Peribahasa "tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah" diartikan sebagai kemuliaan sifat memberi. Kita diajarkan untuk senantiasa memberi kepada orang lain baik berupa yang berwujud seperti barang maupun tak berwujud seperti tenaga dan pikiran. Tolong menolong termasuk ke dalam bentuk pemberian. Namun, konteks tolong menolong tersebut berada dalam lingkup kebaikan. Seyogyanya, tolong menolong menjadi salah satu perilaku yang perlu dipertahankan dan dimaknai sebagai budaya.
Indonesia adalah negara yang masih kental akan pelestarian dan praktik-praktik budaya lokal. Budaya tersebut ada yang berwujud (tangible) maupun tidak berwujud (intangible). Kekeluargaan menjadi salah satu budaya intangible yang bercirikan keluarga dan memiliki rasa persaudaraan. Sekumpulan manusia yang memiliki ikatan darah merupakan definisi umum dari keluarga. Namun, pemaknaan keluarga meluas tidak hanya satu darah atau keturunan, melainkan yang memiliki kesamaan seperti sifat hingga tujuan hidup. Kekeluargaan menjunjung tinggi pada keharmonisan antar individu. Kekeluargaan merupakan relasi sosial dalam keluarga yang mengukur hubungan antar individu berdasarkan rukun dan hormat (Hermawan & Loo, 2019).
Salah satu nilai leluhur yang menjadi kebanggaan Indonesia adalah musyawarah. Nilai tersebut unik dan berkaitan erat dengan kekeluargaan. Musyarawarah didefinisikan sebagai diskusi terbuka atas semua pandangan hadirin untuk menghasilkan kesepakatan bersama yang disebut mufakat. Keputusan yang disepakati tidak merujuk pada segolongan pihak, melainkan cerminan dari seluruh suara para hadirin. Sila keempat Pancasila secara eksplisit menyebutkan musyawarah sebagai cerminan demokrasi di Indonesia. Musyawarah dilakukan untuk menghindari adanya perselisihan. Rasa kekeluargaan yang mengakar pada rukun terkandung pada filosofi musyawarah. Selain musyawarah, gotong royong turut mencerminkan kerukunan dan kekeluargaan. Sikap tolong menolong dalam melakukan sesuatu mendefinisikan arti gotong royong. Ungkapan "bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh" menjadi manifestasi mengenai pentingnya kebersamaan dan persatuan. Dengan menurunkan ego dan kepentingan personal, gotong royong memfasilitasi terciptanya kerukunan.
Ikatan yang terjalin atas nama kekeluargaan akan memperilakukan orang lain seperti keluarga sendiri, keluarga dalam arti sedarah. Lantas, relasi yang terbangun adalah horizontal atau setara. Kekeluargaan berasal dari kata dasar keluarga yang merupakan unit terkecil dari kelompok sosial. Keluarga secara harfiah terdiri dari bapak, ibu, dan anak. Sekalipun antar individu dianggap setara, peran yang ada dalam keluarga menyiratkan adanya hierarki atau hubungan yang berjenjang. Kekeluargaan mengandung relasi yang horizontal dan vertikal bergantung pada konteksnya. Dalam memahami arti kekeluargaan, hormat adalah sikap penting. Hormat berarti mengakui kehadiran orang lain dengan perannya masing-masing, tanpa saling mencibir dan merendahkan satu sama lain. Mustahil rasa kekeluargaan hadir tanpa rukun dan saling hormat.
Kekeluargaan dan Profesionalisme
Kekeluargaan menjunjung tinggi keselarasan hubungan yang damai serta menyamakan tujuan melalui musyawarah mufakat. Esensi tersebut sangat aplikatif untuk diterapkan di konteks pekerjaan, tidak hanya dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, pekerjaan identik dengan profesionalisme dan meritokrasi yang di satu sisi berpeluang untuk kontradiktif dengan esensi kekeluargaan. Menurut KBBI, profesionalisme dari kata dasar profesi mencerminkan mutu dan kualitas individu yang profesional, sedangkan meritokrasi menempatkan individu yang berpretasi dan mumpuni sebagai pemimpin. Kedua hal tersebut cukup bertentangan dengan kekeluargaan. Seperti dalam studi Hermawan & Loo (2019) bahwa kekeluargaan sebagai nilai dari budaya Jawa meliputi paham bapakism yang menempatkan sesosok pemimpin dengan analogi bapak dalam keluarga. Pemimpin berasal dari individu yang dihormati atau "dituakan" yang umumnya diukur berdasarkan usia. Kelemahan dari sistem kekeluargaan di konteks pekerjaan ialah potensi nepotisme dan orientasi pada hierarki atau pangkat. Jika aplikasi nilai kekeluargaan dalam pekerjaan secara penuh didasarkan pada hierarki, maka sulit untuk memunculkan profesionalisme dan meritokrasi.
