[caption caption="pribadi"][/caption]
Hari-hari ini masyarakat tanah air sedang memfokuskan konsentrasinya ke dua daerah, yaitu kota santri, Jombang. Satunya lagi adalah Makasar. Maklum sedang ada hajatan agung dua ormas terbesar, NU dan Muhammadiyah. Banjir manusia pun tumpah di dua lokasi tersebut.
Tetapi saya tak sedang tertarik mencatat isu-isu yang berlangsung di muktamar. Sudah banyak yang membahas. Saya tertarik mencatat sisi lain, yaitu sisi geliat bisnisnya. Kebetulan kemaren saya sempat jalan-jalan ke Tebuireng, salah satu lokasi muktamar NU dari empat lokasi lainnya.
Kendaraan sudah tampak melambat begitu memasuki jalan utama menuju pesantren Tebuireng. Di kiri-kanan pinggir jalan raya beberapa mobil terparkir. Peluang meraup uang melalui jasa pengamanan parkir. Para muktamirin tentu sangat terbantu dengan adanya jasa parkir ini. Mereka tak perlu bercemas ria soal penempatan dan berikut keamanannya.
Setelah shalat Magrib dan ritualitas, saya melanjutkan ziarah ke makam para pewaris Nabi, di mana makam pendiri NU bersemayam.
Ternyata suasananya tak begitu ramai, namun selang beberapa menit kemudian sontak banjir peziarah. Lokasi makam pun sesak. Saya jadi termangu-mangu sendiri.
Para Pengais Rezeki
Tumpahnya muktamirin (peserta muktamar) yang berasal dari berbagai daerah di tanah air menyita perhatian saya. Muncul rasa penasaran mengamati sejauhmana jumlah besar tersebut disambut para pengais rezeki.
Dan memang banyak lapak berdiri mengelilingi pesantren. Mulai dari busana, kuliner, alat dapur, kaos, hingga penjual batu akik.
Saya mulai makin penasaran menanyai mereka.
"Ya lumayan mas. Hasilnya bisa dua kali lipat dari hari-hari biasa," tutur Satimin. Pedagang aneka aksesoris bertemakan ke-NU-an. Luar biasa. Ia jauh-jauh datang dari Bogor.
[caption caption="pribadi"]
Saya beralih pada pedagang lain. Lapak buku. Cukup ramai juga. Beberapa pengunjung tampak sibuk dengan keasyikan masing-masing. Ada yang khusyuk baca bolak-balik lembaran buku. Ada yang khidmat tawar-menawar harga. Bahkan ada juga asyik bertanya segala macam topik dengan penjaga stand. Memang jumlah penjaganya tak cuma satu, tapi empat orang.
Rata-rata pengunjung mencari tema-tema tentang sejarah walisongo, biografi tokoh NU berikut sejarahnya. Ada juga yang memburu tema Islam Nusantara yang sedang booming. Atau buku-buku tool ibadah amaliah nahdiyin.
"Yang paling laris ya tema itu," kata Kang Syam. Pemilik stand yang unik tersebut. Saya bilang unik karena sebagau Pemilik stand ia tak sekedar berjualan, tapi juga kerap terlibat obrolan dengan pembeli. Dengan kesabaran tinggi, pria berambut grondong tersebut bisa dibilang cukup betah meladeni tiap obrolan hingga ajakan diskusi.
Tak jarang sebelum membeli, calon pembeli bertanya panjang lebar tentang isi buku yang ingin dibeli. Biasanya manyun. Apalagi kalau tidak jadi beli.
"Bagaimana pun pembeli itu bukan hanya raja, tapi juga sahabat. Makanya jika ada yang nanya-nanya tetap saya ladenin," tuturnya.
[caption caption="pribadi"]
Saya juga sangat terkesan dengan toko yang berada di dalam kompleks makam. Saat itu, saya sedang diharu biru oleh berbagai model kopyah yang aneka ragam. Kesan yang muncul begitu masuk dan mulai otak-atik, saya merasakan kedamaian dan merdeka.
 Apa sebab? Penjaga toko yang sepertinya semuanya santri itu terlihat kalem. Tak menghampiri untuk menanyakan barang apa yang mau saya beli. Saya paling malas suasana macam itu. Saya puas dengan pelayanan mereka.
Wali Kesepuluh
Semenjak ada makam Gus Dur, geliat ekonomi masyarakat sekitar tumbuh. Banyak lapak berdiri. Hingga jasa parkir, toilet, dan aneka aksesoris khas Jombang. Itulah mengapa sosok Gus Dur kemudian diyakini sebagai waliullah kesepuluh. Termasuk oleh warga Tebuireng itu sendiri.
"Para wali itu kan tidak hadir dalam jangka waktu yang bersamaan. Nah, mungkin Gus Dur termasuk waliullah abad ini. Ini menurut saya pribadi saya saja lho mas," kata Nurul Yaqin, warga sekitar.
Di sisi lain, ada kepercayaan di antara tanda kewalian setelah wafatnya, yaitu kematiannya pun tetap memberikan manfaat bagi masyarakat. Hampir semua lokasi makam walisongo menimbulkan pasar dadakan yang kemudian menjadi pasar permanen yang mampu menghidupi warga sekitar, yang menariknya mampu bertahan selama ratusan tahun.
Tak heran fenomena makin hidupnya pasar rakyat di lokasi makam Tebuireng dijadikan sebagai penanda kewalian Gus Dur.
"Bukan berarti sebelumnya tidak ramai. Hanya saja setelah ada makam Gus Dur geliatnya makin besar," tutur warga tersebut
Satu hal penting yang saya catat dari moment muktamar tersebut, tidak peduli hal itu dianggap cuma mitos belaka ataukah tidak, yang pasti para pewaris Nabi tersebut pada kenyataannya selalu memberikan manfaat bagi masyarakatnya, bahkan meski sudah wafat ratusan tahun lamanya.
Tak hanya secara ekonomi, tetapi juga secara sosial dan secara kesadaran spiritual. Salam Khidmat•
[caption caption="pribadi"]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI