Bebas dan merdeka. Itulah di antara sensasi dan berkah panjangnya liburan pasca bulan puasa. Merdeka dari kerjaan dan bahagia ketimpuk Thr-an. Plus dapat bonus lupa mandi dan tak perlu ribet-ribet berbusana dinas, rapi nan necis.
Begitulah. Kadang begitu plong bisa lepas dari segala hal yang berbau rutinitas. Termasuk rutinitas bangun pagi dan harus mandi serta gosok gigi. Pergi kemana juga tak perlu pake minyak rambut. Tokh rambut masih tipis juga.
Suasana semacam ini benar-benar mengingatkan masa-masa kuliah. Hanya saja tentu ada titik perbedaannya. Jika masa kuliah tak ada seseorang di sebelah, kini di sebelah selalu ada seseorang.
"Kok rebus mie lagi mas? Wong aku mau masak. Lagian, sarapan mie terus itu kan berbahaya!" begitulah. Selalu ada sesuara yang menjegal saya meneruskan ritual bebas dan merdeka. Berisik, tapi kadang ada asyiknya sih. Tak sepi jualah suasana.
"Lho ini kan liburan? Saatnya bebas, merdeka dan berdaulat," sahut saya. Asal. Ia cemberut. Manyun, tepatnya.
"Huh, berarti tak perlu masak? Itu bagus. Bisa enjoy seharian," katanya. Tapi saya tahu ia bohong. Ia hobi masak. Dan selalu bertepuk tangan jika saya menghabiskan masakannya tanpa bersuara. Tambah lagi ada keringat yang bercucuran basahi baju. Makanya, tidak masak baginya semacam siksaan panjang.
Apalagi jika ketemu menu-menu baru. Maka selalu berisiklah ruang dapur. Ia khusyuk sekali melakukan ribuan eksperimentasi. Saya pernah menganjurkannya berbisnis saja, tapi ia tak mau. Soal hobi, bukan soal profesi. Begitu dia beralasan. Ia jauh lebih suka menu masakan dinikmati ketimbang dibeli.
Untuk pulang kampung saja, ia sudah siap bahan paling unik. Tentu ia sangat gembira jika di rumah, saudara-saudara perempuan saya sampai bisa nyelekop, "Wuih menu apa tuh?? Masak bareng yuk ah.."
Begitulah. Mungkin, memasak adalah caranya menemukan titik-titik kebahagian. Ya semacam saya hari itu. Bisa menikmati mie rebus buatan sendiri. Nikmatnya menggelegak hingga moment-moment jaman sakmono. Zamane tirakatan semasa kuliah mendekati terminal tanggalan.
"Eh mas. Apa sampean itu belum kangen mandi? Masak, mandi saja dua hari sekali sih? Apek mas baunya..."
"Aku hanya kangen kamu lho dik!" sahut saya. Lantas terkekeh. Wajahnya langsung semu merah. Mungkin kaget. Mungkin juga bercampur senang. Tiba-tiba ia merogoh balpoint di atas meja. Klotak. Kena jidat saya. Bujubuneng.