Kekeluargaan dan profesionalisme seringkali disandingkan sebagai pilihan. Artinya, sifat keduanya adalah substitusi. Jika kekeluargaan dipilih maka tidak ada profesionalisme dan sebaliknya. Padahal, keduanya dapat dipandang sebagai pelengkap satu sama lain. Dalam lingkup pekerjaan, kekeluargaan tanpa profesionalisme akan menciptakan budaya kerja yang menghamba pada hierarki. Usia dijadikan sebagai patokan yang layak memimpin tanpa pertimbangan kapabilitas. Sedangkan, profesionalisme tanpa kekeluarga akan menimbulkan persaingan ketat hingga bisa memicu pertengkaran. Individu menghamba pada ambisi untuk menjadi paling berkualitas dan/atau paling pintar. Keharmonisan dan kerukunan diabaikan karena setiap individu berkompetisi. Oleh karena itu, nilai kekeluargaan dan profesionalisme perlu diterapkan secara beriringan dalam budaya kerja. Pada porsi tertentu, kekeluargaan berperan sebagai perekat antar individu serta menciptakan lingkungan kerja yang nyaman. Di sisi lain, profesionalisme akan menyeleksi dan mendorong individu untuk tetap mengutamakan keterampilan serta kapabilitas dalam bekerja.
Jimpitan dalam Budaya Kerja
Menariknya, kekeluargaan yang mengandung unsur harmoni dan rukun dapat ditemukan pada tradisi jimpitan. Berasal dari kata "jumputan" yang berarti memungut, jimpitan merupakan kegiatan memungut beras secara kolektif. Seiring perkembangan zaman, jimpitan tidak lagi berbentuk beras dan diganti dengan uang supaya lebih mudah dikelola (Harsono, 2014). Tradisi jimpitan banyak dilakukan di pedesaan atau perkampungan yang ditujukan untuk kepentingan sosial. Setyawan & Nuro'in (2021) menjelaskan jimpitan adalah kegiatan mengumpulkan beras yang diletakkan di suatu wadah oleh petugas ronda. Beras tersebut menjadi penanda apakah petugas ronda berkeliling untuk mengawasi lingkungan. Jika beras masih ada di wadah menandakan petugas ronda tidak melewati jalan tersebut.
Praktik jimpitan bisa diterapkan pada budaya kerja. Dalam mengukur kinerja individu, perlu adanya indikator yang dijadikan patokan. Jika jimpitan memakai beras---yang saat ini digantikan dengan uang---maka poin yang berhasil dicapai individu bisa menjadi indikator. Poin tersebut didapat melalui keberhasilan dalam mencapai target penjualan, jangkauan pemasaran, hingga kualitas dan kuantitas inovasi yang dilakukan. Di sisi lain, jimpitan menjadi tradisi unik di Indonesia yang mencerminkan kekeluargaan, kepedulian sosial, dan gotong royong. Hasil dari jimpitan nantinya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat di desa atau kampung tersebut seperti tali asih warga dan biaya retribusi. Poin yang semakin banyak dikumpulkan oleh pekerja akan menguntungkan perusahaan dan menghasilkan profit tinggi. Para pekerja yang kemudian "kecipratan" profit tersebut melalui pemberian bonus.
Pada dasarnya, pemaknaan jimpitan sangat relevan dengan budaya kerja. Jimpitan tidak hanya menjadi indikator kinerja petugas ronda, tetapi juga mengedepankan rasa kekeluargaan. Sama halnya dalam bekerja, kontribusi setiap individu akan menciptakan kerja tim yang inklusif dan menghargai proses. Dalam jangka panjang, pemaknaan nilai-nilai jimpitan dapat membangun budaya kerja yang efisien dan seimbang. Kehidupan bekerja tidak selalu mengagungkan perihal kualitas dan persaingan, tetapi juga memperhatikan interaksi sosial antar rekan kerja.
Pentingnya tolong menolong tidak hanya relevan pada kehidupan bermasyarakat, tetapi juga dalam pekerjaan. Untuk menghasilkan output yang maksimal, perlu kerja sama tim yang dibangun melalui hubungan yang baik antar individu. Maka, keharmonisan dan kerukunan menjadi poin penting. Perkembangan zaman dengan kecanggihan teknologi semakin memudahkan hidup manusia tanpa bantuan orang lain. Mesin yang memiliki "otak buatan" dirancang mampu memahami perintah dan memenuhi kebutuhan manusia. Alhasil, dengan mesin-mesin tersebut kehidupan manusia seakan dimudahkan sekalipun tanpa kehadiran manusia lainnya. Sifat individualis muncul sebagai antitesis tolong menolong antar manusia. Kembali pada tradisi lokal seperti jimpitan menjadi upaya untuk menciptakan kehidupan sosial yang partisipatif dan kolaboratif. Memaknai tradisi lokal untuk kehidupan yang berkelanjutan. Antar individu saling berinteraksi dan tolong menolong. Hal ini turut berlaku dalam kehidupan pekerjaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H