya. Kepedulian sosial dan lingkungan. Punya kepedulian sosial-lingkungan, tapi juga punya ketajaman berkreasi. Ini sesuatu yang langka!

Saya jadi ingat tempat saya mengabdi, dimana puluhan anak-anak yatim belajar menjadi pengusaha tiap minggunya. Belajar menempa apa saja di sekitarnya menjadi emas berharga. Belajar mengubah watak yang sudah mendarah daging.

Dari watak yang terbiasa tangan di bawah, menuju watak tangan di atas. Dari yang semula selalu dibantu orang lain, berubah senantiasa membantu sesama terangkat kualitas hidupnya.

"Misalnya saya punya harapan, kreativitas macam begini dibagi dengan anak-anak yatim bisa nggak mbak?" tanya saya.
 "Ya sampeyan bisa langsung kontak beliaunya mas..." katanya.

 

Ayo Pak Presiden!

Sebagai penutup, semoga event macam ini tidak bersifat sesaat. Tetapi, berkesinambungan. Jika menilik berbagai kreasi dan inovasi berikut pengaruhnya bagi pangsa pasar luar negeri dari peserta PPI, saya kira ucapan Pak Presiden beberapa bulan lalu tak lagi sekedar ungkapan. Tapi kenyataan riil.

"Jangan takut (dengan MEA) karena semua negara juga takut dengan berlakunya ASEAN Economic Community (MEA) ini. Kita harus optimistis karena kita punya produk yang macam-macam," demikian ungkapan Pak Presiden sewaktu di Kuala Lumpur Convention Centre (KLCC), Malaysia, Minggu (26/4/2015).

 

 

Catatan Lain

Hadang Produk Impor, Kemenprin Siap Prioritaskan Produk Lokal

Kompasianer Galak di PPI (Jadi Mikir Ulang Ngompasiana)

Jenggot Ahmad Dhani

Bisnis Warung Kopi, Modis, Elitis nan Merakyat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun