BAGIAN 6
Dua tahun kemudian, aku telah memasuki jenjang baru dalam pendidikanku. Aku telah SMP. Dimana masa remaja yang labil mulai kurasakan. masalah - masalah remaja mulai kurasakan. Aku sadar hamartia yang menyeruak ke dalam dada ini sungguh telat reaksinya. Aku kehilangan. Sesuatu yang hilang dari diriku. Aku tau itu. Cinta pertama dari seorang anak perempuan. Aku kehilangannya tanpa bisa ku ulur kembali.
Butuh waktu 2 tahun untuk memahami semuanya. Perpisahan, waktu, yang telah aku lewati dulu sungguh menyesakkan. Aku tahu aku benci itu. Aku baru paham semuanya. Saat dulu aku tahu aku kebingungan aku tak tahu aku harus apa. Masih terlalu kecil untuk memahami arti kata pisah saat aku berumur 3 tahun. "Aku kecewa, aku kesal terhadapnya. Mana yang orang bilang Cinta pertama seorang anak perempua? aku tidak tahu rasanya dipeluk, dimanja oleh seorang ayah. Bagaimana rasanya?," kataku dalam hati.
Aku yang sekarang sering menyibukkan diri dengan berbagai ekskul dan sering pulang sore. Pada suatu hari saat aku pulang dari ekskul, aku menyempatkan diri untuk membeli mie ayam langgananku dekat rumah. Bapa - bapa yang jualnya pun sudah aga renta. Tapi ia tetap semangat untuk berjualan menafkahi keluarganya. Pada satu waktu, bapa itu bercerita kepadaku. Bahwa ia memiliki seorang anak perempuan yang sekolah di sekola pavorit menurut ku di Kota Bandung. Tapi sayangnya, anaknya katanya ingin berhenti karna kewalahan dengan sistem sekolah yang melelahkan. "Anak saya mah udah sekolah smk, tapi katanya cape mau berhenti aja, " Kata bapak itu. Terbersit di wajahnya bahwa bapak ini sangat kecewa bila anaknya ingin berhenti sekolah. Bapa ini membiayi anaknya sekolah kerja banting tulang. Tetapi bapak ini menerima bila anaknya memang ingin berhenti katanya "mau bagaimana lagi , dipaksa juga kasian," kata bapa itu.
Sembari berjalan pulan menuju rumah aku terus memikirkan cerita bapak penjual mie ayam tadi. Aku merasa sangat kasihan dan iri. Karna anak perempuan dari bapa itu masih dengannya, sayang dengannya. Tetapi anak itu malah menyianyiakan kesempatanya untuk bersekolah. "Andai ia tahu betapa lelahnya bapaknya mencari uang untuknya sekolah. Ia pasti tidaka akan semudah itu menyerah untuk berhenti sekolah," pikirku.
Lagi dan lagi. Aku merasakan hamartia menyeruak ke dalam dada. Aku sedih dan sekaligus kecewa. Mengapa papahku tidak seperti itu? Tetapi, disatu sisi aku merasa bahwa aku beruntung walau papah sudah tidak ada. Aku masih bisa bersekolah dengan baik. Tapi tidak hanya kecewa yang kurasakan. Aku juga merasa menyesal. "Mengapa aku tidak sering sering mengunjunginya, mengapa ku tidak merawatnya, bahkan sampai di akhir hayatnya aku tidak ada di sisinya. Jujur ini sangat menyakitkan bagiku. Disaat orang lain bisa dimanja, dipeluk, dan
disayang oleh cinta pertama seorang anak perempuan, aku tidak bisa merasakan itu sedari dulu.
Aku di sekolah menyibukkan diri mengikuti berbagai macam lomba ekskul dan berbagai kegiatan lainnya. Mulai dari juara 1,2,3 aku pernah meraihnya. Aku yang belum sempat membanggakannya kepadamu, memelukmu dikala sedih dan mencarimu disaat gundah. "Pah, hamartia hampa menyeruak di dalam dada. Merindukan sosok perisai berparas sayu. Pah, aku membenci kehilanganmu. Bukan hanya hampa yang menyeruak dalan setiap sela hatiku, rasanya lebih dari itu. Kalo aja papah mendengar kabar dari dasar bumi, Bahwa aku, sulit sekali menciptkan kenyataan sesusai mimpi dan apa yang kumau. Kehilanganmu itu sungguh rumit. Aku tidak bisa mengobatinya dan tidak akan pernah menemukan obatnya. Pah, aku tidak bisa meramal kehidupanku nanti dan memantrai hidupku seperti anak lain memantrai hidupnya. Belum di coba saja aku sudah tau aku tidak akan bisa menghadapinya," kataku dalam hati sembari menangis.
Aku tahu putri kecilmu ini yang sekarang sudah beranjak dewasa hanya bisa berdoa untukmu. Aku tidak bisa memutar waktu kembali dan merevisi semua urutan kejadian yang telah terjadi. Aku sedih dan ini terus berlanjut sampai aku lulus SMP dan sampai sekarang. Semuanya sudah kupaskrahkan kepada yang maha kuasa. Kini aku hanya berempat. Bunda, kakakku, aku dan adikku . Hanya itu yang kupunya. Jangan lagi semuanya terulang. Akan kujaga sebisaku, sekuatku. Akan kucapai semua yang terbaik untuk ku banggakan kepadamu. Aku harus bangkit dan meneruskan semuanya. Agar engaku bahagia dan bangga melihatku di sana. Aku akan jadi anak kebanggaanmu pah.
EPILOG
Pagi ini, matahari muncul tampak malu-malu. Sembari diiringi rintikan hujan yang seolag menyambut datangnya mentari. Aku terbangun dari tidurku kubuka jendela kamarku untuk menghirup udara pagi ini. "kakaa sini sarapan dulu," kata bunda. Yaa aku telah di panggil untuk sarapan pagi seperti biasanya. Semuanya tampak ceria. Walau diluar sedang hujan.
Akupun mengawali pagiku seperti biasa, mandi lalu pergi berangkat sekolah menaiki motor yang satu-satunya kupunya untuk transportasiku kesekolah. Aku sekarang telah menginjak bangku SMA kelas 3 dan sebentar lagi tak terasa juga nanti akan lulus. Memasuki gerbang sekolah seperti biasa melihat osis tengah berjaga melihat atribut dan anak-anak nakal yang selalu terlambat dan berpakaian semena - mena. Semoga harapan dan cita-citaku bisa tercapai.
Tetapi, jujur saja. Aku merindukan. Bukan dari apa yang kau beri, tetapi mungkin jika kau ada, Aku bisa menyerukan mimpi-mimpiku padamu, seperti orang lain yang menyerukan mimpi - mimpinya padaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H