Menulis butuh energi besar. Waktu yang memadai. Pikiran yang fit. Dan badan yang sehat. Apalagi tak mudah dapat gagasan bagus. Susah. Maka saya mikir, sebenarnya ngapain susah-susah nulis di sini? Buang waktu. Lama-lama saya mulai menyadari hal ini.
Untuk memaksa gagasan brilian muncul saja, saya membutuhkan minimal tiga mangkok kopi. Enam minggu tidak mikir apapun, dan fokus menggali inspirasi. Terkadang saya dikira sedang sibuk mikir utang karena dikira sibuk melamun sepanjang hari.
Begitulah. Saya mulai mikir ulang. Termasuk ketika hari itu mendatangi Pameran Produk Indonesia (PPI). Begitu pak menteri tiba, saya mulai siaga kamera dan catatan. Tetapi perhatian saya terarah pada sekumpulan kuli tinta yang sibuk mencatat dan menyorongkan kamera.
Asyik juga melihat gerak gesit mereka itu. Para kuli tinta kemudian berdesakan mengikuti pak menteri dan pakde Karwo yang menghampiri tiap stand yang berada di sisi panggung.
Hingga kemudian dia berhenti karena telpon seseorang. Lamat-lamat saya mendengar nama yang akrab ditelinga ia sebut-sebut. Mbak Avy? Saya bergegas menghampirinya.
"Kompasianer mbak?" Kata saya. Ia memandang keheranan. Tetapi ia lantas tersenyum ramah. Kami pun terlibat obrolan. Menjelaskan segala hal terkait pameran. Rupanya dialah mbak Kartina. Admin Fanspage PPI. Wow...
"Ikut serta mas?" tanyanya. "Lumayan buat hiburan," tambahnya.
"Menarik juga mbak. Sepertinya jauh lebih menarik jika ikut serta," sahut saya. Kembali ia menjelaskan prosedur penting yang harus dilakukan.
"Punya Instagram mas?" tanyanya. Saya menggeleng. Sama dengan twitter, saya belum menemukan titik manfaat jika saya membuatnya. Sebenarnya saya punya, tetapi bertahun mempelajarinya, masih tak paham-paham jua.
"Belum tahu saya cara membuatnya," jawab saya rikuh. Merasa bloon. Gini hari gaptek.
"Begini lho caranya..." katanya sembari menggeser tablet yang dipegang. Saya menyimak. Sebenarnya sudah saya buat sih. Cuma gagal paham terus.
"Sini hapenya. Saya buatin," katanya lagi. Busyet. Sabar dan telaten sekali ngajarinnya. Tiba-tiba saya merasa sedang duduk di dalam kelas, haha. Begitulah. Saya berhasil punya instagram. Dasar gaptek, sampai sekarang masih bingung 100% menggunakannya.
Setelah beres ia pamit menemui mbak Avy.
Saya mengekor di belakangnya. Sejak awal sosok itu memang sedang saya cari-cari. Tetapi tak jua ketemu. Ternyata posisi Mbak Avy berada di sudut stand pojok. Media Center namanya. Pantas saja tak ketemu-ketemu. Beberapa kompasianer sudah stand by di situ. Mbak Avy meminta saya mengisi daftar. Ruang Media Center lambat laun sesak. Blogger mulai bermunculan.
Saya pun kembali terlibat obrolan panjang. Berbagi pengalaman sesama blogger. Beragam juga hobi mereka.
"Saya sih senang menulis topik wisata," kata seorang Kompasianer, Mas Teguh. Ia datang jauh-jauh dari Pandaan. Wajar juga. Namanya juga hobinya jalan-jalan. Selaras dengan tiap topik tulisannya. Wisata.Â
"Saya terjebak. Ini kok Blogger Kompasiana semua sih??" kata Candra sembari terkekeh. Seorang Blogger dari Detik.com. Sementara itu, Mbak Avy tetap sibuk dengan urusannya. Mendaftar kompasianer yang datang.
Serunya emang di sini. Terutama karena ada moment lomba Kebab Raafi. Keceriaan memancar ke segala arah dari Media Center.
Ya. Galak sekali mereka kalo sudah bikin acara-acara. Tanpa kegalakan mereka, Kompasiana bakal bak kuburan tengah malam. Banyak penghuninya. Banyak tulisannya. Tapi tak saling berinteraksi. Tak saling tukar ucap dan pengalaman. Tak saling berbagi wawasan dan salaman.
Mengutip kaidah Bahasa Arab sono, kegalakan mereka itu senapas dengan Kaidah, Man Jadda wa Jada. Kesungguhan mereka menambah ruh Kompasiana semakin menyala dan bercahaya.
Jadi mikir ulangnya juga di situ. Kalo nggak Ngompasiana saat ini, kapan lagi? Kalo bukan kamu, lalu siapa lagi? 👀
o
Catatan Lain
Hadang Produk Impor, Kemenprin Siap Prioritas Lokal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H